Rainy 07

1248 Words
"Terus lo bilang apa ke dia?" Adira meletakkan bantal di atas paha. Menumpu sikunya di sana lalu mengunyah kripik talas yang tadi dibelinya. Yana yang tengah memainkan ponsel sambil berbaring di kasur sama sekali tak menoleh. "Bilang apa? Nggak ada." "Nggak ada? Dia udah minta maaf nyembah gitu lo nggak ngomong apa-apa?" "Enggak." Adira geleng-geleng kepala. "Lo beneran nggak bakal maafin Bram?" Yana menghela napas. "Ini bukan soal gue maafin dia atau enggak, Ra." "Terus?" Yana terdiam. Terlihat berpikir. "Duh susah gue jelasinnya. Pokoknya gitu deh. Intinya lebih baik kita itu nggak berhubungan lagi. Nggak ketemu lagi." Adira menatap sahabatnya itu. "Lo belum bisa move on dari Daffi?" Yana memutar bola mata. "Nggak ada hubungannya sama Daffi." "Yakin?" Yana terdiam. Lalu mengangguk. "Ya gue akui kalau kemarin-kemarin gue emang masih mikirin Daffi sekali-kali. Tapi ya gue sadar juga, nggak bisa juga selamanya gue terkungkung sama Daffi. Dia udah suami orang. Jadi sekarang itu gue cuma dalam mode mengikhlaskan kenangan gue sama dia. Ya gitu deh." "Terus kenapa nggak buka hati buat Bram? Et, tunggu gue selesai ngomong," potong Adira sebelum Yana menyela. "Lo sadar nggak sih Yan? Lo tuh tanpa sadar mengurung diri sendiri. Ok lo bilang kalau lo udah ikhlasin Daffi. Tapi hati lo itu lo kurung. Lo mau tau kenapa gue ngomong gitu? Coba aja lo pikir, emang sih Bram salah dengan ninggalin lo waktu itu, ditambah dengan dia yang kurang ajar nyium lo. Tapi please Yan, kita bukan ABG labil lagi. Ciuman kayak gitu bukan hal yang besar buat kita. Jadi apa masalahnya? Masalahnya bukan kesalahan yang Bram lakukan ke lo. Tapi masalahnya lo itu nggak mau ambil resiko. Lo takut sama hati lo sendiri." Yana terdiam. Benar-benar tertampar oleh kata-kata Adira. "Bram itu mantan gue, Ra!" "Terus kenapa kalau dia mantan lo? Itu udah lama Yan. Bertah—" "Itu salah satu masalahnya.." "Hah?" "Lo mau tau kenapa kami putus?" Adira mengerutkan kening. "Karena dia kecewain gue. Ini terdengar lebay tapi itulah kenyataannya. Dia berhasil bikin gue trauma menjalin hubungan lagi. Gue bahkan takut sama cowok selama bertahun-tahun. Gue nggak deket sama siapapun. Nolak semua cowok yang mau dekat sama gue." Adira masih diam mendengarkan. Yana memang tak pernah membahas masalah ini. "Dia jadiin gue taruhan. Dan lo tau apa yang dia pertaruhkan sama temannya? Uang sepuluh juta sama perawan gue." Adira tertegun. "Apa?" Yana menghela napas. Sebenarnya tak ingin membuka lagi kisah ini. Ia tak ingin siapapun tau tentang secuil masa kelamnya. "Dia se-b******k itu?" Yana kembali memainkan ponselnya. "Lo pasti gak bakal percaya. Bram emang cowok baik. Tapi lo bakal kaget kalau tau sisi kelam dia." Adira geleng-geleng kepala. "Gilak. Gue bener-bener nggak nyangka." Adira terlihat berpikir. Ponselnya berdering. "Hallo Mas. Di rumah, kenapa? Iya sama Yana.. hah.. mas di mana?" Yana melirik. Adira terlihat panik. "Oke mas. Iya kami ke sana.." "Kemana? Kenapa?" "Mamanya Bram masuk rumah sakit.." Kening Yana mengerut. Dengan bingung ia bangkit. Meskipun bingung tapi Yana tetap mengikuti Adira. *** "UGD.." ujar Adira begitu selesai menelpon Fuji. Yana mengikuti di belakang. Yana sebenarnya tak suka rumah sakit. "Mas.." Adira menghampiri Fuji di depan UGD. "Gimana?" "Mereka di dalam." Yana tak berkomentar. Meskipun ia merasa tak ada urusan di sini, tapi Yana bertahan mengingat kalau dia masih punya hati nurani. Tak lama pintu terbuka. Beberapa suster tergesa mendorong brankar dengan seorang wanita paruh baya di atasnya. Entah ke mana mereka akan membawanya. Kemunculan Bram dari pintu yang sama cukup mengagetkan Yana. Sebab di keningnya terdapat darah dan bajunya pun kotor oleh darah. Yana mulai bertanya apa yang sebenarnya sudah terjadi? "Bram. Tunggu, lo harus diobatin dulu.." Bram menggeleng. "Nanti aja. Bunda dulu.." Fuji kesulitan membujuk Bram. Mau tak mau mereka mengikut ke ruang operasi. Lampu menyala merah. Fuji masih berusaha membujuk Bram agar diobati dulu. Tapi pria itu selalu menolak. Mengatakan kalau dia baik-baik saja. Yana hanya memperhatikan dari kursi. Menyadari kalau sifat Bramanaka belum berubah. Masih keras kepala dan merasa sok kuat. Kadang Yana benci sifat itu karena digunakan di saat yang tidak tepat. "Yan," senggol Adira. "Kenapa?" "Lo coba bujuk Bram sana.." Kening Yana mengerut. "Kok gue?" "Mana tau kalau sama lo dia luluh.." "Nggak ada lah. Dari mana lo tau dia bakalan luluh kalau sama gue.." Yana masih menolak. "Ayolah Yan. Lo tega lihat Bram kayak gitu? Lihat tuh dia bedarah-darah. Nanti kalau dia drop juga gimana?" Yana mengernyit. "Setidaknya lo lakuin itu sebagai bentuk kepedulian sama sesama manusia.." Yana menatap Adira tajam. Bahasa Adira yang terlalu frontal penanda kalau dia tak ingin ditolak. Dengan berat hati Yana akhirnya bangkit. Melangkah ragu menuju Bram. Namun begitu Yana hampir sampai, suara keributan menghentikan langkahnya. "Bram, bagaimana mama kamu??" Tatapan Yana bertemu dengan Antita. Gadis yang tempo hari Bramanaka kenalkan sebagai sepupu. Ia agak terkejut saat melihat Yana. Namun dengan cepat memberikan senyumnya. Yana menyimpulkan kalau Antita adalah orang yang cukup dekat dengan Bram. Ia juga datang bersama seorang pria paruh baya berbadan tinggi berkacamata. Yana tak tau siapa pria itu. Seingatnya papa Bram wajahnya tidak seperti itu. "Bram. Wajah kamu. Ayo diobati dulu.." Antita tampak terkejut. Bram menoleh. Lau tanpa kata langsung merengkuh Antita ke dalam pelukannya. Lalu menenggelamkan wajahnya di rambut gadis itu. Yana tertegun selama beberapa detik. Namun tak sepatah katapun keluar dari bibirnya. Adira melirik Fuji. Tapi pria itu hanya memasang wajah datar. "Apa di sini ada yang bergolongan darah B? Pasien kehilangan banyak darah.." "Saya suster.." ujar Bram cepat. "Maaf, tapi anda sedang terluka. Apa ada pihak keluarga lain yang punya golongan darah B?" Hening. "Saya sus.." semua menoleh. Yana bangkit dari duduknya. "Mari ikut saya.." Yana mengikuti suster itu tanpa menoleh sedikitpun ke arah Bram. *** Satu jam kemudian barulah dokter keluar dari ruang operasi. "Keluarga Ibu Nora?" "Iya dok.." Bram langsung bangkit. "Operasinya berhasil. Tapi saat ini ibu Nora masih dalam masa kritis. Setelah normal kami akan pindahkan ke ruang rawat biasa." "Baik dok. Terimakasih banyak.." Bram menghela napas lega. Adira menoleh ke kiri kanan. Mencari Yana. Ia menemukan gadis itu tengah duduk di dekat kantin dengan sepotong roti dan segelas jus yang belum disentuh sama sekali. "Yan..." Adira duduk. "Operasinya sukses. Tante Nora satu jam lagi udah bisa dipindah ke ruang rawat biasa.." "Oh. Syukurlah.." Yana tersenyum tipis. "Lo kenapa?" tanya Adira. Yana menatap sahabatnya itu. "Gue nggak tau." Adira mengusap lengan sahabatnya itu. "Eh iya, lo tau nggak kalau yang tadi itu papanya Bram?" "Papanya Bram?" "Iya. Lo nggak tau?" Yana terlihat berpikir. "Soalnya tadi gue denger Antita nyebut dia om. Dia juga yang ngurus administrasi tante Nora. Tapi gue belum tanya sih. Ntar gue tanya ke mas Fuji deh. Lo makan deh. Buat pulihin tenaga.." "Hm.." "Yana.." Yana dan Adira sama-sama menoleh. *** "Kenapa?" tanya Yana. Ia melipat tangan di d**a. Yana terkesiap saat Bram memeluknya. "Bram lep—" "Makasih. Makasih. Makasih." Yana yang hendak mendorong Bram menarik lagi tangannya. "Lo udah nyelamatin nyawa mama," sambung Bram lirih. Yana terdiam. Hening beberapa saat. Semilir angin sore menyapa. Bram melepas pelukannya. "Obatin luka kamu dulu ya. Muka kamu udah pucat gitu.." Bram mengangguk tanpa berkata lagi. *** "Dari mana?" Ama duduk di sofa, mengambil majalah. "Rumah sakit." "Ngapain ke rumah sakit? Siapa yang sakit?" "Tante Nora. Mamanya Bram.." "Mamanya Naka masuk rumah sakit? Kenapa?" Yana memejamkan mata. "Kecelakaan." "Terus gimana?" "Udah baikan kok. Apa mana?" "Tadi ke rumah Om Dion. Kamu udah makan?" "Hm.." Yana tak menyahut lagi. Sudah tertidur di sofa. Ama tersenyum simpul. *** Yana baru selesai mandi. Ponselnya berdering untuk ke dua kali. Yana mengambil ponselnya. "Hallo, siapa ya?" Kening Yana mengerut. "Antita?" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD