"Tidak apa-apa pak Moondy, itu merupakan suatu kejadian yang wajar. Setiap perempuan hamil muda memang ada yang mengalami morning sickness ada yang tidak. Tapi itu tidak membahayakan kandungan selagi ibu Pelangi masih mau makan." Jelas dokter.
"Saya sudah mengatakan hal itu pada suami saya dok. Tapi dia tidak percaya." Kata Pelangi.
"Wajar bu. Saya mengerti akan kekawatiran bapak."
"Iya dok, saya takut sekali jika terjadi sesuatu pada istri dan anak saya." Kataku membela diri.
"Yasudah ini saya beri vitamin. Gak pa-pa kalaupun muntah, yang penting tetap makan ya bu untuk nutrisi adeknya."
****
Aku bersyukur bahwa Pelangi tidak apa-apa. Aku memang sedikit protektif pada Pelangi. Bisa dibilang mungkin trauma juga karena dulu aku tak bisa mendampingi Pelangi saat hamil Cilla. Jadi jika Pelangi mengeluh sedikit saja aku pasti akan membawanya ke dokter.
"Maafin aku ya." Kataku.
"Kenapa ?"
"Dulu saat hamil Cilla kamu juga seperti ini ?"
Pelangi mengangguk.
"Kamu bersama siapa waktu itu ?"
"Sendirian."
Mendengar jawabannya hatiku berdesir. Betapa aku dulu terlalu kejam padanya. Kugenggam tangannya.
"Bolehkah aku mendengar ceritamu dulu saat kamu hamil Cilla ?"
"Tentu. Kamu berhak tau. Bukan untuk membuatmu menyesal jika aku menceritakan semuanya. Tapi agar kamu tau bagaimana dulu aku berjuang sendirian mengandung Cilla. Agar nanti jika aku kenapa-kenapa kamu tau kapan harus membawaku kerumah sakit dan tidak."
"Iya sayang."
"Dulu aku merutuki kehamilanku. Hamil anakmu bukanlah keinginanku. Meskipun saat kita melakukan hal itu untuk pertama kalinya aku titipkan doa kepada Tuhan agar meniupkan benih di dalam rahimku hasil buah cinta kita, tapi aku tak menyangka akan secepat itu doaku terkabul. Mungkin aku lupa meralatnya saat aku mendengar kamu menyebut nama Bulan seusai kita bercinta." Kata Pelangi sambil tersenyum .
Ah jujur melihat dia masih bisa tersenyum padahal aku tau peristiwa itu pasti menyakitkan untuknya aku merasa kesalahanku begitu banyak padanya. Hatiku rasanya sakit sekali, lebih baik melihat dia menangis daripada tersenyum miris seperti itu.
"Maafkan aku sayang. Tapi jujur , aku tak ingat sama sekali akan hal itu." Kataku.
"Aku berharap janin ini tidak tumbuh besar di dalam rahimku. Kuajak dia bekerja keras untuk menghidupi diriku sendiri saat aku jauh dari kalian. Tapi ternyata dia masih terus tumbuh besar di dalam rahimku. Bahkan dia sehat di dalam sana meskipun tak pernah sekalipun aku memberikan vitamin padanya."
"Sebegitukah kamu membenciku ?"
"Tentu. Kamu sungguh kejam padaku mas. Apa kamu tidak menyadarinya ?"
"Iya. Itu semua karena egoku. Karena aku yang tak mau mengakui bahwa aku sesungguhnya juga mencintaimu. Aku terlalu termakan gengsi di hadapan Bulan jika aku mengakuinya."
"Aku kerja di sebuah supermarket. Dari hamil muda sampai usia kandunganku 4 bulan aku selalu mengalami mual. Bahkan tak jarang juga muntah setiap kali selesai makan. Jadi tak heran jika kadang aku cepat lelah saat bekerja. Badanku juga semakin hari tambah kurus karena kurangnya asupan makanan yang masuk."
"Bosmu tau saat itu kamu hamil ?"
"Tau. Aku memberitahunya. Awalnya dia menanyakan dimana suamiku. Kujawab kami dalam proses perceraian."
"Kenapa kamu bilang begitu ?"
"Lalu aku harus bilang apa ? Apakah aku harus cerita kalau suamiku di sedang berbahagia bersama istri keduanya ?"
"Ya gak begitu. Tapi kan kamu bisa bilang suamimu kerja keluar kota." Kataku protes.
"Enak aja, enak di kamu dong. Tapi jujur waktu itu memang niatku setelah aku melahirkan aku akan menggugat cerai kamu mas."
"Jangan dong. Aku kan juga mencarimu. Tapi memang kamu aja yang ngilang. Dicari ga ketemu."
"Nomer ponselku masih aktif mas, tapi kamu aja yang gak pernah menghubungi aku."
"Jujur saja, aku hapus nomer kamu begitu malam itu kamu mempermalukan Bulan di depan umum. Dan lagi aku terlalu gengsi untuk meminta nomer kamu sama Bulan. Dan saat itu Bulan sedang depresi-depresinya kehilangan anak kami dulu."
"Kamu dulu sangat mencintai Bulan ya ?"
Kupandangi wajah polos Pelangi. Aku harus lebih berhati-hati dalam mengucap. Aku pernah membaca sebuah situs bahwa seorang ibu hamil itu sensitif, salah dikit bisa membahayakan banyak pihak terutama si bayi dan ibunya. Aku tak mau jika sedikit saja ucapan yang keluar dari mulutku akan menimbulkan perang dunia diantara kami.
"Jujur iya." Jawabku. Dan tentu saja Pelangi langsung menarik tangannya dari genggamanku.
"Heii ... Jangan marah, itu kan dulu." Kataku sambil menarik kembali tangan Pelangi ke genggamanku..
"Lalu sekarang?"
Aku diam. Tidak Bulan tidak Pelangi kenapa mereka suka menanyakan hal ini padaku ? Tidak taukah mereka bahwa pertanyaan ini bisa membunuhku diam-diam.
"Aku juga masih mencintainya." Jawabku mencoba jujur, dan seperti yang kuduga Pelangi kembali menarik tangannya.
"Tapi aku juga mencintaimu."
"Hanya karena aku bisa memiliki keturunan dan Bulan tidak ?"
"Bukan ! Tidak seperti itu."
"Lalu ?"
"Aku hanya ingin bilang padamu bahwa posisi kamu dan posisi Bulan sama dihatiku. Tidak ada yang berbeda. Kalian sama-sama berarti bagiku."
"Tapi aku tidak bisa jika aku harus berbagi suami. Dulu aku pikir bisa, tapi entah kenapa sekarang aku tidak bisa. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya hatiku nanti membayangkan suamiku harus berbagi kasih dengan perempuan lain."
"Cobalah dulu. Aku janji, aku akan berlaku adil pada kalian. Aku tidak akan bersikap sejahat dulu lagi pada kalian. Berikan aku kesempatan. Tolong!"
"Entahlah.... Aku tidak bisa memberikan jawaban. Mungkin 1 dibanding 1000 wanita yang seperti Bulan, yang mengijinkan suaminya menikah lagi dengan orang lain. Tapi aku termasuk dari 1000 orang yang tidak menyetujui jika suaminya berpoligami. Terlalu sakit mas."
"Aku minta maaf. Tapi aku sungguh belum bisa melepaskan salah satu diantara kalian."
"Sampai kapan ?"
"Sayang .......... "
"Dulu, banyak orang menganggapku murahan karena orang-orang taunya aku hamil tanpa suami. Teman-teman kosku tidak ada yang memperdulikan aku mas, mereka menganggapku hina, aku sendirian mas."
"Aku minta maaf."
"Aku hidup jauh keluargaku. Aku sendirian. Mual, muntah, pusing, bahkan hampir mati karena kelaparanpun aku pernah melaluinya."
"Iya sayang. Aku minta maaf. Untuk itulah aku janji, aku tidak akan membiarkanmu diperlakukan tidak adil seperti dulu. Aku akan selalu menjaga dan melindungi kamu. Kasih aku kesempatan untuk membuktikan itu sama kamu."
"Mungkin kamu tidak mencintaiku."
"Aku mencintaimu. Aku serius."
"Tidak. Mungkin kamu hanya ingin bersama anak-anakmu. Bukan mencintaiku."
"Bagaimana kamu bisa berfikir seperti itu ? Sehari tak bertemu denganmu saja aku rindu. Aku uring-uringan, aku bahkan selalu mengabarimu agar kamu tidak berfikir aneh-aneh tentang aku. Bagaimana bisa kamu bilang aku tidak mencintaimu ?"
"Kamu hanya tidak terbiasa karena tidak adanya Bulan kemarin. Untuk itu kamu bersikap manis padaku."
"Tidak seperti itu sayang."
"Aku tau bagaimana bucinnya kamu sama Bulan. Jadi mana mungkin kamu secepat itu mencintaiku ?"
"Sejak dari dulu saat kita masih bersama."
"Bohong !"
"Aku serius. Aku tidak tau sejak kapan, tapi aku tidak suka saat kamu bekerja, tidak lagi menungguku pulang kerja. Aku juga cemburu saat kamu diantar pulang kerja oleh Amir. Ingatkan kami esok harinya aku langsung membelikanmu motor ? Itu karena aku tidak suka kamu dekat dengan pria lain selain aku."
"Tapi kamu suka marah-marah. Tidak mencerminkan kecemburuanmu."
"Aku tidak bisa menunjukkannya padamu selain kemarahanku. Kamu juga tidak menuruti apa kataku."
"Gimana aku menurutimu coba, orang kamu tidak pernah sedikitpun baik sama aku. Kalo nyuruh orang itu yang baik, tapi kamu marah-marah terus."
"Entahlah, saat itu jika aku tidak marah-marah padamu, aku merasa ada sesuatu yang aneh. Mungkin aku juga terlalu gengsi."
"Makan tu gengsimu!" Kata Pelangi sambil berlalu meninggalkanku.