SEMARANG

1158 Words
Aku termenung di meja kerjaku. Sungguh aku bingung dengan masa depan rumah tanggaku. Pelangi dan Bulan adalah masalah yang sangat rumit. Kupikir menjadi seorang pria tampan, pengusaha, berkecukupan, mengerti agama walau masih harus belajar lagi, memiliki dua pendamping yang sama-sama cantik akan membuat hidupku bahagia dan lebih baik, tapi nyatanya malah membuat kepalaku sakit. "Halo .... " Sapaku pada seseorang di ujung telepon. "Pak, ada masalah di cabang Tembalang." Kata karyawanku diujung telepon. "Apa yang terjadi ?" "Kasir mengalami perampokan pak, beberapa barang berharga hilang, uang kasir juga ikut diambil." "Saya akan segera kesana hari ini juga." Aku langsung mematikan ponselku dan segera beranjak menuju mobilku. Belum selesai masalah satu, sudah ada masalah lagi. Bagaimana kepalaku tidak pecah jika semua masalah datang bebarengan seperti ini. "Halo sayang, aku harus ke Semarang, cabang Tembalang kena musibah. Kamu hati-hati di rumah, jaga kesehatanmu dan anak kita." Kututup telponnya tanpa menunggu jawaban dari Pelangi.. Aku melaju dengan kecepatan tinggi. Buatku ini musibah pertama yang aku alami selama bertahun-tahun aku membangun usahaku. Selama aku rujuk dengan Pelangi, baru sekali aku mengunjungi cabang restoranku di Tembalang. Aku terlalu sibuk dengan kebahagiaanku dengan Pelangi, sudah kujelaskan bukan diawal bahwa aku tak bisa jauh dari Pelangi ? Aku lebih suka dirumah melihat istriku dan Cilla bermain di rumah. Drrrrttttt....... Drrrrtttt ...... Ponselku berdering. Kulihat panggilan dari nomer asing. Aku hafal betul nomer belakangnya. Itu nomer Bulan yang baru. Aku memang lupa belum menyimpannya kemarin. "Halo ..... " Jawabku. "Halo sayang, kamu dimana ?" "Aku sedang dalam perjalanan ke Tembalang." "Kenapa ? Kamu sama siapa ?" "Aku sendiri. Cabang Tembalang ada masalah. Aku sedang dalam perjalanan kesana." "Astaga! Masalah apa sayang ? Kamu sampai mana sekarang ? Jemput aku. Aku ikut ya?" "Tidak usah. Aku bisa." "Aku tau kamu, biarkan aku membantumu. Tolong ajak aku. Aku akan bersiap sekarang. Kamu sampai kita langsung berangkat. Oke ?" Telpon mati. Bulan memang paling mengerti aku. Dia mengerti kapan aku sedang bahagia, sedih, pusing apapu situasi yang aku alami dia bisa mengetahuinya hanya dengan mendengar suaraku. Dia juga mengerti tentang bisnis. Kita berdua sama-sama cocok jika masalah pekerjaan. Tidak ada salahnya aku menjemputnya. Disaat seperti ini aku membutuhkan orang seperti Bulan. Dia sudah berpengalaman tentang bisnis. Lalu Pelangi ? Kurasa aku tak perlu memberitahunya. Aku akan menceritakannya nanti saat situasi sudah kondusif. Kuputar mobilku keluar pintu tol. Aku menuju ke rumah Bulan. Setelah berpamitan dengan kedua orang tua Bulan, kami langsung berangkat menuju Semarang. Tidak banyak yang kita bicarakan selama perjalanan. Bulan mengerti kondisiku. Disaat seperti ini aku biasanya tidak suka banyak bicara. "Bagaimana bisa seperti ini ?" Tanyaku pada security. "Maaf pak, saya juga tidak tau darimana datangnya para perampok itu, yang saya ingat tiba-tiba saja ada seseorang yang memukul saya dari belakang, saya trus pingsan. Dan saya tersadar dari pingsan sekitar jam 2 pagi. Saya cek beberapa barang berharga seperti laptop, mesin kasir hilang pak." Jelas securityku. "Argghhhhhh !" Kubanting meja kerjaku. "Sayang udah, tenang." Bulan menenangkanku. "Bagaimana dengan cctv ?" Tanya Bulan pada security. "Sudah dicek bu, dan kami juga sudah melaporkannya ke kantor polisi." "Kalian harus terus mengabari kami ya perkembangan kasusnya. Sekarang bereskan semuanya. Dan mulai bekerja kembali." Perintah Bulan. "Baik bu." Jawab karyawan dan securityku. "Sayang.... Udah ... Kamu jangan emosi. Kita serahkan semuanya pada polisi. Kalo ketangkap kita tuntut dia dengan tuntutan maximal." "Tapi kerugian yang aku alami cukup banyak?" "Aku tau, aku bahkan juga bangkrut sekarang akibat 5 bulan lebih aku tak mengurusnya. Ayo kita bangun sama-sama. Kita tidak boleh menyerah. Kita sudah pernah mengalami titik terendah dalam membesarkan usaha kita, masak kaya gini kamu nyerah ? Ayo sayang semangat! Aku selalu di sampingmu." Bulan tersenyum dan memelukku. Entah kenapa pelukan Bulan begitu menenangkan. Bulan memang bisa diandalkan untuk urusan pekerjaan. Bagaimana bisa aku melepaskannya jika dia membuatku selalu senyaman ini. **** Kami pulang ke rumah lama kami di Semarang. Nampak sedikit kotor karena sudah hampir 1 tahun tak kami kunjungi. Sejujurnya aku lelah, tapi melihat Bulan membereskan rumah aku tak tega melihatnya melakukannya sendiri. Apalagi kakinya yang belum sembuh membuat dia kadang meringis jika kecapean. "Biar aku lanjutkan, kamu istirahatlah." Pintaku pada Bulan. "Gak usah sayang. Aku gak pa-pa, bentar lagi selesai. Kamu aja yang istirahat." "Aku gak capek." "Yaudah kamu mandi aja. Nanti kita makan malam diluar ya. Tidak ada bahan makanan, aku gak bisa masak." "Iya. Aku mandi dulu kalau begitu." Tubuhku terasa lebih segar setelah aku selesai mandi. Aku harus segera menelpon Pelangi bahwa aku bersama Bulan. Aku tak mau dia salah sangka padaku, apalagi aku mendadak ke Semarang tanpa bercerita dulu secara detail apa saja yang terjadi disini. Tapi kucari-cari ponselku tidak ketemu juga. "Cari apa sayang ?" Tanya Bulan. "Aku mencari ponselku. Aku harus memberi tahu Pelangi bahwa aku menginap, dan bersamamu." Bulan mendekatiku. Dia memelukku. "Bisakah kamu tidak menyebut nama Pelangi sekali saja saat kita bersama ?" Tanyanya. "Kenapa ?" "Aku sedang tidak ingin mendengar nama maduku itu. Aku ingin mengulang masa-masa kita berdua sayang. Tolonglah." "Tapi aku hanya ingin memberitahu Pelangi bahwa aku baik-baik saja. Aku tidak ingin membohonginya lagi. Aku ....... " "Hanya kali ini. Setelahnya aku tak akan melarangmu lagi. Oke sayang ?" Aku tak bisa menolak permintaan Bulan, aku terpaksa mengangguk menerima permintaan Bulan. Saat Bulan mandi, aku coba mencari ponselku lagi. Kutemukan diatas meja ruang tv. Seingatku aku membawanya di kamar. Tapi kenapa ada disini ? Apa mungkin aku lupa ? Aku mencoba menelpon Pelangi. Tapi dia tidak mengangkatnya. "Sayang, aku sudah siap." Kata Bulan. "Iya. Kamu mau makan dimana ?" Tanyaku. "Terserah, tapi yang jelas malam ini aku pengen kita muter-muter Semarang. Mengingat kenangan kita jaman dulu sayang." "Oke baiklah. Ayo berangkat. Sebelum kita kemalaman." Aku masih tak bisa memejamkan mata. Pikiranku terus tertuju pada Pelangi. Sedari tadi sore dia tak mengangkat telponku. Tidak biasanya dia seperti ini. Bulan sudah terlelap di sampingku. Mungkin dia lelah seusai bercinta denganku. Tentu saja itu permintaan Bulan. Aku sebagai suami hanya melayaninya saja. **** Setelah menyelesaikan urusanku di Semarang aku mengajak Bulan kembali ke Solo. Aku khawatir terjadi sesuatu dengan Pelangi dan calon anakku. Meskipun saat aku telpon mama tidak ada yang aneh pada Pelangi, tapi perasaanku mengatakan ada sesuatu yang tidak beres padanya. "Kamu tidak akan mengajakku bertemu dengan Pelangi ?" Tanya Bulan saat dalam perjalanan. "Tidak." "Kenapa ? Bukankah aku ini madunya ?" "Untuk apa ?" "Untuk membicarakan masa depan keluarga kita bersama sayang. Mau sampai kapan kita akan masing-masing seperti ini ?" "Bersabarlah. Tunggu waktunya. Aku janji akan mempertemukan kalian." "Tapi sampai kapan ? Apa yang kamu sembunyikan dariku sampai kamu menunda-nunda waktu untuk mempertemukan aku dengan Pelangi ?" "Sudah sampai. Turunlah. Aku buru-buru." Kataku pada Bulan begitu kami sampai di rumah Bulan. "Sayang ..... " "Bulan, dengarkan aku. Jangan gegabah. Nanti pada waktunya kita akan bersama kembali. Tunggu waktu yang tepat untukku meyakinkan Pelangi bahwa aku akan berlaku adil dan tidak akan menyakitinya lagi seperti dulu." Kataku meyakinkan. "Baiklah. Aku tunggu janjimu sayang. Sampaikan salamku pada Pelangi. Aku juga sudah tak sabar ingin bertemu dengan Cilla anakku."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD