MORNING SICKNESS

1135 Words
Aku memilih untuk ke teras rumah dan menghubungi Pelangi. Kubiarkan Bulan bertukar fikiran dengan kedua orang tuanya. Biar sekalian dia sadar bahawa apa yang dia lakukan selama ini adalah salah besar. "Besok pagi aku pulang sayang." Kataku pada Pelangi diujung telepon. "Iya mas, kamu istirahat ya." "Kamu juga, jangan tidur malam-malam. Jangan mikir aneh-aneh. I love you." "Iya mas, habis ini aku tidur. Kamu juga jangan tidur malam-malam." "Kok aku bilang i love you ga dijawab ?" "Malu, ada mama." Jawabnya sambil berbisik. "Kenapa memangnya ? Kan sama suaminya sendiri." "Ya tapi ga enak. Udah sana kamu istrirahat." Pinta Pelangi "Nak Moondy ?" Panggil ayah Bulan ketika aku sedang menelfon Pelangi. "Sayang aku tutup telponnya dulu. Kamu cepet tidur ya, jaga kesehatan. Assalamuaikum." "Walaikumsalam." "Ya ayah ?" Jawabku sambil menyimpan ponselku kembali ke dalam saku celana. "Bisa kita bicara sebentar ?" "Bisa ayah. Ada apa ?" Ayah mengajakku duduk di gazebo depan rumah. Mungkin biar pembicaraan kami tidak terdengar oleh Bulan. Bulan memintaku untuk tetap tinggal. Aku tak kuasa menolaknya. Biar bagaimanapun juga dia tetap masih istriku. "Jadi bagaimana dengan hubungan kalian ?" Tanya ayah Bulan. Aku menarik nafas panjang. Jujur saja, ini jauh di luar dugaanku. Aku belum bisa berfikir sama sekali tentang masa depanku setelah Bulan kembali. Ini terlalu cepat. "Jujur yah, sampai sejauh ini saya belum tau apa yang harus saya lakukan." Kataku. "Ini terlalu cepat untuk saya. Saya tidak menyangka jika Bulan akan kembali secepat ini." Lanjutku. "Jadi maksudmu kamu sebelumnya tidak menginginkan Bulan kembali ?" "Bukan, bukan seperti itu maksud saya. Tentu saya bahagia Bulan kembali sehat. Tapi ini terlalu cepat untuk saya, apalagi saya juga baru saja selesai berjuang untuk mendapatkan kembali istri pertama saya dan anak kami." "Apakah kamu masih mencintai Bulan ?" Aku menarik nafas panjang kembali. "Jika ditanya, saya akan jawab masih yah. Cinta saya pada Bulan masih utuh. Tidak kurang sedikitpun." "Apakah kamu juga mencintai istri pertama kamu ? Terlepas dari hadirnya anak kalian ?" Aku mengangguk. "Saya mencintai Pelangi. Sama seperti saya mencintai Bulan. Ada atau tidaknya Cilla dalam kehidupan kami, tidak membuat perasaan saya luntur pada Pelangi. Dan kedudukan Pelangi di hati saya sama seperti kedudukan Bulan di hati saya." "Lalu apakah kamu ingin meneruskan poligami ini ?" Kali ini aku terdiam. Aku belum bisa menjawab pertanyaan dari ayah Bulan. Aku teringat akan ucapan Pelangi yang tak ingin di madu. Tapi aku juga masih memiliki janji pada Bulan untuk melanjutkan hubungan poligami ini dengan adil dan baik. Apalagi setelah perjuangan panjang Bulan selama ini. "Jujur, ayah tidak rela anak ayah perempuan satu-satunya di madu seperti ini." Kata ayah. "Ayah merawat dan membesarkan dia dengan penuh cinta dan kasih sayang bukan untuk disakiti seperti ini. Apalagi setelah melalui berbagai macam masalah seperti kemarin ayah sungguh berharap agar kali ini kamu melepaskan Bulan." Lanjut ayah. "Dari awal, kami sebagai orangtua Bulan tidak pernah setuju dengan pernikahan kalian. Jika bukan karena Bulan yang merengek-rengek dan menjanjikan kepada kami tentang kebahagiaan yang akan kamu berikan padanya, tentu kami tidak akan menyetujuinya." "Maafkan saya ayah." "Lepaskan Bulan. Mungkin ini akan berat bagi Bulan. Tapi ayah yakin lama-lama dia akan bisa menerimanya. Biarkan Bulan bahagia. Kamu juga sudah bahagia kan dengan istri pertama dan anakmu ? Apalagi yang kamu harapkan dari Bulan ? Untuk memberimu keturunan saja Bulan tidak bisa. Ayah tidak mau suatu saat Bulan sakit lagi, menerima kenyataan bahwa istri pertamamu hamil lagi memberimu keturunan lagi, dan Bulan akan semakin tersiksa melihat kalian bersama anak-anak kalian. Coba pahami." ***** Jam 11 malam aku memasuki kamar Bulan. Sudah hampir satu tahun aku tak menginjakkan kaki disini. Bulan berdiri di depan meja rias sambil menyisir rambutya. Dia tersenyum melihatku masuk ke kamar. Selanjutnya dia mendatangiku dan menciumku. Bulan masih saja menggodaku. Dia sungguh seperti wanita liar yang haus akan seks. Entah kenapa justru aku tak b*******h padanya. Melihat tubuh molek Bulan tanpa sehelai benangpun aku tetap tak bisa b*******h. Aku terngiang-ngiang akan perkataan ayah Bulan. "Sayang kamu kenapa sih ?" Bulan marah karena kejantanan Moondy tak kunjung bisa menjulang. "Maaf, aku lelah. Bisakah kita beristirahat dulu ? Aku benar-benar lelah Bulan." "Tapi aku ingin ... " "Tolong, tidak sekarang. Aku capek. Aku mau tidur. Besok pagi-pagi aku harus pulang. Pelangi dan Cilla menungguku." "Berhenti menyebut nama mereka saat bersamaku. Aku cemburu." "Oke. Aku minta maaf. Tapi sekarang aku mau tidur. Mengertilah. Sekarang kamu juga tidurlah. Beristirahat dulu." Aku melepas kaos dan merebahkan diri di ranjang. Aku tak peduli lagi dengan Bulan yang menggertak gertakkan kakinya sambil mengoceh memakai bajunya kembali. **** Aku tak sabar menemui Pelangi dan Cilla di rumah. Rasanya rinduku memuncak kepada mereka meskipun baru sehari aku tak bertemu mereka. Kupacu mobilku dengan kencang agar aku segera sampai dirumah. Bulan marah karena aku tak mengajaknya kembali. Tapi ini memang yang terbaik. Kalaupun bersamaku tentu aku yang bingung karena harus membawa dia kemana. "Ayahhh ayah ...... " Teriak Cilla sambil berlari ke arahku yang baru saja turun dari mobil. "Halo anak cantik ayah, udah mandi ?" "Andiiii andii ...." "Uh wangi sekali, mama mana ?" "Mama umah." "Oh dirumah, Cilla udah makan ?" "Mammam ..." "Mbak Cilla, ayah baru pulang ayok sama mbak dulu, ayah capek." Kata babysister sambil mengambil Cilla dari gendonganku. "Pelangi mana mbak ?" "Ada di kamar pak." "Oke. Ajak Cilla main dulu ya?" "Njeh pak." Aku berlari kecil menuju kamarku di lantai dua. Kulihat jam tanganku menunjukkan pukul 8 pagi. Jam segini biasanya Pelangi sedang mandi. Ah aku rindu padanya. Aku harus mempersiapkan seribu jawaban saat nanti dia bertanya tentang apa saja yang aku lakukan dengan Bulan dari kemarin. Semoga dia tidak marah padaku. Klek. Kubuka pintu kamar. "Astaga !" Dan benar saja dugaanku. Pelangi baru selesai mandi. Handuk masih menempel di tubuhnya. Ini membuatku tiba-tiba berpikiran kotor. Sudah lama juga aku tak melakukan morning seks dengan Pelangi. Kututup pintu kamarku, tak lupa menguncinya sebelum aku berlari ke arah Pelangi dan menggendongnya menuju ke tempat tidur. "Ih bau...... Mandi dulu." Kata Pelangi. "Nanti saja, sesudah aku menciummu." Kataku sambil mencium tengkuk lehernya. "Kamu harus bekerja kan? Sudah jam berapa ini ?" "Aku ingin mengerjaimu dulu, baru setelahnya bekerja sungguhan." Kataku sambil membuka handuknya. "Mas, udah ah. Masih pagi. Gak enak sama orang rumah." "Gak pa-pa, kan mereka diluar ini. Ayolah, sudah lama kita tidak morning seks, aku ingin. Sebentar saja." Pelangi tersenyum. Dia mengangguk sebelum akhirnya menggulingkanku dan menindihku dibawahnya. Pelangi mencium bibirku. Dia nampak lebih agresif pagi ini, seperti bukan Pelangi sebelumya. Tapi aku suka, karena dia sepertinya sudah bisa mengimbangi permainanku. Hoekkkkk ...... Hoekkkkkk ..... Ah sial, permainan panas pagi ini harus terhenti. Pelangi tiba-tiba beranjak dari atas tubuhku, dia berlari kekamar mandi. Kudengar dia muntah-muntah. Kurapikan celanaku sebelum aku menyusulnya ke kamar mandi. "Sayang kamu kenapa ?" "Morning sickness." Jawab Pelangi sambil ngos-ngosan. "Apa itu ?" "Gejala yang sama seperti saat dulu aku hamil Cilla mas, aku mual-mual terus." "Hah ?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD