Rendra Resakha menyugar rambut ikalnya yang mulai memanjang itu ke belakang, lalu menghisap batang rokok yang sejak beberapa menit lalu menemani diamnya. Kadang, terlalu banyak yang harus dipikirkan justru membuat ia tidak bisa berpikir sama sama sekali. Rendra butuh jeda-jeda sesaat seperti ini sebelum menhadapi masalah itu satu per satu tanpa banyak berpikir.
Perasaan Rendra membaik setelah menghabiskan satu batang rokok itu. Sudah cukup istirahatnya, sebab ada hal lain yang harus Rendra lakukan.
Hanya butuh waktu sekitar tiga puluh menit bagi Rendra yang semula masih bau keringat dengan hanya memakai celana boxer dan bertelanjang daada itu untuk merapikan penampilan, siap pergi. Demi acara yang akan dihadirinya ini, Rendra rela merepotkan diri dengan tampil lebih rapi dari biasanya. I memakai kaos polos biasa yang ia lapisi dengan blazer semi formal warna hitam, senada dengan kaos dan celananya. Rendra pikir penampilannya sudah cukup pantas untuk acara yang akan dihadirinya, yaitu undangan jamuan makan malam, perayaan pernikahan Yuri, seseorang yang sempat mencuri hati Rendra tapi pergi tanpa mengembalikan hati tersebut.
Acara tersebut digelar di sebuh restoran, tampaknya pasangan baru tersebut sengaja menyewa satu restoran penuh untuk menjamu tamu-tamu mereka.
Saat Rendra tiba, parkiran restoran tersebut telah penuh dan keadaan di dalam juga pasti sudah banyak orang. Sesaat Rendra terdiam di pelataran restoran itu, dalam hati mengasihani diri sendiri. Ia harus mengucapkan ‘selamat’ di saat hatinya sedang tidak sehat. Lebih mirisnya lagi, ucapan selamat itu ditujuan pada orang yang telah membuatnya terluka.
Rendra menghela napas panjang. Baiklah, ia hanya perlu menampakkan wajah, makan, lalu pulang.
“Om Le, Om Le!” Panggilan suara bocah kecil yang sangat familiar di telinganya itu membuat Rendra celingukan mencari keberadaannya, sejurus kemudian tampak seorang wanita dalam balutan gaun putih sederhana, berjalan menghampirinya sambil menggandeng bocah pemilik suara tersebut.
“Om Le, Yayu pakai kon bunga-bunga cantik,” celoteh bocah bernama Rayu, dia menunjukkan hiasan kepala dari rangkaian bunga-bunga ukuran kecil yang menjadi mahkotanya malam ini. Dia memang selalu suka memamerkan sesuatu yang dimilikinya atau habis melakukan sesuatu luar biasa pada orang-orang di sekitarnya.
“Wah, iya, crown bunganya cantik sekali.”
“Yayu cantik.” Rayu seolah memberi tahu mana yang harusnya dipuji cantik.
Celetukan protesnya itu membuat Rendra dan ibu dan bocah itu tertawa. Siapa yang bisa tahan dengan bocah ini? Rendra pernah membayangkan ia akan menjadi ayah dari Rayu. Namun, takdir berkata lain. Rayu ditakdirkan untuk hanya memiliki satu ayah, dan itu adalah ayah kandungnya setelah sang ibu memilih rujuk dengan ayahnya itu.
Rendra mengelus pipi tembam Rayu gemas. “Iya, dong, Rayu yang cantik.”
“Ami juga cantik.”
Sontak saja, pandangan Rendra teralih ke atas, pada wajah Ibu Rayu, Yuri yang cantik cantiknya kali ini terlihat tak biasa. Yuri seolah memancarkan aura yang selama ini belum pernah Rendra lihat menguar dari dirinya. Hal itu membuat Rendra tersenyum. Meski ia harus bergelut dengan patah hati, Rendra senang setidaknya Yuri tidak salah memilih hati.
“Hai, Re. Terima kasih udah datang,” ujar Yuri, baru berkesempatan menyapa Rendra.
“Sudah seharusnya. Biar nanti lo juga datang ke nikahan gue,” canda Rendra. Menikah apanya? Rendra kini bahkan tidak ingin berhubungan dengan wanita. Bukan, bukan maksudnya Rendra ingin mencari pengalaman baru dengan berhubungan dengan pria. Rendra hanya lelah, ia tidak ingin menjalin hubungan apa-apa, tidak juga dengan siapa-siapa. Renda hanya ingin fokus pada dirinya sendiri dan ia tak perlu berusaha keras membuat orang itu terkesan.
Yuri tertawa meningkahi candaan Rendra. “Gue akan datang meskipun nggak lo undang. Tapi gue beneran terima kasih banget lo mau datang, Re. Lo bahkan sampai dandan serapi ini.”
Rendra menghendikkan bahu enteng. “Cuma jaga-jaga aja, siapa tahu jodoh gue ada di sini.” Rendra tidak yakin apakah candaannya memang terdengar lucu, atau Yuri hanya pura-pura tertawa saja. Bagaimanapun juga, mereka pasti hanya sama-sama berusaha menutupi kecanggungan. Rendra mengembuskan napas pendek dan kembali tersenyum, mendadak atmosfer di antara mereka berubah jadi serius.
“Selamat, Yuri.” Akhirnya kata itu terucap juga, dan ternyata rasanya tak sesakit yang sempat Rendra bayangkan. Sesaat Rendra terdiam, memikirkan apa lagi yang harus ia katakan. Dan, jeda sunyi itu hanya membuat atmosfer di sekitar makin kelam. “Gue nggak jago, nih, ngarang pesan-pesan atau ngasih wejangan pernikahan sedangkan gue sendiri belum ada pasangan. Pokoknya, lo harus bahagia, biar suatu hari nanti lo nggak akan pernah dengar gue ngomong, ‘sekarang lo nyesel, kan?’’
“Apaan, sih, Re. Nggak jelas.” Yuri memukul daada Rendra diantara kekehan tawa dan linangan cairan di pelupuk mata.
Rendra tertawa juga. Mungkin memang seperti inilah patah hati harusnya dilalui, yaitu ditertawakan saja, alih-alih didramatisasi.
Rendra baru berpisah dengan Yuri, ketika seseorang memanggil Yuri. Yuri pun pamit setelah menunjukkan di mana kursinya.
“Dah, Om Le.” Rayu melambai-lambaikan tangan sambil berjalan menjauh, mengikuti langkah sang ibu.
Rendra turut melambaikan tangannya. Dalam hati mengucapkan selamat tinggal, bukan pada Rayu, melainkan pada Yuri.
“Nggak usah dilihatin sebegitunya. Dia udah jadi istri orang.”
Suara itu terdengar bersamaan dengan seorang wanita bergaun merah berry berdiri di sampingnya, dengan pandangan tertuju pada Yuri dan suaminya yang tengah tertawa bercengkerama dengan tamu mereka.
Rendra memutar bola mata malas. “Dan dia udah jadi istri kakak lo, nggak usah lagi insecure sebegitunya.”
“Justru karena Yuri udah jadi istri kakak gue, lo nggak boleh mengusik kebahagiaan dia.”
“Mengusik kebahagiaan,” dengus Rendra, nyaris meledakkan tawa. “Gue ketemu Yuri saat dia sedang butuh kebahagiaan, setelah kebahagiaan dia dihancurkan sama kakak lo. Terus tahu-tahu kakak lo datang lagi di saat gue udah beresin apa yang udah dia hancurkan itu. Sekarang, siapa yang lebih pantas ngomongin soal kebahagiaan?”
“Wah … lo oragnya sangat percaya diri, ya.” Tya menyipitkan mata seolah tak habis pikir dengan ucapan Rendra. “Lo kira yang bikin Yuri bahagia, gitu?”
“Setidaknya, gue yang ada waktu dia nggak nafsu makan dan bisanya cuma nangis doang. Gue yang ada, waktu dia membenci anak dalam kandungannya sendiri. Gue juga ada waktu Yuri melahirkan, sementara Yuri nggak mau kakak lo ada di sana.”
“Itu nggak membuktikan kalau lo ngasih kebahagiaan ke Yuri. Bagi Yuri, mungkin aja lo cuma teman yang bisa diandalkan?”
Rendra memejam sesaat, menahan kesal. Ia kesal karena Tya kembali mengingatkannya bahwa memang seperti itulah posisi Rendra di mata Yuri. Hanya sebatas teman yang dapat diandalkan.
Namanya Tya. Ya, hanya sebatas itu yang Rendra tahu tentang dia, itupun karena orang-orang memanggilnya begitu. Rendra dan Tya tidak pernah berkenalan secara benar, sebab pertama kali mereka bertemu, Tya langsung bersikap seperti anjing penjaga yang selalu menyelak tiap ada Rendra. Tya adalah adik kandung Mulya, suami Yuri.
Pernikahan Yuri sendiri semestinya diadakan hari ini, tetapi terpaksa harus dimajukan ke tanggal di mana Tya seharusnya menikah. Dari info yang Rendra dengar dari Yuri, pernikahan Tya harus batal karena calon suaminya mendadak membatalkan pernikahan. Saat itu Tya pasti mengalami masa sulit, tapi sepertinya sekarang dia telah berhasil mengatasi itu. Setidaknya itulah kesan yang Rendra tangkap lewat rasan, serta cara Tya memilih model dan warna pakaian.
“Yang memberikan Yuri kebahagiaan tuh dua,” lanjut gadis Tya, melemparkan pandangan ke arah Yuri dan Mulya, isyarat agar Rendra turut memandang ke arah yang sama. Tampak Mulya tengah merangkul pinggang Yuri mesra dan mereka saling berbagi tawa. Ya, sepintas mereka memang tampak bahagia dan Rendra sama sekali tidak menginkarinya.
Rendra pikir, Tya sengaja menunjukkan itu untuk membuatnya iri, tapi sesaat kemudian Tya menghela napas berat dan tatapannya berganti malas.
“Lo kelihatan nggak terlalu senang melihat mereka bahagia,” gumam Rendra, memperhatikan wajah Tya dari samping.
“Gue sebenarnya nggak tahu mesti bahagia atau kasihan karena mereka kelihatan sangat menggantungkan satu sama lain. Lo tahu? Kebahagiaan yang sumbernya dari manusia, itu sesuatu yang sangat riskan. Siapa yang bisa menjamin seseorang nggak akan berubah? Seseorang yang udah kita kenal bertahun-tahun dan kita sangat yakin kenal dia luar dalam saja ternyata bisa jadi orang yang paling menyakiti kita. Jadi, sangat bodoh kalau sampai kita berpikir, apalagi berharap seseorang akan bisa membuat kita bahagia.”
“Curcol?”
Tya melayangkan lirikan membunuh ke arah Rendra dan meninggalkan lelaki itu dengan tampang penuh dendam.
Sebetulnya, Rendra sendiri juga punya pemikiran sama seperti Tya. Untuk masalah kebahagiaan, kita tidak bisa mengandalkan orang. Sebab cinta—romansa dan bahagia, tidak satu paket.
Kadang malah cinta dan bahagia tidak ada saling berkaitan. Seseorang bisa bahagia meski tanpa romansa.