Bohong jika Setyari Belia tidak iri melihat Yuri dan Mulya berdiri bersanding melakukan pidato terima kasih kepada para tamu yang telah menyempatkan diri datang ke acara jamuan makan malam pernikahan mereka. Beberapa hari lalu, seharusnya Tya juga seperti mereka. Berdiri dengan tangangan diganggam Richo di sebelah kue pernikahan susun 4 dan memakai gaun putih dengan rok mengembang lebar yang membuatnya benar-benar menjadi ratu sehari.
Kenangan hanya kenangan. Terus diingat-ingat hanya akan terasa menyakitkan sebab Tya hanya akan menghabiskan waktu untuk menyesal 'mengapa tidak begini, seandainya tidak begitu'. Namun, Tya kesulitan menatap hanya lurus ke depan. Ada rasa takut dalam benaknya setelah sekian lama Richo menjadi bagian hidupnya, ia selalu bertanya-tanya, apa ia sanggup melanjutkan hidupnya sendiri?
Di atas pangkuannya, Rayu tertidur pulas. Sejak awal acara Tya memilih menyibukkan diri menjaga Rayu, alih-alih meratapi pesta yang seharusnya menjadi miliknya. Rayu tertidur usai menangis karena Yuri menegurnya dengan nada tinggi setelah Rayu lari-larian di antara meja-meja tamu hingga nyaris menabrak pelayan yang berkeliling menuangkan minuman. Jelas tempat ini bukan tempat cocok untuk Rayu yang tidak bisa diam di satu tempat lebih dari 10 menit.
Lamunan Tya terusik ketika merasakan tubuh Rayu menggeliat dan dia bangun karena kondisi yang memang cukup berisik, karena masih mengantuk tapi tidak bisa tidur, wajah Rayu jadi cemberut.
"Yayu ngantuk?" tanya Tya, menepuk-nepuk b****g Rayu. Jika ada Mulya di dekatnya, Tya mana berani memanggil nama Rayu dengan pelafalan salah, bisa-bisa kepalanya digetok lantaran dianggap mengajari kebiasaan keliru.
"Yayu mau pulang," rengek Rayu, mengusap-usapkan wajahnya ke d**a Tya.
"Sebentar lagi ya, acaranya belum selesai. Mami sama Papi masih harus jadi prince sama princess dulu."
Rayu menguap lebar dan menggosok-gosok hidungnya sampai memerah, melihatnya itu Tya jadi kasihan, Rayu pasti sangat bosan. Akhirnya Tya berinisiatif bilang ke mamanya akan membawa Rayu ke luar. Rayu tidak mau jalan sendiri, masih nemplok manja di d**a Tya. Tya mengendongnya ke luar, di pelataran restoran ada kolam dengan air mancur kecil yang sempat langsung menarik perhatian Rayu begitu tiba tadi. Kolam itu dihiasi lampu-lampu LED di dinding-dinding dalam kolam sehingga membuat air di dalamnya memancarkan cahaya paduan warna pink dan biru. Dan benar saja, Rayu langsung minta diturunkan karena ingin mencelupkan tangannya ke dalam kolam. Tya harus awas dan terus memegangi Rayu agar dia tidak lompat ke kolam itu atau membahasahi gaunnya sebab mereka masih ada sesi foto bersama.
Rayu banyak bertanya kenapa kolam ini tidak ada ikan warna-warni seperti di tempat dia liburan dengan Yuri dan Mulya, padahal itu sudah lumayan lama berlalu tapi Rayu masih mengingatnya.
"Ah ... Ikannya banyak, ya?" Tya menanggapi celoteh Rayu dengan gemas.
"Banyak, Yayu makan."
"Yang Yayu makan bukan ikan di kolam itu."
"Tapi ikan, kok."
Tya tertawa. Rayu seperti orang dewasa kalau sudah ngotot sampai alisnya menyatu. "Iya, sama-sama ikan. Tapi ikannya beda. Yang Yayu makan ikannya dari kolam lain, yang di kolam aor mancur ikannya nggak dimakan."
Bibir Rayu mengerucut lucu, seperti berusaha memahami penjelasan Tya tapi ujung-ujungnya hanya menyengir. "Ikan enak, Yayu makan banyak," ujarnya bangga lantaran bisa makan banyak. "Oh, Om Le!" Rayu sumringah melompat-lompat, memandang ke arah teras pintu masuk restoran. Tampak Rendra baru keluar dari pintu itu.
Sementara Rayu jingkrak-jingkrak senang saat Rendra berjalan menghampiri tempat mereka, Tya melengos sembil menghela napas malas. Sampai detik ini ia belum juga mengerti apa yang membuat Yuri betah berteman dengan lelaki ini. Di matanya Rendra itu kasar, tidak bisa bersikap manis pada perempuan. Belum lagi dengan gaya bicaranya yang datar dan singkat-singkat seperti malas-malasan, mungkin Rendra pikir dirinya cool, padahal itu hanya membuatnya terlihat tidak menghargai lawan bicaranya.
Wajah Rendra terlihat sedikit lebih ramah hanya saat berhadapan dengan Yuri dan Rayu, seperti sekarang ini. Rendra berjongkok menyamakan tinggi badannya dengan tinggi Rayu. "Hai, kamu ngapain di sini?"
"Mau lihat ikan-ikan tapi nggak ada ikan. Om Le mau lihat ikan juga?"
"Enggak, Om mau pulang."
"Yayu ikuuut," seru Rayu.
"Eh, Rayu belum boleh pulang dulu," sergah Tya. "Nanti pulangnya sama Mami Papi."
"Tapi Om Le pulang," protes bocah itu.
"Ya dia bebas mau pulang, keberadaannya sendiri di sini aja sebenarnya nggak penting." Tya memutar bola mata tak acuh meningkahi lirikan sebal Rendra.
Rendra kemudian berkata pada Rayu. "Om Le pulang karena ada urusan—"
"Cih, masa?"
"—Rayu harus di sini tunggu Mami, sebentar lagi acaranya selesai, kok." Rendra berlagak tak mendengar Tya.
"Nggak asyik, tadi marah-marah Yayu," adu Rayu manja.
"Bukan marah. Mami cuma khawatir Rayu jatuh karena lari-lari di tempat banyak orangnya," jelas Rendra.
"Kok lo bisa tahu?" Suara Tya yang menyahuti padahal yang diajak Rendra bicara adalah Rayu. "Astaga, nggak nyerah-nyerah juga lo ya. Masih aja ngelihatin Yuri padahal lagi sama suaminya. Sadar, dong. Dan nggak usah manis-manis sama Rayu. Dia ada bapaknya sendiri."
Sekali lagi Rendra melirik Tya tajam, terlihat jelas sekali berusaha menahan diri agar tidak terpancing emosi.
Mbak Rini—pengasuh Rayu, memanggil mereka agar masuk karena ada sesi foto keluarga. Setelah diiming-imingi boleh makan es krim setelah ini, Rayu menyambut gandengan tangan Mbak Rini dan pamitan pada Rendra. "Dadah, Om Le."
Rendra balas melambaikan tangan sambil tersenyum lebar, lalu bangkit berdiri kemudian. Tya masih menahan dirinya di sana, ia melipat tangan di d**a, ia acungi jempol kegigihan Rendra yang mengharap Yuri hingga titik terakhir. Tapi Demi Tuhan, seseorang harus memberitahu dia kalau utu justru membuatnya tampak menyedihkan. "Kalau gue jadi lo, gue akan menjauhi Yuri selama-lamanya karena lo jelas-jelas nggak bisa mengendalikan perasaan. Lo secinta itu ya, sama Yuri?"
Rendra mengembuskan napas, dan barulah benar-benar menolehkan kepalanya menatap Tya. "Dan kalau gue jadi lo, gue nggak akan ngeribetin urusan orang lain. Kalau memang kakak lo insecure gue ada di sekitar Yuri, suruh dia sendiri yang ngomong."
"Eh, gue ngomong begini bukan demi Mas Iya, ngalain juga Mas Iya insecure sama lo, dih. Gue begini demi kebaikan lo sendiri. Mending mulai belajar melupakan Yuri daripada meratapi kasih tak sampai lo itu."
Rendra mengibaskan tangan tak peduli. "Terserah, deh. Suatu hari nanti kalau kita nggak sengaja ketemu lagi, mending kita pura-pura nggak saling lihat," dengus lelaki itu, sebelum kemudian menggerakkan kaki hendak pergi.
"Hei, harusnya gue ya yang bilang begitu!" teriak Tya tak terima. Namun Rendra sama sekali tidam menghiraukannya, dia tetap berjalan lurus menuju parkira seolah tidak mendengar teriakan apa-apa. Agaknya malam ini perasaannya sedang sangat sentimentil, hanya dengan menatap punggung Rendra yang kian menjauh saja rasa-rasanya Tya seperti dicampakan.
"Hah, apa-apaan itu? Masa yang begini gue harus ditinggalin lagi. Nggak si Anjing Nico, nggak si Gondrong itu. Semua laki-laki sama aja."
***
"Kamu terlalu baik buat aku."
Byur! Tya melempar isi gelas minumnya ke wajah Richo, kekasih yang telah menjalin hubungan dengannya selama 6 tahun lamanya tapi tega meninggalkannya tepat di hari seharusnya mereka menyatu jadi sepasang suami istri.
"Apa yang kamu bilang tadi? Aku terlalu baik buat kamu?" Tya mengulang jawaban Richo atas pertanyaan Tya, mengapa Richo tega meninggalkannya.
Dengan tenang Richo menyeka wajahnya menggunakan tisu, lalu kembali menatap Tya. "Iya, kamu terlalu baik buat aku."
"Bullshit, Cho!" maki Tya marah. "Kenapa butuh waktu selama itu buat kamu sadar kalau kamu nggak pantas buat aku, dan kenapa harus pas di hari pernikahan kita? Coba kasih aku alasan lebih masuk akal."
Enam tahun bukan waktu yang singkat. Banyak hal yang telah mereka lalui bersama. 6 kali Richo hadir di perayaan ulang tahunnya, 6 kali Richo jadi teman melewati pergantian tahun, 6 kali Richo memberinya bunga di hari valentine. Mereka lulus SMA bersama, saling menemani dan mendukung pendidikan di Universitas hingga masing-masing lulus. Bisa dibilang, mereka tumbuh dari bocah putih abu-abu hingga menjadi orang dewasa bersama-sama. Semua orang bilang mereka pasangan sempurna, tak terhitung berapa kali Tya mendengar dengungan iri lantaran jalan cintanya begitu mulus dan manis.
Enam tahun mereka baik-baik saja, sampai-sampai Tya berpikir ia luput dari pengawasan Tuhan lantaran ia tak pernah diberi kesulitan seperti orang-orang lain.
"Ini yang terbaik buat kamu, Ya. Lebih baik batal, daripada di tengah jalan nanti kamu menyesal."
"Apa?" dengung Tya antara kecewa dan putus asa. Jelas ada sesuatu yang Richo sembunyikan, Tya sangat hafal segala tabiat Richo. "Apa ada wanita lain?" tebak Tya, tak mau pulang tanpa jawaban pasti.
Richo menghela napas dibarengi dengan decakan lidah malas. "Ya udah, anggap aja ada. Aku udah muak sama kamu. 6 tahun ternyata terlalu lama buat kita."
Sialan. Darah Tya makin mendidih, ia melihat ke seluruh permukaan meja mencari sesuatu yang kiranya bisa dilempar ke wajah tak acuh Richo. Ketidakacuhan respon Richo barusan, cukup untuk menandakan bahwa lelaki itu tidak menghargainya dan tidak menghormati hubungan mereka.
Tak menemukan apapun di mejanya, Tya mencari ke meja lain. Tanpa ragu, ia merebut gelas minuman yang tengah dipegang pengunjung kafe yang duduk di meja tepat di belakangnya. Sekali lagi, Tya melempar isi cairan dingin itu ke wajah Richo. "Pergi lo dari hadapan gue. Jangan pernah muncul lagi. Ingat kata gue baik-baiknya, nggak cuma ke gue, lo nggak pantas bersanding sama perempuan mana pun. Nggak ada satu pun yang pantas buat lo. Ingat kata-kata gue. Lo nggak pantas bersanding sama siapa-siapa. Lo bahkan nggak pantas buat bahagia."
Ganjalan di daada Tya sedikit lega usai mengutuk Richo. Seseorang yang telah menghancurkan hati orang lain, memang tidak sepantasnya bahagia. Ada cara lebih santun untuk membatalkan pernikahan, sesantun saat Richo menghadap ke orangtua Tya, menyampaikan keinginannya untuk menjadikan Tya istrinya. Richo seolah sengaja ingin mempermalukan Tya dan keluarganya. Barangkali kejadian itu akan menjadi aib bagi keluarganya, jika saja sang Kakak, Mulya, tidak mengambil alih acara dengan terpaksa mempercepat rencana pernikahannya.
Kembali dengan tenang Richo menyeka wajahnya menggunakan tisu dan membalas tatapan kemarahan Tya tanpa ada kesan merasa bersalah. "Masih ada lagi? Kalau nggak ada, aku mesti pergi."
Tya terperangah tak percaya. Setelah akhirnya Tya menghubungi semua keluarga Richo yang dikenalnya hanya agar Richo bersikap jantan menunjukkan diri, pertemuan ini akan berakhir dengan Richo yang meninghalkannya lagi? Bagaimana bisa selama ini Tya tidak sadar telah mengencani seorang bermental banci.
"Cukup sekali aja lo ninggalin gue. Kali ini, gue yang akan ninggalin lo. Mulai sekarang gue akan anggap kalau lo udah mati." Tya lantas menyambar tasnya dan pergi dari sana, sembari bersumpah dalam hati bahwa ia tidak akan pernah mau bertemu dengan Richo lagi. Selamanya.
Ditinggalkan Tya, kepala Richo tertunduk dalam, memandangi jari manis tangan kirinya yang masih meninggalkan bekas garis cincin tunangannya dengan Tya. Kemudian perlahan bibirnya menyunggingkan senyum masam yang teramat menyakitkan. "Maaf mengecewakan kamu, sayangnya aku yang akan tetap ninggalin kamu duluan, Ya. Bagus kalau kamu udah anggap aku mati mulai dari sekarang."