"Gue ditinggal di hari pernikahan gue."
"Gue nemenin cewek yang disakiti Kakak lo selama tiga tahun dan ujung-ujung dia dia balik lagi. Kan setan."
"Gue udah pacaran sama dia 6 tahun. Bayangain, Re, 6 tahun dan dia baru sadar kalau gue terlalu baik buat dia."
"Gue yang hibur dia waktu dia nangis, gue yang bertingkah nggak tahu malu cuma biar bikin dia ketawa, tapi apa yang gue dapat? Satu kata terima kasih udah jadi sabahat. Taik." Lelaki berambut ikal yang dikuncir asal-asalan itu berdecih muak, dia menjepit lagi rokok di bibirnya dan menghisapnya dalam. Kepulan asap putih keluar bersamaan dengan embusan napasnya.
Sementara itu, gadis berambut pendek di sebelahnya melirik lelaki itu malas. "Itu karena lo aja yang bego."
"Apa bedanya sama lo?"
Setyari, gadis itu lalu memutar badannya jadi terlentang di tengah ranjang. Membuat selimut abu-abu yang menutupi tubuh polosnya tersingkap, menampakkan separuh gundukan daadanya tanpa malu. "Iya, gue emang bego banget," desahnya lirih. "Lo juga."
Di sebelahnya, Rendra melirik Tya sesaat. Memandangi wajah cantiknya yang sangat tipikal standar cantik kebanyakan. "Lo masih percaya sama cinta, Ya?"
"Setelah 6 tahun yang gue habiskan sia-sia, Re?" Tya tertawa keras tapi garing, tidak ada emosi sama sekali di dalam tawanya. "Cukup sekali aja gue patah hati. Kayaknya, cinta nggak cocok buat semua orang."
"Cinta nggak cocok buat semua orang," ulang Rendra manggut-manggut pelan, seolah menyetujui ungkapan tersebut.
"Lo sendiri?" tanya Tya penasaran.
Rendra menghendikkan bahu acuh tak acuh. "Gue punya banyak hal buat diurus, gue nggak akan sempat buat mikirin cinta-cintaan."
"Oh, bagus, deh."
"Bagus kenapa?"
"Karena artinya gue nggak perlu khawatir lo bakal jatuh cinta sama gue."
Seketika tawa Rendra menyembur keras. "Nggak usah mimpi."
Tya mendengus, sudah terlampau terbiasa dengan kata-kata tajam dan kotor yang keluar dari bibir Rendra. Tentu saja, memangnya apa yang bisa ia harapkan dari seorang lelaki urakan yang tidak punya ambisi memperkaya diri. Masa mudanya hanya dihabiskan untuk mengelola sebuah rumah singgah bagi anak-anak jalanan dan sekitar kampung, di saat laki-laki sebayanya mulai membangun karir dan keluarga sedangkan Rendra asyik dengan dunianya sendiri.
Tya berguling ke sisi samping usai melemparkan kaos Rendra hingga mengenai daada bidang lelaki itu yang terbuka. "Gue mau tidur, ngerokok di luar sana."
Rendra menyampirkan kaos hitam bebal itu ke pundaknya sambil memandangi Tya yang tidur menyamping memunggunginya. Jika dipikir-pikir lagi, menggelikan bagaimana mereka bisa berakhir menjadi semacam friends with benefit seperti sekarang, ketika setiap bertemu dengannya saja Tya selalu sinis seolah-olah jijik dengan penampilannya.
Entah hubungan saling menguntungkan ini akan bertahan berapa lama atau bahkan selamanya. Siapa yang butuh cinta, di saat yang mereka butuhkan hanyalah seseorang yang selalu ada.