Chapter 24 keputusan Fahmi

1406 Words
Raz terkejut mendengar kabar dan musibah yang menimpa Ryan. Hatinya tak tenang. Namun, dia pun tak bisa gegabah, meninggalkan singgasananya. Pergerakannya kini telah di ketahui Raksana, kedua anak buah yang di minta untuk menjaga Fahmi telah menceritakan segalanya. “Bawa lebih banyak orang untuk menjaga Fahmi, segera kawal mereka kembali saat keadaan Ryan telah kembali pulih.” “Baik, Tuan.” Raz pun ikut khawatir, terpisah jauh seperti sekarang membuatnya tak tenang. “Sampaikan pesanku pada Wa Pasang. Ingat, jangan biarkan mereka celaka.” Sekelompok serigala itu tertunduk hormat. “Baik Tuan akan segera kami laksanakan.” ** Di kediaman Fahmi, Bu Laksmi dan Hafizah menunggu kepulangan putranya. Sudah hampir satu minggu, mereka tak juga kembali. Ada perasaan khawatir saat Bu Laksmi harus menyiapkan acara pernikahan itu sendirian. “Bu, kok mas Fahmi belum pulang juga, ya? Apa jangan-jangan terjadi sesuatu. Nggak biasanya perginya lama banget.” Bu Laksmi yang sedang bersantai menghela napas. “Entahlah, mungkin mereka ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Kamu jangan khawatir, calon pengantin tidak boleh banyak berpikir.” Fizah mendapatkan firasat. Hatinya gelisah dan tidak sabar menunggu sang kekasih pujaan hati kembali ke rumah. “Jika Fahmi tidak datang dalam tiga hari ke depan. Ibu sendiri yang akan menemuinya di tebing.” "Jangan, Bu. Tempat itu jauh dan sangat berbahaya." Fizah merasa beruntung, sungguh kasih sayang yang ditunjukan Bu Laksmi membuat dia merasakan kembali kehangatan dari seorang ibu. Tinggal lima hari lagi resepsi sederhana itu akan segera dilangsungkan. "Tidak apa-apa, ibu sudah terbiasa. Lagi pula, sekalian olahraga." Fizah tersenyum menanggapinya. Sejenak, Fizah melihat kecemasan di wajah Bu Laksmi. Dia tahu bahwa wanita tua itu juga mengkhawatirkan anak-anaknya. Lokasi Gunung Bayangan. Fahmi belum tidur semalaman demi menjaga air ramuan itu tetap hangat. Zean terus menemaninya, walau terkadang wanita itu ketiduran. Tapi, tak lama dia pun bangun saat Fahmi bangkit merapikan kayu bakar untuk menyalakan bara. “Kau tidak tidur? Hari sudah hampir pagi," ucapnya. Fahmi seperti tidak kehabisan energi. “Tidak, sebelum Ryan baik-baik saja.” Fahmi menuangkan ramuan itu ke atas mangkuk kecil dan membawanya ke sisi adiknya. Wa Pasang memintanya memberi ramuan itu setiap lima menit sekali, demi menghalau penyebaran racun yang menyebar. Fahmi merasa tidak tega saat dia harus menyuapi Ryan yang tidak sadar sama sekali. “Aku bisa menggantikan mu." Zean kembali berusaha mendekatinya. Fahmi sedikit oleng, sisa pertempuran tadi siang membuatnya kelelahan. “Tidak apa, aku bisa mengurusnya sendiri.” Bunyi burung saling berkicau, matahari kini sudah terbit. Istri Wa Pasang bangun dan membuat sarapan untuk semua orang. “Bagaimana keadaanya?” tanya Malik yang masih setengah terpejam. “Dia belum sadar, maaf jadi merepotkan kalian.” Sikap Fahmi begitu dingin pada Zeana, dia dirasuki ketakutan akan janji yang dia utarakan nya sendiri. Zeana berlalu menuju ke dapur dan membantu ibunya. “Tidak masalah. Wajahmu pucat. Sebaiknya kau istrahat dulu.” Malik mengkhawatirkannya. Seperti yang dilakukannya pada Zean, Fahmi juga mendiamkan Malik. Waktu berjalan tanpa terasa, kini memasuki hari kedua. Ryan belum bangun juga, lelaki itu terkapar tanpa memakai baju. Cakaran yang ada di bagian perutnya mulai mengering. Setiap Wa Pasang memeriksanya, Fahmi menolak dengan tegas meninggalkan ruangan itu. “Keluarlah, aku akan mengobatinya.” Fahmi menatap nyalang, sudah dua hari ini dia kehilangan napsu makan, tubuhnya ikut kurus dan mulai tidak percaya pada siapapun. “Keluar kataku.” “Tidak akan, aku bahkan tidak yakin kau mengobatinya. Kondisinya makin memperihatinkan dan kau memintaku meninggalkannya?!” “Keras kepala, sikapmu ini membuat kau dan Ryan celaka.” Pandangan Fahmi mengabur, dia berusaha tegar dan menggenggam tangan adiknya. “Aku pastikan tidak akan ada pernikahan dengan bangsa klan manusia serigala jika Ryan tidak selamat.” Gemetar Fahmi mengucapkannya. Sejauh ini dia hanya memiliki pegangan itu sebagai senjata. “Baiklah, purnama akan tiba sepuluh hari lagi, jika Ryan selamat maka kau harus mengabdikan diri dengan bangsa kita.” Juna dan Malik menatap iba pada Fahmi. “Akan kulakukan apapun jika kau bisa menyelamatkannya.” Zean mendengar semua itu di balik sekat pemisah berdinding anyaman bambu. Tidak ada keraguan dalam diri Fahmi saat mengatakannya. Namun, semua itu merupakan penghinaan bagi Zean. Wa Pasang memulai ritualnya, dia mentransfer energi yang dimilikinya pada Ryan. Fahmi terkejut dan hampir melepaskan tangan adiknya saat dia melihat wujud asli lelaki tua itu. Mustika sakti yang di tanam dalam diri Wa Pasang meninggalkan tempatnya dan berpindah pada Ryan. Hal itu sangat menguras tenaga dalam dan menghisap sebagian kekuatan. Keringat membanjiri tubuh Ryan, Fahmi terbelalak melihat darah berwarna hitam keluar dari mulut adiknya. “Wa!” panggilnya. Tubuh Ryan mulai bergetar, perlahan Fahmi merasakan adiknya itu membalas genggamannya. Wa Pasang melemah dengan perlahan. “Wa, cukup!" teriak Zeana. Wa Pasang jatuh terengah- engah, dia tak mampu berdiri dengan tegak. Zeana yang mengerti dengan baik apa yang baru dilakukan lelaki itu mendekat dan langsung memapahnya. "Wa, aku akan membawamu ke kamar." Fahmi tidak mengerti kenapa Wa Pasang begitu pucat. “Adikmu akan segera pulih, sekarang biarkan uwa istrahat.” Zeana berlalu dengan tatapan kecewa. Sedang Fahmi segera membersihkan noda di wajah adiknya. “Uwa melepas sukma itu untuk Ryan, wajar jika tubuhnya lemah,” ucap Juna. Malik hanya menatap lelaki itu dengan diam, Fahmi terpanah. Perlahan adiknya bergerak, Ryan membuka mata, wajah yang tadinya pucat kembai berseri. “Kau lihat dia sudah bangun, sehebat itu mustika yang kini tertanam di tubuhnya.” Fahmi menatap tanpa berkedip, dia memeluk Ryan dengan penuh rasa syukur. “Uhuk uuuk.” “Kau bangun, abang tidak percaya kau benar-benar bangun, Yan.” Fahmi begitu senang. “Dadaku sakit, Bang.” Lelaki itu tersenyum sambil menitikan airmata. “Ya, tidak apa-apa. Yang penting sekarang kau sudah sadar.” Istri Wa Pasang datang membawakan bubur untuk mereka. “Syukurlah kau sudah siuman, makanlah setelah itu minta abangmu untuk makan juga. Sudah dua hari dia hanya meminum air karena mengkhawatirkanmu.” Ryan tersentuh mendengarnya. “Fahmi jangan lupakan ramuannya.” “Baik, terimakasih.” Istri Wa Pasang pun menyingkir. Fahmi dengan telaten menyuapi Ryan, tangannya sesekali gemetar. Lelaki itu tak bisa melupakan kejadian tadi. “Sudah berapa lama kita di sini?” tanya Ryan, dia masih sangat lemah tapi juga begitu penasaran. “Tiga hari semenjak kau terluka.” Ryan menyentuh bekas cakaran yang ada di perutnya. “Bukankah, pernikahanmu akan berlangsung sebentar lagi. Dalam waktu dua hari ini, aku ingat betul ibu mengatakannya.” Fahmi tertunduk lemah, Zeana tiba-tiba masuk dan mengingatkan lelaki itu akan janjinya. “Ingat apa yang telah kau katakan pada Datuk, Fahmi. Jangan menjadi pengecut setelah apa yang kau dapatkan.” Ryan menatap wanita itu lekat. “Apa maksudmu?” “Kami akan menikah sepuluh hari lagi saat purnama tiba.” Ryan terbelalak tak bisa berkata apa-apa. “Selama itu kalian tidak boleh kemana-mana. Mengerti!" Kali ini, Fahmi pun terkesiap. “Zean, aku harus pulang untuk bertemu ibuku. Tolong izinkan aku sekali saja.” Fahmi memohon pada wanita itu. “Tidak, jangan egois kamu. Kau pasti akan pergi dan tidak akan kembali.” Fahmi menggeleng, semua dia lakukan demi ibunya. Dia tahu wanita terkasihnya itu akan nekat menyusul ke gubuk milik Ryan jika dia belum juga kembali. “Seumur hidupku aku tidak pernah mengingkari janjiku.” Pandangan mereka bertemu, tapi Zean tetap kekeuh pada keputusannya. “Aku tidak memintamu tinggal selamanya, Fahmi. Aku hanya memintamu tinggal selama sepuluh hari ini.” Keduanya berkeras dengan keinginan masing-masing. “Apa kau mencintainya, Zean?” tanya Ryan pada Zeana. Wanita itu menoleh, Malik hanya diam dan memperhatikan mereka dari jauh. “Cinta tidak diperlukan untuk saat ini, bagiku cinta itu omong kosong.” Ryan terluka, Zean menoleh kearahnya dan dia bisa melihat kesedihan disana. "Cinta itu nyata, Zean. Kau hanya belum merasakannya." Zeana tertawa kecil, tawanya itu terdengar mengerikan. "Aku harus menyelamatkan duniaku, Yan. Aku tidak butuh cinta untuk menikah dan memperjuangkan keturunan kami." Ryan berhenti bertanya, lelaki itu memilih membuang pandangan. Dia sadar Zean hanya menganggapnya sebagai teman biasa. Fahmi bangkit dan mencari Wa Pasang, dia berusaha mendapatkan kesempatan. Saat langkahnya terayun menuju ke ruangan lelaki tua itu, Zean kembali menarik lengannya. “Datuk butuh waktu untuk pulih, jangan ganggu dia. Apapun yang ingin kau katakan, katakan padaku. Tapi, jika yang ingin kau sampaikan hanya mengenai kepergianmu, maka lupakan saja.” Tegas, itulah yang dilakukan Zean. Wanita itu meninggalkan Fahmi disusul dengan Malik. Fahmi jatuh tersungkur tak berdaya. Bahunya bergetar, tangisnya luruh dan berusaha dia sembunyikan. “Bang.” "Bang kau dengar aku?" Lelaki itu menoleh dengan mata memanas. “Aku mencintai Fizah, Yan. Ikut bersamamu adalah kesalahan yang sangat fatal.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD