Chapter 4 menuju ke gunung

1128 Words
Pagi pertama di kampung gunung serigala udara begitu dingin hingga menusuk ke dalam tulang. Embun menggumpal dan singgah di sela dedaunan, menciptakan pemandangan yang indah. Suasana khas saat sedang berada di desa. Fahmi telah bangun dari tadi, dia memikirkan tentang Hafizah. Hanya tentang hal kecil, seperti, nyenyak kah tidur gadis itu malam ini? Apalagi semalam lolongan serigala menggema di sekitar kediamannya. Orang luar, biasanya kabur dan langsung terbirit-b***t jika pagi sudah menyingsing seperti sekarang. Mereka tidak akan bertahan dan selalu sport jantung setiap lolongan serigala itu terdengar akan menerkam seseorang. Fahmi menunggu hal itu juga terjadi pada Fizah. Jika teringat ekspresi gadis itu semalam, harusnya sekarang Fizah sudah tidak berada di rumah. Semalam .... Suara tangis Fizah membuat Fahmi terjaga. Karena khawatir. Fahmi mengetuk pintu dan menanyakan keadaan wanita itu. Fizah begitu kacau, saat mereka bertemu. Dari wajahnya, Fahmi menyadari jika gadis itu baru saja menangis. Sorot matanya menyimpan luka, Fahmi sedikit terhipnotis, sesaat dia tenggelam dalam tatapan gadis itu. Fahmi ingin menghiburnya. Sayangnya, dia tak bisa berbuat banyak ada batasan yang tidak boleh dilangkahi. Dan Fahmi sadar betul tentang semua itu. Lelaki itu menggelengkan kepalanya, menghilangkan fikiran tentang Hafizah yang terus menari di sana. "Jika dia tak kabur pagi ini, artinya dia bisa bertahan," ucap Fahmi dan melangkah keluar. Pemuda itu meremehkan Fizah, melihat gadis itu terlalu lemah. Fahmi berfikir, tidal alan bertemu dengannya lagi. ** Fahmi seorang pribadi yang mandiri, segala sesuatu dilakukannya sendiri. Untuk segala keperluan, Fahmi tidak merepotkan Ibunya. Kamar Fahmi merupakan privasi baginya, bahkan sang Ibunda tak di biarkan masuk sebelum mendapatkan izin. Lelaki itu bergabung dengan Ibunya di meja makan, Fizah sibuk menata sarapan. Teh hangat dan pisang goreng, menjadi menu andalan pagi ini. Ada yang berbeda dengan menunya, Fizah membuat nasi goreng dan ikut menatanya di atas meja. Fizah menyediakan satu piring nasi serta toping andalan dalam keluarganya dulu, telur ceplok dan kerupuk. Fahmi bergabung di meja makan. Lelaki itu tertegun kala Fizah masih ada disana dan menyodorkan sepiring nasi. 'Dia sungguh masih ada di sini,' batinnya. "Tuan, makanlah." Fahmi tidak terbiasa dengan menu pilihan Fizah, tanpa basa-basi dia pun langsung menolaknya. "Saya terbiasa sarapan dengan gorengan saja, Fizah," ucap Fahmi tanpa memandangnya. Fizah merasa sedikit kecewa dan menarik piringnya menjauh. Sikap Tuannya membuatnya sungkan. "Maaf, Tuan. Eh, saya tidak akan mengulanginya lagi," ucap Fizah dengan suara pelan. Fahmi menatapnya sekilas, Fizah terlihat segan, tidak ingin mengusik ketenangan gadis itu. Fahmi berubah pikiran dan membawa makanannya mendekat. "Ngga apa-apa, sekali-sekali kayaknya tidak apa jika sarapan dengan menu yang berbeda." Setelah mencicipi, pemuda itu tertegun. 'Lumayan juga,' batinnya. Fizah menunggu keluhan apa lagi yang akan keluar dari mulut Tuannya. "Ehm ... gimana masakan Fizah, enak?" tanya Bu Laksmi. Nasi goreng yang ada di piring Fahmi hampir tandas. "Enak." Fizah tersenyum melihat Bu Laksmi. "Ibu juga akan mencobanya." Gadis itu merasa diterima. "Benar, sangat enak. Fahmi, ajaklah Fizah untuk ke kebun, ajari dia memetik tanaman sayur dan buah," ucap sang ibu setelah sarapan. Fahmi dan Fizah saling pandang, hanya sesaat lalu mereka fokus ke makanan masing-masing. "Fizah, ikutlah dengan Fahmi. Kau akan senang bila berada disana. Semua masalah akan terasa ringan setelah kau duduk dan menikmati pemandangannya." Fizah tersenyum samar, dia tidak tahu, harus menolak atau mengiyakan. "Baik, Bu. Tapi, apakah dia sanggup?" Fahmi melempar keputusan pada gadis itu. "Bagaimana dia tahu jika dia belum mencobanya." Sarapan pun selesai dan Fahmi memutuskan menunggu Fizah diluar. Gadis itu tidak langsung mengikutinya. Dia masih sibuk di dapur hingga Fahmi lelah menunggu. Lama berdiri dan pegal sendiri tapi orang yang di tunggunya tak datang juga. Fahmi pun putuskan untuk menyusulnya ke dalam. Ternyata Hafizah baru selasai mengepel lantai. Mengatur perabot dapur dan lain-lain. Fizah yang melihat kehadiran Fahmi, tersenyum menyambut lelaki itu. "Em, butuh sesuatu?" tanyanya sambil terus memperhatikan lawan bicaranya. "Tidak. Bersiap-siap lah. Kita akan ke kebun untuk memetik sayur. Matahari semakin terik. Kita akan kepayahan jika kau mengulur waktu lagi." Pandangan mereka saling bertemu. Fizah mengangguk dengan perasaan malu-malu. "Aku sudah siap." "Oke, aku tunggu di teras," ucap Fahmi dan berlalu. Sudah jam sembilan pagi. Saat Fizah dan Fahmi keluar dari rumah, mereka pun berpamitan pada Bu Laksmi sebelum berangkat. "Kami pergi dulu, ya, Bu," ucap Fahmi mencium tangan Ibunya dan di ikuti oleh Fizah. "Iya, hati-hati. Fahmi jaga Fizah baik-baik." "Iya, Bu." ** Fizah dan Fahmi melewati beberapa rumah. Dan berbelok ke jalanan menuju kebun, mereka saling diam dan canggung. Fizah tertegun sesaat setelah memperhatikan sekitarnya. "Ada yang aneh, apa kau menyadarinya?" ucapnya setengah berbisik. "Apa?" Pemuda itu menoleh dan memperhatikan gelagat gadis itu. Fizah masih celingak-celinguk dengan raut bergidik ngeri. "Apa kau tidak perhatikan, atau hanya aku yang menyadarinya. Lihat, disini tak ada manusia," ucapnya serius. Fahmi mengerutkan kening mendengarnya. "Hey, kau anggap aku apa? Serigala." Fahmi menertawakan kepolosan Hafizah Gadis itu mematung, diam sesaat untuk menatap Fahmi. Ekspresi Fizah terlihat lucu sekali. "Tetapi, dari tadi kita berjalan tak ada orang. Lagi, pintu-pintu rumah tertutup seperti tak ada kehidupan. Kampung ini sedikit unik, apa menurutmu mereka nyata?" Fahmi tak mampu berpaling dari gadis itu. "Kau ini lucu, kau sangat cepat mengambil kesimpulan Fizah, rumah yang tertutup pintunya bisa jadi mereka sudah di kebun masing-masing. Anak-anak sudah di sekolah. Jadi tak ada yang berpapasan denganmu. Dan, ya. Jalanmu lelet kayak keong," ejek Fahmi. Fizah merenggut kesal. "Idih, enak aja kayak keong, aku tuh cepet, lihat ini." Baru saja Fizah melangkah dan gadis itu hampir jatuh mencium tanah. "Wow." "Fizah, hati-hati. Perjalanan kita masih belum seberapa. Kau liat disana?" Tunjuk Fahmi pada pohon besar di atas gunung. Jaraknya tidak terlalu menanjak bagi Fahmi. Tapi, entah bagi Fizah. "Ya, aku melihatnya." "Bagus, disana lah tujuan kita," ucap Fahmi datar. Fizah bengong dan terus melihat pohon besar itu. Dia tidak menyangka jika kebunnya benar-benar berada di atas gunung. "Apa aku sedang bermimpi, bagaimana bisa kami sampai di sana," keluh gadis itu. Fahmi menertawakannya dalam hati. "Ayolah, Fizah. Cepet jalan, kau bukan keong kan," goda Fahmi. Fizah mengejar langkah pemuda itu. Kali ini dia lebih berhati-hati. "Aku akan berusaha, lihat sekarang aku tidak seperti keong kan! Sekarang aku bisa melangkah lebih cepat!" sahut Fizah bersemangat. Tanpa mereka sadari, keduanya semakin akrab. Fahmi takjub melihat semangatnya. "Iya, udah nggak kayak keong! Tapi, kayak kura-kura," ucapnya puas lalu tertawa. Fizah cemberut mendengarnya, sesaat wanita itu pun lupa akan kesedihan dan ikut tertawa melihat Fahmi. ** Sang pemilik darah suci melangkah bebas di tengah masyarakat. Beberapa jelmaan serigala mengikutinya. Fizah dan Fahmi saling bergurau sepanjang jalan. Gadis itu terlihat lincah menapaki bebatuan besar yang menghalangi jalannya. Udara sangat sejuk walau matahari sudah sangat tinggi. Perbedaannya begitu besar dari pemandangan yang di lihat Fizah semalam. Kampung ini begitu menakjubkan seolah telah di tata oleh tangan gaib. "Kenapa?" Fizah mendongak saat menyadari Fahmi memperhatikan tingkahnya. "Tidak, aku hanya mengangumi desa ini. Sangat indah." "Berada di atas gunung, kau dapat melihat keindahan lainnya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD