Fizah kembali ke kamar sesuai perintah Fahmi. Suara lolongan serigala terdengar sangat dekat, gadis itu gemetar. Ini adalah pengalaman pertama baginya mendengar suara binatang itu.
Dia tak bisa berpura-pura untuk tidak mendengarkan, berada di tempat asing dengan segudang misteri membuatnya takut. Fizah duduk di balik pintu, tak ada keberanian untuk bergerak ke atas tempat tidur. Beberapa detik kemudian suara serigala sayup-sayup terdengar menjauh, dan dia merasa lega.
"Syukurlah, sepertinya serigalanya sudah pergi."
**
Untuk pertama kalinya setelah kematian kedua orangtuanya, Fizah merasa lebih baik. Gadis itu menangis kalah ingatan tentang kedua orangtuanya kembali terkenang.
Airmata tak bisa dibendung, rasa sakit kehilangan merasuk menyayat hati, Fizah frustasi, rasa sakit itu kadang membuatnya ingin mengakhiri hidup. Gadis itu berusaha menahan isakan agar tak terdengar oleh orang lain.
Fizah adalah anak tunggal dari keluarga yang terbilang cukup mampu, Ibu dan Ayahnya sangat menyayangi dan memanjakannya. Fizah hidup dan tumbuh dengan baik.
Kehidupan bahagianya berubah saat beberapa bulan yang lalu dia kedatangan adik dari Ayahnya. Wanita itu mengubah segala keceriaan menjadi kesedihan. Tak ada kecurigaan atas kedatangan Bibinya yang tiba-tiba, wanita itu begitu dekat dengan orangtuanya dan sangat di kasihi oleh ayah Fizah sendiri.
Dia melayani keluarga Fizah bak saudara kandung yang menjaga keluarga itu. Fizah sangat menghormatinya. Namun, tak berselang lama, kedua orangtuanya jatuh sakit. Entah bagaimana awalnya, namun saat Fizah menemui mereka, Bibinya- Ratmi adik dari Ayah Fizah langsung memeluk dan mengabarkan berita duka.
Kedua orangtua Fizah meninggal dalam keadaan tidak wajar. Fizah histeris dia sangat kehilangan. Gadis itu meronta tidak terima. Berulang kali dia bertanya.
"Apa yang terjadi?"
Tapi, Bu Ratmi bungkam dan hanya bisa menangis. Fizah yang memiliki dokter khusus yang melayani keluarganya berkeras untuk menyelidiki penyebab kematian kedua orangtuanya.
Namun, pengalaman yang kurang dan hanya sendirian membuat Fizah tak berdaya. Bibinya mampu menggagalkan keinginannya yang akan membawa jenazah kedua orangtuanya ke rumah sakit.
"Fizah sayang, lebih baik orangtua kamu segera disemayamkan. Kasihan jika jenazahnya dibiarkan seperti ini. Untuk apa di periksa? Yang mereka butuhkan saat ini adalah segera di semayamkan."
"Tapi, Bude."
"Tidak ada tapi, kau adalah putri mereka. Lakukan yang terbaik dan segera makamkan."
Tangis Fizah pecah dalam ketidak berdayaan. Budenya memiliki andil lebih karena beliau adalah satu-satunya keluarga Fizah yang tersisa.
Saat itu musim hujan, setelah orangtuanya di kuburkan dia tak lamtas kembali. Fizah menangis di atas makam itu sendirian. Para pelayat merasa iba dengannya. Gadis muda yang menjadi yatim piatu dalam sekejap mata.
Setelah kembali ke rumah, semuanya pun terungkap.
Fizah tak terima saat melihat Bibinya melenggang masuk ke kamar kedua orangtuanya. Maksud hati untuk menegur, sang bibi. Naasnya dia malah mendapatkan amukkan. Tidak ada lagi sikap lemah lembut yang selalu di tunjukkan sang bibi.
"Bi, sedang apa? Ini adalah kamar Ibu dan Ayah."
"Bibi tahu, tapi sekarang kan nggak digunakan lagi. Jadi, bibi berencana untuk menempatinya."
Makam orangtuanya masih basah, Fizah tidak terima jika orang luar semena-mena di rumahnya.
"Bi, ada apa dengan kamarmu. Jika tak nyaman di sini, Bibi bisa gunakan kamar tamu." Fizah menutup kembali ruang pribadi kedua orangtuanya itu.
"Lancang kamu! Berani kamu melawan. Dengar, Fizah kamu nggak usah sok mengajari saya!" Rambut Fizah di jambak dengan keras membuat gadis itu meringis kesakitan.
"Auw, Bibi. Apa yang kau lakukan?" Bu Ratmi dan suaminya sangat menikmati penderitaan Fizah.
"Fizah sayang, harus Bibi akui jika semua kekayaan ini akan menjadi milik kamu, tapi, itu tidak akan lama karena semua ini cepat atau lamabt akan jadi milikku. Sekarang kamu sudah jadi yatim piatu. Kamu nggak punya apa-apa lagi, semua yang di tinggalkan orangtuamu itu sekarang menjadi milik Bibi. Ayahmu menjadikan bibi sebagai ahli waris untuk mengelola keuangan untuk kamu. Tak ada yang bisa menentangnya. Ibumu anak tunggal dan tidak ada kerabat yang lain yang tersisa. Kau tidak akan sanggup untuk melawanku. Jadi, mulai sekarang, bekerja lah dan dapatkan uang untuk kita makan," ucap Ratmi bersemangat. Wanita itu mencengkeram dagu Fizah dengan kuat lalu menghentaknya.
Fizah terkejut melihat sisi lain yang tak pernah di perlihatkan bibinya.
"Kalau kau tak patuh, Bibi akan menyerahkanmu pada juragan. Lumayan untuk membayar hutang-hutangku, kau akan jadi istri mudanya dan akan hidup senang dan aku terbebas dari cengkramannya." Tatapan itu membuat Fizah bergidik.
Dia tak percaya, kebaikan kedua orangtuanya tak dihargai sama sekali.
"Kumohon jangan, kenapa Bibi melakukan semua ini?" Fizah berharap masih ada kebaikan yang tersisa di hatinya.
"Karena aku butuh uang! Di dunia ini, uang adalah segalanya."
Rasa sakit kehilangan serta penghianatan yang dilakukan oleh kerabatnya sendiri membuat Fizah nekat kabur. Bibinya telah menetapkan pernikahannya bersama sang Juragan. Fizah tak ingin kehilangan hidupnya dan terus menderita.
Fizah tersiksa mengenang semua itu.
Dor ... dor ... dor ....
Gedoran di pintu mengagetkannya, ternyata Fahmi mendengar suara isak tangisnya. Pendengaran yang dimiliki lelaki itu lebih tajam 2 kali lipat dari manusia biasa.
"Fizah, apa kau baik-baik saja?" sahutnya.
Fizah segera bangkit dan menemui lelaki itu. Orang yang telah menyelamatkan nyawanya hari ini. Fizah sangat kagum dengan kebaikan Fahmi dan Ibunya. Mereka dengan tulus mau mempercayai dan menampung Fizah meski mereka baru saja bertemu.
Ceklek.
Pintu terbuka. Fizah terpaku terpesona melihat tatapan Fahmi yang juga menatapnya.
'Apa dia mengkhawatirkan aku' batinnya. Ada kecemasan dan kelembutan dari pancaran sorot mata yang di tunjukan Fahmi.
"Iya Tuan, saya baik-baik saja," ucapnya tenang.
Entah Fahmi percaya atau tidak. Tapi, Fizah merasa senang bisa berada di hadapan pemuda itu.
Lelaki itu tidak beranjak, sorot mata Hafizah membuatnya terhayut dalam pesonanya, sesaat dia pun sangat tertarik dengan wanita itu.
"Tidurlah tidak akan terjadi apa-apa, kau percaya padaku, kan?" ucap Fahmi.
Tatapan tegas dengan garis kuat di wajah lelaki itu semakin menambah ketampanannya.
'Tentu saja aku percaya, Tuan. Kau telah menyelamatkanku memberiku tempat tinggal dan aku nyaman,' batinnya.
"Iya, Tuan. Aku akan tidur," ucap Hafizah. Pandangan mereka saling terpaut hingga pintu tertutup sempurna.
Fizah memberanikan diri naik ke tempat tidur dan beristirahat. Perhatian dan kebaikan Fahmi memberi rasa nyaman, apalagi kampung itu dilindungi.
"Aku akan baik-baik saja di sini. Ya, Bibi dan orang-orang suruhan sang Juragan tidak akan menemukanku. Aku akan mengabdi pada keluarga Tuanku, walau itu artinya aku harus menjadi b***k untuk selamanya," ucap Fizah sebelum terlena di dalam mimpi.