Malam berlalu dengan cepat, Ryan dan Zeana tertidur nyenyak. Mereka baru saja melalui malam yang panas. Ryan terbangun dengan memeluk tubuh Zeana. Dia merasakan kebas di lengannya. Zeana tertidur pulas, dengan jarak begitu dekat.
Sesaat Ryan terpesona. Melihat wanita itu hanya memakai selimut, sontak saja Ryan memeriksa pakaiannya sendiri.
“Apa yang terjadi?” Lelaki itu lupa bagaimana ganasnya dia di tempat tidur. Perlahan dia menarik tangannya dan memakai pakaiannya kembali. Ingatannya mencumbu Zeana kembali terlintas.
“Benarkah, aku telah melakukan itu dengannya semalam?”
Ryan menatap keluar jendela, sebentar lagi matahari akan terbit. Ryan teringat dengan ucapan Raz.
“Raja tidak boleh kemana-mana untuk mempelajari beberapa jurus bersama Wa Pasang.”
Tidak ingin abangnya kecewa, Ryan berencana pergi sebelum orang-orang di istana menyadarinya. Mengabaikan perasaan yang sulit di jelaskan, Ryan memilih pergi.
Dia memakaikan selimut pada Zean lalu mengecup keningnya. Ryan malu karena melakukannya di luar kendali. Perlahan dia melangkah ke arah pintu. Dua penjaga yang ada di sana tengah tertidur.
‘Hah, syukurlah,' Ryan bergegas dan menuju ke tempat abangnya. Tidak ada penjagaan di sana membuat Ryan merasa lega.
Fahmi ternyata sudah terjaga, saat dia masuk. Melihat kedatangan Ryan, Fahmi pun menghampirinya.
“Kau? Jam berapa sekarang?”
Ryan menggeleng.
“Hush, jangan kencang-kencang, aku tidak tahu jam berapa ini. Aku datang untuk mengajakmu keluar. Kita tidak boleh ketahuan atau Tuan Raz tidak akan mengizinkan kita mencari Hafizah. Abang sendiri, bagaimana bisa bangun secepat ini?”
Fahmi menatapnya lucu.
“Aku belum tidur sama sekali.”
Ryan memakluminya. Tiba-tiba kenop pintu terputar. Ryan dan Fahmi terkejut sekaligus penasaran. Siapa kira-kira yang datang?
“Disana,” ucap Ryan mengajak Fahmi bersembunyi di belakang pintu.
Mereka seperti maling yang takut ketahuan. Pintu terbuka, Malik dan Juna masuk ke dalam.
“Dia dimana? Jangan-jangan sudah kabur lebih dulu,” ucap Juna.
Ryan dan Fahmi lega karena yang datang adalah mereka.
“Hey, kalian sedang apa?”
Malik dan Juna terlonjak kaget saat Ryan menepuk pundaknya.
“Kau! Kau tidur di sini?” tanya Malik shock.
Pikirannya melayang jauh tentang saudara perempuannya.
“Tentu saja tidak, aku baru saja tiba.”
Fahmi menatap kedua pemuda itu.
“Kalian ke kamarku ada keperluan apa?”
Malik dan Juna menyampaikan maksudnya, rencana mereka dan Ryan sama persis.
“Baguslah, kita bisa bergerak sekarang. Sebaiknya bawa persediaan.”
Fahmi dan yang lainnya mendengarkan.
“Kita tidak akan pulang sebelum menemukan tempat persembunyian mereka.”
Malik dan Juna tidak setuju.
“Kau gila! Apa yang akan Zean katakan jika kau tidak kembali?”
Ryan baru memikirkan hal itu.
“Kalau begitu aku akan pamit kepadanya, aku yakin dia akan mengizinkan. Kalian bersiaplah dan tunggu aku di luar, kita akan bertemu di tempat pencarian terakhir kemarin.”
Malik, Juna dan Fahmi setuju.
“Baiklah, hati-hati.”
Mereka bergerak sesuai rencana. Fahmi, Juna dan Malik bergerak bersama sedang Ryan kembali ke kamarnya.
Sebentar lagi fajar, Ryan mendapati kedua pengawal itu masih tertidur. Ryan membuka pintu dan mendekati istrinya, lelaki itu mengendap-ngendap dan menyalakan penerangan.
Zeana terbangun saat Ryan mengusap rambutnya lembut.
“Kau,”
“Hush!” Ryan meletakan jari telunjuknya di bibir Zean.
“Aku akan menemani Bang Fahmi untuk mencari Fizah. Doakan agar kami bisa menemukannya dan pulang secepatnya."
Zeana mengerutkan kening.
“Maksud kamu apa? Apa Tuan Raz mengizinkan?”
“Karena tidak di izinkan. Makanya aku hanya kembali saat menemukannya.”
Zeana tidak setuju.
“Aku ikut!” Wanita itu lantas bangun tapi dengan cepat Ryan menahannya.
“Tidak, kau tidak boleh kemana-mana.”
Zean merasakan sakit di bagian kewanitaannya, wanita itu shock melihat dirinya yang hanya memakai selimut.
Seolah mengerti isi pikiran istrinya, Ryan berusaha menjelaskan.
“Ah, aku bisa jelaskan.”
Zean terlihat panik, Ryan sangat takut jika Zean menganggapnya telah melakukan pemaksaan.
“Tenanglah, kau ingat minuman itu? Kita meminumnya semalam.”
Perlahan Zean mengingat kembali apa yang telah terjadi. Dia menatap Ryan yang juga menatapnya. Ada beberapa pertanyaan yang bersarang di hatinya.
Ryan mendekat ingin menggapainya, tapi Zeana spontan mundur ke belakang.
Rasa sesak karena merasa bersalah kini bersarang di hati Ryan.
“Aku meminta maaf.”
Zean tidak menjawab, wanita itu memegang erat selimutnya dengan tatapan kosong.
“Aku harus pergi sekarang.”
Ryan tidak tahu harus bagaimana? Dalam ingatannya, Zeana tidak keberatan saat mereka memadu kasih. Tak ingin membuat mood Zeana makin hancur, Ryan memilih pergi dan menyusul saudaranya.
Lelaki itu menoleh sekali lagi sebelum benar-benar pergi dari sana. Zeana tertunduk ke arah lantai dan tidak menoleh sama sekali.
**
Malik, Juna dan juga Fahmi berhasil keluar setelah melompat dari tembok yang mengelilingi istana itu. Mereka menuju ke tempat dimana mereka dan Ryan akan bertemu.
“Terimakasih sudah mau membantuku,” ucap Fahmi pada kedua teman seperjalanannya.
“Tidak masalah, aku hanya memikirkan ini semalaman. Dimana kita akan menuju?” Malik mencari kemungkinan arah yang tepat yang telah di ambil Raksana.
“Entahlah.” Fahmi lalu teringat sesuatu.
“Tunggu dulu, sepertinya mereka berada tidak jauh dari Gunung Bayangan.”
Malik dan Juna mendengarkan dengan serius.
“Bagaimana bisa kau berpikir seperti itu?” tanya Juna.
“Saat aku dan Ryan meninggalkan Gunung Bayangan untuk pertama kalinya, anak buah Raksana menyerang Ryan. Artinya, mereka bisa saja berada di sekitar situ.”
“Keliru, Gunung Bayangan adalah daerah kawasan uwa kami. Jika mereka tinggal di daerah itu, maka dengan cepat kami mengetahuinya.”
“Kalau begitu dia tak jauh dari sana, kita akan memeriksa tempat perbatasan dari arah masing-masing.” Juna tidak setuju, dia tak mau mengambil resiko.
“Dengar, maaf jika kau merasa tersinggung. Tapi, kemampuanmu meragukan. Bagaimana jika ternyata kau yang akan bertemu dengan mereka? Kau akan di bantai sendirian dan itu merupakan berita duka.”
Malik tertawa kecil mendengar ucapan adiknya.
“Kau meragukan aku? Kalian sama saja.” Fahmi merasa kesal. Juna yang terbilang jauh di bawahnya berani bicara seperti itu.
Malik yang lebih dewasa dari Juna mendekatinya.
“Hey, apa yang di katakan Juna memang benar. Jangankan mereka, membunuh hewan pun kau berpikir ulang. Kau bukan lemah tapi terlalu baik. Jika kau pergi sendirian, tidak ada siapa-siapa yang bisa menolong mu. Ingat bagaimana Ryan di keroyok waktu itu?”
Amarah Fahmi mereda, dia pun menyadari itu. Kemampuan bertarungnya bahkan tak bisa mengalahkan Juna.
Mereka lanjut untuk berdiskusi, Juna sesekali memberikan saran. Fahmi menatapnya takjub, usia Juna terbilang muda tapi pemikirannya luar biasa bijak. Setelah beberapa menit, Ryan akhirnya tiba.
“Maaf menunggu lama.”
Ketiga lelaki itu mendongak.
“Ada apa? Kenapa wajahmu kusut seperti itu?”
Malik dan Fahmi menatapnya serius.
“Tidak ada, aku hanya khawatir tertangkap tadi,” ucap Ryan.
“Baguslah, dari beberapa tempat kami sepakat mendatangi satu gunung yang tidak terjamah,” ucap Juna.
“Dimana itu?” Ryan menatap semua orang bergantian.
“Kita harus melewati gunung bayangan terlebih dahulu.”
Ryan tampak berpikir.
“Ada apa? Apa kau keberatan?”
Malik dan Fahmi menatapnya gusar.
“Bukan itu, artinya kita harus melakukan perjalanan dua hari dua malam sebelum tiba di lokasi yang kau bicarakan.”
Fahmi terhenyak.
“Tidak ada jalan pintas, itu satu-satunya jalan," seru Juna.
Ryan menatap abangnya.
“Kalau begitu kita harus bergerak cepat, entah alasan apa yang akan dikatakan Raz pada ibu jika kita tidak kembali dalam beberapa hari.”
“Kalau begitu ayo berangkat.”
**
Di gua, tempat tinggal Raksana dan Rogiles.
Fizah ketakutan hingga dia tidak berani membuka mata saat seseorang datang melihat kondisinya.
“Hey, bangunlah. Tuan Raksana dan Tuan Rogiles ingin bertemu denganmu,” ucap lelaki yang di tugaskan untuk menjaganya.
Fizah bergeming dia tidak mau menemui siapapun.
“Jika kau begini terus, kau akan mati kelaparan.” Lagi, ancaman itu tidak membuatnya berubah pikiran.
“Hey, kau bodoh. Biarkan saja jika dia tidak mau. Jika dia mati maka kita bisa melahap tubuhnya. Daging manusia lebih manis dari daging apapun,” ucap salah satu penjaga dari luar.
Fizah akhirnya membuka mata. Kedua penjaga itu sangat berbeda dengan penjaga di istana Raz. Mereka memakai bulu binatang sebagai pakaian. Fizah bisa menyimpulkan bahwa orang-orang di sini sangat suka berburu.
“Cepat berdiri!”
Fizah gemetar, penjaga itu memperlakukannya dengan kasar.
“Cepat jalan!” Mereka mendorongnya dan tertawa setelah melihat Fizah jatuh dan terluka.
“Hahha ha, darah segar itu. Dia sangat menggoda.”
Fizah merinding dan segera berlari. Para penjaga itu sedang bermain dengannya, tapi Fizah menganggapnya serius.
“Tolong! Seseorang tolong aku!”
Kedua penjaga itu mengejarnya, Fizah menangis dan berusaha berlari sekuat yang dia mampu.
“Mau kemana kau, berhenti!” teriak penjaga tadi.
Fizah tidak mendengarkan dan berusaha kabur dari sana. Harapan itu semakin nyata saat dia melihat mulut gua.
Fizah bergegas dan berlari semakin kuat. Tiba di sana, Rogiles muncul dengan wujud setengah manusia dan serigala, Fizah yang melihatnya pingsan dan jatuh begitu saja.
Rogiles menatap berang kepada kedua penjaga itu, setelah melihat Fizah terluka.
“Beraninya kalian!”
Tatapan Rogiles berubah nyalang.
“Tuan, dengarkan dulu. Dia berlari ketakutan maka dari itu kami mengejarnya.”
“Cepat angkat dia dan bawa ke tempatku, jangan berani berpikir untuk menyantapnya. Dia adalah senjata yang bisa membawa kita ke istana.”
“Baik, Tuan.”
Fizah di gotong dan di bawah ke tempat Rogiles. Raksana yang mendengar rencananya, datang mendekati.
“Apa yang akan kau lakukan?”
Rogiles masih marah padanya.
“Bukan urusanmu.”
Raksana dengan sigap menghalangi jalannya.
“Bukankah kita teman, kita sudah bersama sejak bertahun-tahun. Jangan bertingkah seperti ini."
Rogiles mencekik lehernya.
“Kau bilang dirimu teman? Ha, lalu bagaimana dengan impianku yang kau hancurkan dalam sehari. Kau bukan temanku.”
Raksana hampir kehabisan napas saat tangan kokoh itu mencengkram kuat lehernya.
Bug.
Rogiles melemparnya ke tanah.
“Beruntung aku tidak mengusir mu, jadi jangan berani mencampuri urusanku.”
Raksana terbatuk dan menahan nyeri di d**a. Rogiles tidak pernah marah lewat dari tiga hari. Raksana yakin dia akan kembali baik. Namun, rasa penasaran membuatnya tak bisa menahan diri.
“Apa yang akan dia lakukan dengan gadis itu?”
Fizah terbaring di atas tempat tidur milik Rogiles, setelah meletakkannya, para penjaga bergegas keluar.
Rogiles berjalan masuk dan duduk di samping Hafizah. Rencana besar tersusun di kepalanya. Dia akan membuat Fizah luluh dan mau bergabung dengannya.