Chapter 39 Dalam pengaruh ilmu hitam,

2169 Words
Petualangan di mulai, Fahmi dan yang lainnya melakukan perjalanan yang bisa di bilang tidak mudah, pendakian yang harus melalui beberapa gunung menguras begitu banyak tenaga. Meski dengan wujud sebagai manusia serigala mereka tetap mendapatkan kesulitan. “Berhenti aku tidak kuat lagi,” ucap Ryan. Lelaki itu menjadi lemah, Juna dan yang lainnya menatapnya iba. “Fahmi, sebaiknya kita istrahat dulu. Sebentar lagi gelap, kasihan Ryan,” ucap Malik. Fahmi mengangguk. “Baiklah. Kita lanjutkan perjalanan esok hari.” Fahmi dan Ryan berubah wujud menjadi manusia. “Kalian tunggu lah di sini, aku dan Juna akan mencari makanan untuk kita semua,” ucap Malik. Ryan dan Fahmi mengangguk bersamaan. “Hati-hati.” Selepas kepergian keduanya. Ryan bersandar pada pohon sambil memejamkan mata. Angin berhembus sepoi-sepoi membuat rasa lelahnya menguar dan terasa nyaman. “Aku berhutang budi pada mereka. Tidak ku sangka perjalan ini begitu melelahkan.” Ryan meringis dan berusaha tersenyum. “Kau seperti anak rumahan, Bang. Kau tidak tahu bagaimana pelatihan mereka. Ya, walau aku baru bergabung dengan mereka beberapa bulan, tapi aku telah mengikuti sedikitnya kegiatan yang hampir membuatku menjerit setiap hari.” Fahmi tersenyum bangga. “Bagaimana dengan Zean? Apa kalian baik-baik saja?” Pertanyaan Fahmi membuat Ryan tercekat. “Aku yakin terjadi sesuatu, wajahmu mengatakan segalanya saat tiba tadi.” Ryan menghela napas, keringat bercucuran di dahinya. “Sebenarnya aku dan dia, kami telah melakukan kewajiban itu.” Fahmi tidak terkejut mendengarnya. Baginya itu biasa saja. “Syukurlah, aku tahu dia juga mencintaimu. Lalu kenapa wajahmu sendu?” Ryan tidak menyembunyikan apapun pada Fahmi, baginya abangnya itu adalah orang yang dapat di percaya. “Pelayan masuk membawakan minuman, kami tidak tahu jika minuman itu telah di beri sesuatu.” “Maksudmu?” tanya Fahmi menyelidik. “Kami melakukannya di bawah pengaruh obat. Zean sepertinya terluka. Aku tidak tahu apa dia akan terus membenciku atau bagaimana?” Fahmi mengepalkan tangan. Setelah mendengarnya. “Aku tidak bisa bayangkan seandainya aku yang jadi menikah dengannya. Raz melakukan segala cara dan aku tidak menyukai itu.” Ryan sependapat dengan Fahmi. “Jangan ceritakan ini pada Juna dan Malik, aku tidak mau orang lain tahu.” Fahmi memegang bahu adiknya erat. "Tentu." Pantas saja adiknya mudah lelah, tenaganya terkuras akibat cairan itu. ** Malam telah tiba dan Bu Laksmi tidak menemukan satu pun dari putranya. Raz dan Wa Pasang tampak gusar dan memilih tidak keluar dari ruangan. Mereka kompak menghindari Bu Laksmi. “Apa kalian melihat putraku?” tanyanya pada setiap penjaga yang lewat. “Tidak, kami tidak lihat.” Bu Laksmi terus bertanya dan mencari ke segala penjuru. "Apa kalian melihat putraku? Atau apa kalian melihat Fizah?" "Tidak kami tidak melihatnya." Bu Laksmi gusar, tidak biasanya mereka pergi tanpa meminta izin kepadanya. Wanita itu terus mencari hingga dia menemukan Zeana yang duduk di taman sendirian. “Nak, kau istrinya Fahmi bukan?” “Saya istri dari Ryan,” ucapnya spontan. Bu Laksmi tercengang, wanita tua itu bingung dan Zeana menyesali ucapannya. “Apa? Bagaimana bisa. Bukannya Fahmi harus menikah denganmu?” Zeana mulai gugup. “Jadi begini, Bu." "Bagaimana bisa kau salah menikahi seseorang?" Bu Laksmi terus meracau. "Apa jangan-jangan, Fizah ... ." Pikirannya mulai kemana-mana. "Semalam, terjadi sesuatu yang tidak bisa saya jelaskan ke ibu. Tapi, intinya Fahmi tidak bisa naik tahta. Jadi yang menggantikannya adalah Ryan. Jadi suami saya Ryan, Bu. Bukan Fahmi.” Bu Laksmi mendadak pusing, dia hampir saja terjatuh andai Zeana tidak menangkapnya. “Bu, ibu nggak apa-apa?” "Aku pasti sedang bermimpi." Zeana membantunya duduk di kursi. “Lalu bagaimana dengan Fizah? Apa Fizah dan Fahmi menikah?” Bergetar bibir Zeana untuk berucap, wanita itu berusaha menahan diri. Berharap suaminya akan segera kembali. “Mereka tidak ada di istana, Bu. Ryan dan kedua saudaraku juga ikut bersama mereka.” Kata-kata itu keluar begitu saja. “Keluar, kemana?” Zeana memegang tangan Bu Laskmi, walau terasa kaku dia berusaha menenangkannya. “Besan, maaf baru menemuimu sekarang.” Istri Wa Pasang turun tangan. “Ibu,” ucap Zeana. “Zee, pergi dan ambilkan minuman untuk ibu mertuamu.” Zeana terdiam untuk sesaat, ibunya adalah orang yang tidak suka berbaur atau bertemu dengan orang baru. "Zee," "Iya, Bu." Zeana segera pergi dari sana. Bu Laksmi memandanginya dari kaki hingga kepala. “Jangan takut, aku juga manusia biasa sama sepertimu.” “Tidak mungkin,” ucap Bu Laksmi. Ibunda Zeana tersenyum. “Perbedaan kita hanyalah, aku mengetahui pasti siapa suamiku, sedang kau tidak tahu siapa Magadang.” “Kau mengenal suamiku?” tanya wanita itu lagi. “Ya, suamimu orang yang baik. Anak-anakmu juga demikian. Mereka sedang melaksanakan tugas, jangan khawatirkan mereka dan teruslah berdoa," ucapnya lugas. “Kau tahu dimana anak-anakku?” tanya Bu Laksmi bergetar. Ibunda Zeana mengangguk. “Anak-anakku mendampingi mereka, anak-anakmu seperti raja bagi kami. Kita tunggu saja. Jangan buat menantumu ikut cemas karena mengkhawatirkanmu, Besan.” Bu Laskmi tertunduk, Zean datang membawa minuman berikut dengan cemilan. “Ibu makanlah. Ibu jangan khawatir, Ryan tadi berpesan kepadaku sebelum pergi. Mereka akan kembali secepatnya." “Zeana, mulai sekarang panggil suamimu dengan sebutan Mas Ryan. Di desa tempat kami berasal, kami tidak berani memanggil nama suami dengan terang-terangan.” Zeana mengangguk lemah. “Baik, Bu.” ** Nasib Hafizah di ujung tanduk. Tanpa sepengetahuan Raksana, Rogiles melakukan ritual besar. Fizah di ikat di tengah-tengah lingkaran. Dengan obor yang di tata mengelilinginya. Malam ketiga setelah purnama memiliki arti tertentu. Orang-orang suruhan Rogiles merafal kan mantra. Suara bising mereka membuat Fizah terbangun. “Ha, siapa kalian? Kenapa aku di ikat seperti ini,” ucapnya menjerit. Fizah kepanasan, keringat membasahi sekujur tubuhnya. “Lepaskan, aku mohon. Tolong lepaskan aku!” Fizah berusaha membuka tali yang melilit tangannya. “Bersyukurlah karena aku akan mengubah hidupmu.” Fizah menatap Rogiles yang semakin mendekatinya. Dia mulai terbiasa dengan wujud menyeramkan yang berdiri di hadapannya. “Pergi, jangan mendekat!” Airmata membasahi wajah Hafizah. “Kau akan menjadi senjataku, kau akan menjadi hamba ku. Kau akan menjadi kaki tanganku, haha hahaha.” Rogiles tidak pernah sepuas ini sebelumnya. “Cih! Lebih baik aku mati dari pada menjadi kaki tanganmu!” Fizah meludah dan menentangnya. Rogiles menyeringai dan menjambak rambutnya, Fizah kesakitan tapi kali ini dia jauh lebih kuat. Tatapan kebencian tercetak di sorot matanya. “Aku akan mengubah mu menjadi seperti kami, kau akan menjadi manusia serigala. Dan mewarisi kekuatan dariku.” Fizah tercengang, dia menggeleng dengan cepat. “Aku tidak mau, tolong jangan lakukan itu.” Rogiles menyeringai dengan licik. “Sudah terlambat!” Mantra kembali di rapal kan, kali ini suara mereka lebih keras menggema di dalam gua. Raksana yang mendengarnya dari luar segera masuk untuk menyelamatkan Fizah. “Dia sudah gila!” umpat Raksana yang menyadari apa.yang akan dilakukan oleh pimpinannya itu. Raksana tiba di ruangan Rogiles, pemandangan di depan sana sangat mengejutkannya. Fizah jatuh terkulai saat pergelangan tangannya di gigit oleh Rogiles. Darah keduanya menyatu. Rogiles menyayat bagian tertentu tubuhnya dan meneteskannya ke tangan Fizah yang terluka. “Kau gila!” Raksana menyerangnya dan berusaha menghapus jejak darah yang menetes di sana. Rogiles murka melihat apa yang baru saja dia lakukan. “Aku tahu wanita itu sangat penting bagi Putra Magadang, melihatnya seperti ini tentu akan membuatnya merasa sangat bersalah. Hahahaha!” “Kau benar-benar tidak punya hati.” Rogiles berdecih. “Dari dulu aku memang seperti ini, tidak ada yang berubah. Kau membuatku kecewa, maka dari itu aku harus melakukan semua ini.” Tangan bekas gigitan itu bersinar, darah telah bercampur dan Hafizah tak dapat di selamatkan. Fizah menggelinjang, napasnya tercekat. Raksana baru menyadari kebodohannya. Rogiles adalah seseorang yang di penuhi ambisi, ambisi yang dapat mengubahnya menjadi iblis. Raksana membuka tali yang mengikat di tangan dan kaki Fizah, dengan hati-hati dia membawanya keluar. “Jangan berpikir untuk membawanya pergi. Darahku telah menyatu di tubuhnya dan dia akan selalu kembali padaku.” Raksana tidak menghiraukannya. Perlahan tubuh Hafizah berubah, bulu-bulu halus keluar semakin lama semakin lebat. "Tidak, maafkan aku yang meninggalkanmu." Fizah terbatuk, perlahan kaki dan tangannya berubah. Gadis itu terbelalak dan ketakutan. Hingga dia berubah seutuhnya, bulu yang dimilikinya sama persis dengan milik Rogiles. "Auuww." Lolongan pertama Hafizah di sambut klan mereka dengan bangga. Raksana hanya bisa diam menatapnya. Hafizah shock dan menyakiti diri sendiri, dia mencakar tubuh dan tangannya sendiri. Geramannya terdengar pilu. Serigala berbulu coklat bercampur gold itu menangis. Dia tak kuasa menahan kesedihan. "Tenanglah, jangan menyakiti dirimu sendiri," ucap Raksana. Gram. Serigala itu hampir saja menerkamnya andai dia tidak mundur. "Auuww!" Kedua tangan itu, terluka. Fizah membenci dirinya sendiri. ** Suara serigala melolong panjang, mereka merayakan bergabungnya Fizah sebagai klan dari kubu mereka. “Auww, auww auww.” Di kejauhan, suara lolongan itu terdengar samar di telinga Fahmi. Dia masih terjaga dan duduk di depan api unggun. “Malik, Ryan, bangunlah. Aku mendengar suara lolongan manusia serigala.” Fahmi berdiri dan menerka-nerka dimana arah suara itu. “Malik, Juna. Bangunlah.” Malik dan Juna membuka mata, mereka tidak mendengar apapun dan menganggap Fahmi hanya mengigau. “Mungkin hanya perasaanmu saja, tidurlah. Besok kita harus bangun lebih pagi lagi.” Fahmi menggeleng. “Tidak, kalian bangun dan dengarkan dengan jelas. Ryan, kau juga.” Ryan tidak kuasa melawan titah lelaki itu. Dengan mata yang masih terpejam, Ryan duduk dan mendengarkan. “Auww!” Malik dan Juna terbelalak. “Kalian dengar itu, bukan?” Ryan juga mendengarnya, mereka bangkit dan berusaha mengenali dari mana arah suara itu. “Ini gawat,” ucap Malik. Ryan dan Fahmi menoleh dan menatapnya. “Uwa mengajarkan ada beberapa sebab kenapa manusia serigala melolong seperti itu.” Fahmi berubah pias. “Apa maksudmu.” Juna menahan lelaki itu. “Tenanglah, setidaknya kita tahu jika arah yang kita ambil sudah benar.” Fahmi menyingkirkan tangan Juna yang mencoba menahannya. “Malik katakan apa yang tadi kau ucapkan.” “Ingat saat upacara penobatan? Saat itu semua serigala mengaum. Lolongan mereka sangat berbeda dari lolongan biasa, lolongan tadi bukan lolongan kesedihan. Melainkan kegembiraan.” Ryan dan Fahmi saling menatap. “Tidak, aku berharap mereka tidak menyantap Hafizah.” Pikiran pertama yang terlintas di kepala Fahmi adalah Fizah tewas di makan oleh manusia setengah binatang itu. “Semoga saja tidak, untuk ukuran makanan se sedikit itu. Dengan banyaknya pasukan mereka. Aku tidak yakin. Pasti ada sesuatu yang lain yang mereka rayakan.” Fahmi semakin gelisah. Hal ini membuatnya kembali terjaga. Malik, Ryan dan juga Juna kembali ke tempat masing-masing. Mereka kembali beristirahat dan hanya memperhatikan Fahmi dari jauh. “Saran ku sebaiknya kau istrahat, kau perlu tenaga untuk berjalan besok. Tidak ada gunanya memikirkan semuanya sekarang.” Semua orang kembali terlelap dan dia terjaga sendirian, Fahmi tertidur saat waktu mendekati subuh. Matahari terbit dan langit yang cerah menjadi pemandangan pertama saat membuka mata. Juna dengan sigap menyajikan buah untuk mereka semua. “Sarapan, kita jauh dari sungai. Tidak ada air di sini jadi kita harus bisa menahan haus hingga menemukan mata air selanjutnya.” Fahmi dan Ryan mengangguk. Perjalanan pun di mulai saat mereka selesai dengan sarapannya. Malik menjadi penunjuk jalan, arah suara semalam mengantarkan mereka ke suatu tempat yang menyebrangi lembah. “Wow ini gila,” ucap Juna. “Kita harus melewatinya, entah di bagian mana kita menemukan Fizah. Tapi, firasatku mengatakan kita harus berhati-hati di sini.” Malik menatap yang lainnya dan memperingatkan mereka. “Aku siap, ayo turun.” Daerah itu tak pernah di datangi Juna dan Malik, walau begitu di lihat dari jauh. Lembah itu terlihat terawat. Tumbuhan yang subur kebanyakan adalah pepohonan yang memiliki buah untuk di konsumsi. “Tempat ini lebih layak di beri nama surganya makanan,” ucap Juna dan memetik buah jambu yang tumbuh subur dan segar. Ryan pun ikut menikmati buah yang di lewatinya. “Kau benar, sepertinya tempat ini di jaga seseorang. Lihat saja bagaimana letak-letak tumbuhan ini terlihat sejajar.” Fahmi dan Malik saling memberi isyarat untuk berhati-hati. Hari mulai terik tetapi perlahan semakin mereka melangkah matahari seolah tenggelam. Matahari seolah di tutupi sesuatu. “Ini sudah tidak wajar, kita ada dimana?” tanya Fahmi. Malik mengedikan bahu, sedang Ryan dan Juna mulai tertawa. "Hahahaha, hahahaha." Mereka tertawa dan menunjuk-nunjuk ke arah Fahmi dan Malik. “Hey, sepertinya kita sedang berlibur, tapi siapa yang membawa kuda ini bersama kita?” tunjuk Juna pada wajah Fahmi. “Haha haha, dia bukan kuda, dia adalah keledai.” Ryan tertawa terbahak-bahak. Malik pun ikut tersenyum, karena mengira mereka sedang bercanda. Juna dan Ryan lalu menertawai Malik yang menatap bingung ke arah mereka. “Dimana kau menemukan dia? Aku tidak pernah melihat jenis kerbau sejelek dirinya.” Malik terpancing emosi. “Kau!” “Tahan, sepertinya mereka dalam pengaruh sesuatu. Apa mungkin karena mereka memakan buah di jalan?” Malik tidak menganggap ucapan Fahmi serius. “Apa kau bercanda?” Suasana semakin gelap, dia tak memiliki banyak waktu untuk membuat Malik percaya, Hindari memakan sesuatu, aku peringatkan kau!” ucapnya tegas. Fahmi mengeluarkan tali untuk mengikat tubuh Ryan dan Juna. “Apa yang kau lakukan?” Malik menghentikannya. “Aku tidak mau ini bertambah lebih buruk lagi. Percayalah padaku. Kita seperti memasuki kawasan gaib sama seperti rumah yang di lindungi Wa Pasang. Pasti tempat ini pun ada pemiliknya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD