9. Frans Hutama

1264 Words
Gue Frans Hutama, anak semata wayang seorang pengusaha sukses bernama Eric Hutama. Gue calon pewaris takhta Frans Music yang belum lama ini mulai Gue kelola. Beberapa klien berkhianat dan menipu Gue. Termasuk seseorang yang bernama Dodi. Dia membawa kabur uang yang seharusnya dibayarkan untuk pembuatan video klip. Jadi Pak Dodk ini belum lama bekerja di kantor gue. Bisa dibilang gue mudah percaya sama orang yang kerjanya rapi dan disiplin waktu. Mungkin oknum ini udah ngincer gue. Jadi awal-awal dia bekerja seakan-akan memberi umpan dengan kerja rapi dan rajin. Nah, setelah beberapa kali kita kerja sama, barulah dia berulah. Begitu mudahnya gue percaya sama dia. Ternyata gue ditipu setelah kerja sama yang ketiga kalinya. Beberapa kali gue mencoba menghubungi nomor ponselnya. Selalu nggak direspons. Setelah berulang kali mencoba. Ternyata malah nggak aktif. Tapi semalam Dewi Fortuna seakan berpihak sama gue. Nomor ponsel Dodi sudah aktif kembali. Hanya saja gue bingung, kenapa penerima telepon itu bukannya Pak Dodi? Tapi suara perempuan yang terdengar begitu manis? Gue rasa itu antek-antek Pak Dodi untuk mengelabui gue. Jangan pernah panggil gue Frans Hutama kalau gue nggak bisa menyelesaikan masalah yang gue hadapi kecuali masalah pertunangan gue sama si Cinta itu! Kalau ingat masalah si Cinta. Rasanya gue ingin banget bisa memutar waktu. Kecerobohan gue membuat semua jadi runyam! Kriiing! Lamunan gue buyar seketika telepon ruangan gue berdering. Dona sekretaris gue ngasih kabar kalau ada seseorang yang nyari gue. Dia bilang, gadis itu bernama Nada. Terus, Pak satpam bilang Gadis itu ngasih bukti kalau gue ngasih alamat kantor ini? Gue pikir lagi kalau dia itu gadis bersuara lembut yang diduga antek-anteknya Pak Dodi. Ya udah gue suruh masuk aja si Nada itu. Penasaran juga soalnya. Tok! Tok! “Selamat siang, Pak Frans!” Tuh kan pucuk dicinta ulam tiba. Baru gue pikirin ternyata mereka udah nongol di sini. “Siang, Dona!” Dona tiba-tiba datang bersama seorang gadis yang memakai kemeja berwarna putih. Tapi nggak kelihatan jelas. Karena postur Dona lebih tinggi dari gadis itu. “Maaf, Pak Frans, saya membawa tamu yang mencari Anda!” “Ya sudah, suruh dia duduk dan tinggalkan ruangan ini!” pintaku sama Dona. “Baik, Pak Frans!” Dona yang memiliki tubuh tinggi semampai itu masih menghalangi pandangan gue buat melihat sosok cewek yang bernama Nada yang gue pikir dia pasti antek-anteknya Pak Dodi. Hah! Gue bener-bener nggak nyangka. Setelah Dona pergi. Gadis itu terpampang jelas berdiri di depan gue. Lumayan tinggi, badannya kurus, rambutnya dikepang dua, pakai poni, pakai kacamata? Dia pikir ini zamannya telenovela? Emang masih ada ya? manusia antik kayak gitu? Serius gue jadi bingung dia antek-anteknya Pak Dudi apa bukan ya? Kelihatan polos. Tapi gue nggak mau lagi tertipu! “Silakan duduk!” gue minta dia buat duduk di kursi panas. “Terima kasih, Pak Frans!” Gadis itu kelihatannya ramah. Dia menundukkan pandangan sambil terus berjalan, kemudian duduk di atas kursi panas. “Siapa nama kamu?” tanya gue sambil memasang wajah yang cukup sinis. “Nada.” “Kamu masih sekolah, kuliah, atau kerja?” gue harus memastikan kalau dia jujur. Karena gue kapok sama yang namanya tipu-tipu. “Kuliah.” “Di mana?” “Maaf, Pak Frans saya datang ke sini bukan untuk diinterogasi. Saya datang ke sini untuk memenuhi undangan Anda, untuk menjelaskan status saya dan nomor ponsel saya.” Sial! Gadis cupu itu ternyata pemberani juga. Dia sama sekali nggak gugup saat mengatakannya. “Sekarang kamu bilang aja di mana Pak Dodi?” “Sekali lagi saya mohon maaf Pak! Saya sama sekali tidak pernah mengenal seseorang yang bernama Dodi. Bahkan saya membeli nomor ponsel ini beserta ponselnya belum satu bulan karena saya merantau dari kampung menuju Jakarta buat kuliah di sini.” Nggak tahu kenapa gue ngerasa si Nada ini jujur sama gue? Tapi gue nggak mau kena tipu-tipu lagi. “Udah deh nggak usah banyak alasan! Sekarang kamu jujur sama saya atau saya bakal melaporkan kamu ke polisi?” jurus andalan gue muncul. Ancam terus! “Tunggu! Tunggu! Pak Frans yang terhormat. Sebelum Anda mempermalukan diri Anda dengan melaporkan saya ke pihak berwajib, lebih baik Anda menelepon operator provider saya! Ini ponsel saya silakan!” Astaga! Gadis ini cupu tapi kok cerdas, ya? Gue nggak boleh kalah! Gue nggak boleh nyerah! “Oke!” gue menyetujui untuk menelepon operator provider nomor ponselnya. “Ini Pak! sudah saya hubungkan sama operatornya. Pak Frans tinggal menunggu beberapa saat!” Gadis itu ngasih ponselnya sama gue. Ya sudah akhirnya gue berusaha mempertanyakan tentang status kepemilikan nomor ponsel itu sama operator providernya. Setelah gue nunggu beberapa saat akhirnya operator providernya itu menerima panggilan ini. Gue tanya sama operator providernya. tentang kepemilikan nomor ponsel ini. Ternyata jawabannya membuat gue terkejut. Jadi dulu pemilik yang lama mungkin punya Pak Dodi itu. Nomornya sengaja nggak diisi pulsa sampai akhirnya memasuki masa tenggang. Ternyata sama pemilik lama yang diduga Pak Dodi ini, masih tetap nggak diisi pulsa sedikit pun untuk memperpanjang masa aktifnya. Akhirnya nomor itu udah masuk batas hangus. Mungkin Pak Dodi membuang nomor itu sampai gue nggak bisa menghubunginya. Terus karena provider ini sudah pernah memperingatkan pemilik yang lama untuk mengisi pulsa dan memperpanjang masa aktif ternyata tidak digubris juga akhirnya perusahaan menarik kembali nomor ponsel ini setelah masa aktifnya habis. Kemudian perusahaan menjual kembali nomor ponselnya. Kebetulan yang beli si cewek polos ini. Mungkin dia jujur dia beli nomornya sekaligus sama ponselnya. Benar-benar sesuatu yang mengejutkan! Iya ... setelah semuanya jelas mau nggak mau gue harus minta maaf. “Ini ponsel kamu!” gue balikin ponsel dia. Dilihat-lihat, dia kasihan juga ya! Gue udah nuduh dia antek-antek Pak Dodi. Mana mau dilaporin ke polisi juga. Pantes aja dia berani datang ke sini karena emang dia nggak salah. “Gimana Pak Frans? Udah jelas semuanya?” “Semuanya sudah jelas dan saya meminta maaf atas kejadian ini,” ucapan gue tulus sama dia. “Syukur deh kalau Pak Frans udah nggak berpikir negatif tentang saya. Berarti urusan kita udah beres kan, Pak?” “Ya ... Sudah beres! Sebagai permintaan maaf saya, bagaimana kalau siang ini saya mentraktir kamu makan?” Gue merasa benar-benar bersalah. Udah nuduh Nada sebagai antek-antek Pak Dodi dan dia rela datang ke sini memenuhi undangan gue. Udah bisa dipastikan dia merogoh kocek yang cukup banyak. Sebagai anak kos yang merantau, sepertinya hal itu cukup berharga. So, gue mau ganti rugi dengan mentraktir makanan apa aja yang dia mau pesan. “Kayaknya Nggak perlu deh, Pak!” “Bukannya Saya mau memaksa. Tapi saya akan merasa sangat bersalah kalau sampai kamu menolak. Hitung-hitung sebagai ucapan Maaf saya yang sudah menuduh kamu menjadi antek-antek Pak Dodi. Sebagai permintaan maaf saya, karena sudah jauh-jauh kamu rela datang ke sini memnuhi undangan saya, sudah pasti menguras isi dompet kamu sebagai anak kos. Jadi saya harap kamu tidak menolaknya!” “Sa—saya ....” “Sudah sekarang kamu bilang mau makan apa? Terserah kamu aja deh! Mau makan di tempat atau mau dibawa pulang juga boleh biar saya yang mentraktir!” gue pasang senyum ramah dan paling manis di hadapan gadis polos itu. Sebelumnya gue berkomentar kalau Gadis itu cupu. Tapi karena kejujuran Dia, gue langsung berpikir kata-kata cupu rasanya nggak pantas buat dia. Jadi gue juluki dia si gadis polos. “Jadi gimana? Mau makan di mana?” sekali lagi gue menawarkan. “Iya, Pak! Kalau memang sudah rezeki saya, mana bisa saya menolak.” Gadis polos itu kasih senyuman ke gue. Haha ... kenapa gue merasa bahagia? Apa mungkin karena gue berbagi kebahagiaan sama orang lain? “Ya sudah, ikut saya! Kamu boleh pesan makanan apa pun, asalkan dimakan!” “Siap!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD