Bebek Goreng dan Es Teh Panas

2159 Words
Langit sudah menunjukkan senjanya. Semburat warna oranye dengan latar biru tua berhasil membuat Luna takjub dengan pemandangan sore hari ini. Kedua matanya tidak lepas dari lukisan semesta yang ada di hadapannya. Sudah berbulan-bulan ia berada di Malang dan rasanya ia tidak pernah keluar untuk memperhatikan indahnya senja di ujung pegunungan. Ia merasa bersyukur, karena hanya dengan melihat lukisan Tuhan bisa membuatnya lebih bahagia. "Langitnya bagus ya, Lun," kata Lukas memecah keheningan. Luna tidak menoleh. Ia hanya mengangguk dan tersenyum menyetujui perkataan laki-laki itu. Setelah keluar melalui gerbang tol, tidak ada lagi pemandangan yang bebas untuk Luna nikmati. Langit menjadi sempit karena terhalang oleh bangunan-bangunan rumah warga dan pertokoan. Jalanan juga menjadi padat merayap entah karena sudah sore atau karena memang selalu seperti ini keadaan jalanan di Kota Solo, karena sekarang sudah lewat jam pulang kantor yang pasti bukan karena pekerja yang pulang dari kantornya yang menyebabkan kemacetan ini. "Luna mau mampir makan?" Lukas memberikan tawarannya pada Luna, mengingat perut kosong Luna yang hanya terisi sedikit kue coklat dan teh panas siang tadi. Ketika Luna menoleh, ketika perempuan itu akan mengatakan sesuatu, dirinya membungkam mulutnya. Luna kembali memikirkan apakah ucapan yang akan ia lontarkan layak untuk dikeluarkan, tentang sebuah pertanyaan mengapa mereka harus mampir makan dan bukankah nanti ketika sampai di rumah sudah disuguhi makanan oleh ibu dari Lukas. "Nggg ... nggak usah deh, Lukas. Kayaknya nanti saja." Alih-alih bertanya seperti apa yang Luna pikirkan, Luna memilih untuk langsung menolak tawaran Lukas. Kebetulan dirinya juga belum terlalu lapar. Jadi, ia bisa menahan sampai nanti malam jika memang di rumah Lukas tidak ada makanan. Tetapi, perutnya itu juga sudah siap saja kalau-kalau ternyata ibu Lukas menyambutnya dengan makanan penuh satu meja. "Yakin enggak makan?" tanya Lukas memastikan sekali lagi. "Aku rada laper sih, Lun," lanjutnya yang kembali membuat Luna berpikir bahwa memang sesampainya di rumah Lukas nanti tidak akan ada makanan. "Yaudah, Lukas. Kita mampir makan dulu aja nggak papa," kata Luna kemudian. Ia juga tidak mau jika Lukas harus rela menahan lapar karena dirinya yang menolak untuk diajak mampir makan dengan alasan lain yang tidak ia ceritakan pada Lukas. Sebenarnya Luna tidak paham dengan kondisi keluarga Lukas. Apakah baik-baik saja dan normal seperti keluarga-keluarga lainnya, atau justru kondisi yang buruk sedang terjadi. Luna tidak mau terlalu terburu-buru ingin mengetahui. Jadi, ia harus sabar saja membiarkan waktu bergulir dan memberinya jawaban. "Kamu mau makan apa? Ayam atau Ikan atau apa?" tanya Lukas lagi menawari Luna. "Aku sih terserah kamu, Lukas. Yang menurut kamu harus aku cobain di sini deh," kata Luna dengan senang hati. Perempuan itu tidak pernah mempermasalahkan apa yang akan ia makan. Selama halal dan tidak membuat repot, Luna akan melahapnya. Sementara Lukas menangangguk dan kembali fokus pada jalanannya yang tidak pernah sepi. Sekalinya lancar, itu pun hanya sesaat dan akan kembali merayap lagi. Lalu, ketika menemui kondisi tersebut, Lukas seringkali mengembuskan napasnya merasa lelah dengan ramainya jalanan. "Emang di sini sering banget macet ya?" tanya Luna yang penasaran sedari tadi. "Nggak, Lun. Biasanya sih emang rame, tapi jarang banget sampai macet kayak gini." "Aku pikir Solo itu sepi, Lukas. Ternyata sama aja kayak Bandung sama Malang ya." Luna terkekeh. "Tapi tetap, banyak orang yang pengen tinggal di kota ini. Iya kan, Lukas?" Lukas menggedikkan bahunya. "Aku nggak tau, aku nggak peduli juga orang mau tinggal di Solo atau di mana. Terserah mereka, Lun," katanya tanpa ekspresi. Luna jadi tidak enak melihat reaksi Lukas. Ia merasa seperti ada sesuatu yang membuat Lukas kurang suka ketika Luna membahas mengenai tinggal di Kota Solo ini. Tetapi, hal itu justru membuat Luna penasaran, apakah ekspresi Lukas hanya kebetulan saja atau memang selalu seperti ini dalam pembahasan ini. "Menurut kamu, enak nggak tinggal di kota ini? Aku jadi pengen juga deh tinggal di Solo. Aku pengen ngerasain yang orang-orang ceritain tentang kota ini. Aku pengen ketemu orang-orang yang ramah, yang bisa ngasih aku energi positif setiap hari. Terus juga aku pengen ngerasain gaya hidup di kota ini yang katanya cukup rendah, mungkin aku bisa hemat kalo tinggal di sini," ucap Luna panjang lebar, di mana ia mengakhiri perkataannya dengan kekehan. "Kalo menurut kamu tinggal di sini karena pengen ketemu orang-orang ramah, di Malang pun kamu bisa, Lun. Di semua tempat juga kamu bisa nemuin orang-orang ramah. Orang ramah itu ada banyak tersebar di semua penjuru daerah. Tinggal kamunya aja yang lagi beruntung ketemu orang-orang ramah, atau malah buntung karena semua itu jauh dari ekspektasi kamu." Lukas pun tidak mau kalah. Ia juga membalas ucapan yang berisi keinginan Luna tersebut dengan kalimat yang panjang yang sangat sesuai dengan kenyataan. Luna sudah tidak mau menanggapi lagi. Ia hanya mengangguk saja menyetujui bahwa yang dikatakan Lukas memang ada benarnya. Sementara mobil Lukas sudah berbelok mencari tempat parkir. Sepertinya mereka berdua telah sampai. "Luna mau makan bebek goreng? Di sini langganan aku." Ketika melihat ekspresi Lukas yang sudah berubah menjadi kembali segar, Luna pun ikut tersenyum karena merasa lega. Walau Lukas itu terbukti ramah namun ia belum mengenal seratus persen laki-laki itu. Perubahan-perubahan ekspresi Lukas juga tidak jarang membuatnya ikut khawatir memikirkan apa isi otak Lukas ketika dalam keadaan tersebut. "Lukas," panggil Luna ketika Lukas telah mematikan mesin mobilnya. Suara panggilan Luna yang hanya sekata itu membuat Lukas menoleh padanya dan menatapnya untuk menunggu kelanjutan perkataan dari Luna. Luna diam sejenak. Kemudian ia mengangguk dan juga menatap Lukas tepat di dua matanya yang bulat dan lebar itu. "Aku mau makan apa aja asal sama kamu," katanya yang langsung membuat Lukas menaikkan kedua alisnya. "Kenapa kamu, Lun?" tanya Lukas penasaran. Luna menggeleng. "Aku nggak tau daerah sini, otomatis aku kudu selalu sama kamu." "Ya Allah, Lun. Kirain kenapa." Lukas pun terkekeh mendengar jawaban Luna. Baru saja mereka turun dari mobil, suara adzan sudah terdengar menggema di mana-mana. Langit yang tadinya jingga perlahan-lahan juga menggelap seiring semakin bergulirnya waktu dari sore menuju petang. Luna dan Lukas tidak langsung masuk ke tempat makan dalam tenda lesehan yang menyediakan bebek goreng andalan Lukas. Tetapi mereka seperti sedang berkomunikasi dengan suasana petang yang ada di sini, menikmati sepoi angin yang tidak terasa sejuk, dan pendengarannya dimanjakan oleh suara adzan yang dihiasi riuhnya suara mesin kendaraan yang berlalu lalang. "Luna, aku pesen dulu terus kita tinggal ke masjid ya," kata Lukas yang entah mengapa sudah ada di sampingnya dengan tangan mereka yang saling menggenggam. Lukas dan Luna berjalan menuju lesehan tenda tersebut. Tangan mereka masih bergandengan seperti dua anak kecil yang takut terpisah dan khawatir hilang ditelan keramaian. "Kamu mau bebek goreng juga, Lun?" tanya Lukas ketika keduanya sudah ada di hadapan sang penjual dan siap untuk memesan. Sebelum Luna menjawab, Lukas tersadar bahwa sedari tadi keduanya sedang bergandengan. Ia mengangkat tangannya yang otomatis mengangkat tangan Luna juga. "Loh, ngapain kita gandengan, Lun?" tanya Lukas yang sudah terkekeh saja. Ia benar-benar tidak sengaja menggandeng tangan Lukas. "Kamu yang gandeng aku, Lukas. Lihat aja jemari kamu," kata Luna yang membuat Lukas memperhatikan jemari-jemarinya yang saling terkait satu sama lain dengan jemari Luna. Lukas semakin terkekeh saja. Tetapi, alih-alih melepaskan gandengan itu, Lukas malah menangkupnya dengan tangannya yang lain. "Hahah, nggak papa kan, Lun?" tanyanya pada Luna di mana perempuan itu hanya mengangguk saja. "Jadi, kamu mau bebek goreng juga apa yang lain?" tanya Lukas lagi. "Ada ikan goreng juga, ada udang, ada ayam, sama ada cumi, Lun," katanya menyebutkan menu yang ada di sini. "Samain aja, Lukas." "Minumnya apa?" tanya Lukas kemudian. "Adanya apa?" Luna balik bertanya. Dengan senang hati, Lukas kembali menyebutkan menu minuman yang ada di lesehan ini. " Ada es teh panas." Ketika menyebutkan kalimat itu, sontak saja Luna terkekeh karena teringat tadi siang di rest area. Tidak bisa dipungkiri, Lukas pun juga ikut terkekeh karena ia dengan sengaja menyebutkan meu itu. "Ada es jeruk panas juga, Lun." Luma semakin terkekeh saja. Ia sampai menampol lengan Lukas dengan tangannya yang tidak bergandengan. Lalu, Luna baru sadar juga jika mereka masih saja bergandengan. "Lukas, lepas dulu tangannya." "Oh iya maaf, Lun." Lukas terkekeh. "Jadi kamu mau apa? Sama ada aneka es kopi panas juga, Lun." Luna berpikir sejenak. "Aku mau es teh panas aja." Lukas menghela napasnya. Ia tersenyum lebar-lebar menatap Luna. "Yang bener, Lun." "Lho, kamu sendiri lho yang bilang kalau ada es teh panas di sini." Luna balas terkekeh. "Nggak usah bingung, Mas, Mbak. Di sini memang sedia es the panas kok," kata Ibu pemilik lesehan ketika Lukas dan Luna mulai berdebat. Keduanya langsung menatap ibu tersebut terheran-heran. "Seriusan, Bu?" tanya keduanya dengan kompak. "Iya dong, ada." Lukas dan Luna sama-sama tergelak. Mereka saling tatap setelah mendengar penuturan dari Ibu penjual tersebut. Kemudian, keduanya juga kompak untuk geleng-geleng kepala.  "Wes to, Mas, Mbak. Lihat aja nanti pasti ada kok es teh panasnya bakal saya antar. Sekarang silakan duduk dulu," ucap Ibu tersebut. "Ah, iya, Bu. Kami mau cari masjid dulu," kata Lukas yang diberi anggukan oleh Luna. "Permisi ya, Bu," ucapnya lagi untuk berpamitan.  "Lukas, menurut kamu ibunya bakal nyediain es teh panas nggak ya?" tanya Luna dengan polosnya ketika mereka berdua sampai di halaman masjid.  Lukas mengusap puncak kepala Luna. "Jangan dipikirin sambil sholat ya, Lun." Lalu ia masuk duluan ke dalam masjid meninggalkan Luna yang masih diam di sana memikirkan tentang es teh panas.  --- Tidak lama, mereka sudah berjalan kaki bersama untuk kembali ke warung bebek goreng. "Gimana, Lun, aman kan?" ucap Lukas secara tiba-tiba. "Aman apanya, Lukas?" Luna bertanya balik karena memang perempuan itu tidak memahami apa yang dimaksud oleh Lukas. Lukas terkekeh dan lagi-lagi mengusap puncak kepala Luna. "Kamu nggak mikirin es teh panas kan pas lagi sholat tadi?"  Luna langsung menjaga jarak dengan Lukas. Bahkan ia menyempatkan untuk menampol lengan laki-laki itu.  "Aw." Lukas merintih. Jelas saja rintihan itu ia buat-buat. "Kan aku cuma nanya, Lun." Ia terkekeh melihat Luna yang sudah berwajah masam karena sebal.  Lukas langsung menggandeng kemabli tangan Luna, membuatnya bergeser mendekat padanya. "Luna jangan ngambek, nanti jelek." "Biarin. Entah jelek entah cantik, Sehun nggak bakal ngelirik aku, Lukas." "Nah, tuh tahu." Lukas lagi-lagi tertawa terbahak-bahak dan lagi juga, Luna menampol lengan pemuda itu.  Sesampainya di warung lesehan, setelah keduanya duduk lesehan dengan satu meja di depan mereka, tidak lama hidangan yang mereka pesan sudah diantar.  "Jangan lupa es teh panas ya, Bu," ucap Lukas sambil terkekeh. "Si Luna penasaran banget sampai kebayang-bayang pas sholat, Bu." "Ye ... mana ada!" Luna langsung menyahut.  "Sik sik, sebentar baru mau saya buatkan es teh panasnya. Soalnya kalau dibuat dari tadi, udah nggak panas lagi." Mendengar perkataan ibu tersebut membuat Lukas membulatkan matanya tidak percaya jika memang es teh panas ada di dunia ini. "Lun, ada es teh panas!" ucapnya girang pada Luna. Sedangkan Luna hanya merapatkan bibirnya tidak mau menanggapi Lukas yang semakin lama kok semakin aneh saja.  Tidak lama, ibu tersebut sudah membawa nampan yang berisi dua gelas teh dengan es batu di dalamnya. "Ini, Mas, Mbak, es teh panasnya," kata Ibu tersebut. Luna dan Lukas sempat tidak percaya kalau yang diberikan ibu tersebut adalah es teh panas, karena yang terlihat di dalam gelas tersebut hanyalah es teh biasa. "Dipegang dulu, baru bisa tahu kalo ini itu es teh panas." Luna dan Lukas menuruti apa kata ibu tersebut. Keduanya bersamaan memegang gelas es teh itu dan mereka berhasil dibuat terkejut. "Beneran lho es teh panas!" ucap Luna tidak percaya. Diikuti Lukas yang langsung meminum es tersebut dengan sedotan.  Ketika dirinya meminum bagian atas dari gelas tersebut rasanya dingin seperti es teh pada umumnya, tetapi ketika ia menyeruput dasar gelas, rasanya panas. Benar apa kata ibu penjula jika es teh panas memang benar-benar ada di dunia ini.  "Bener kan, Mas, Mbak. Kalian sih nggak percaya." "Sekarang kami percaya, Bu." Luna tersenyum lebar. Hanya mengetahui hal kecil seperti ini saja sudah membuat Luna kegirangan. Lukas jadi tahu, sebenarnya tidak perlu hal-hal yang mahal untuk membuat Luna kegirangan. Dirinya tersenyum menatap Luna yang masih mengaduk-aduk gelasnya hingga es teh panas tadi benar-benar berubah menjadi es teh manis saja. "Udah, Lun. Makan dulu." Lukas sudah memberinya secuil bebek goreng di depan mulutnya. "Cobain." Luna tidak menolak. Ia membuka mulut dan menerima seucuil bebek goreng dari Lukas. Perlahan ia mngunyahnya untuk merasakan sensasi daging bebek yang digoreng kering di luar tetapi tetap juicy di dalamnya.  "Enak kan?" Luna mengangguk sambil mengangkat dua jempolnya. "Enak banget!" katanya setelah berhadil menelan secuil bebek pemberian Lukas. "Yaudah, makan. Keburu malam nih." "Sekarang kamu cobain punya aku, Lukas." Luna berganti mencuil daging bebek dan memberikan pada Lukas. "Kan sama aja, Lun," kata Lukas. Walau begitu dirinya tetap membuka mulut dan menerima secuit bebek dari Luna. Sesaat setelah ia mengunyah, ada rasa terbakar di lidahnya. "Lun, kamu kasih sambel berapa banyak sih?" ucap Lukas sambil kepedasan. Ia langsung menyeruput habis es teh manisnya bahkan es teh manis milik Luna juga ikut ia embat saja saking pedesnya sambel yang disediakan. Sementara itu Luna hganya terkekeh. Ia merasa puas karena sudah mengerjai Lukas. Ia tidak tahu pasti apakah Lukas bisa makan pedas atau tidak. Hanya saja ketika makan soto pagi tadi, ia melihat Lukas menuangkan dua sendok teh sambal ke dalam sotonya. Jadi, ia pikir Lukas akan tahan dengan pedas yang tidak seberapa itu. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD