Perempuan yang Sedang Dekat dengan Lukas

1159 Words
Luna hanya diam saja selama di dalam mobil. Ditambah Lukas yang tidak menyalakan radio, membuat suasana semakin sunyi saja. Beberapa kali Lukas melirik ke arah Luna, tetapi perempuan itu sama sekali tidak menanggapi. "Luna marah?" Lukas akhirnya buka suara. Walau Luna masih diam saja, tetapi bukan berarti Luna tidak menanggapi perkataan Lukas. Perempuan itu mengangguk yang berarti dia memang sedang marah dengan Lukas. "Seriusan lo marah sama gue?" tanya Lukas lagi. Lagi-lagi Luna memberikan anggukan. "Kenapa?" Kali ini Luna menggeleng. Ia menatap jalanan dengan matanya yang kesal. Ia merasa Lukas sudah mengerjainya karena laki-laki itu tidak berterus terang jika mereka berdua tetap akan berangkat ke Solo hari ini dengan menaiki mobil milik Lukas. Perlahan mobil mereka menepi di depan lahan kosong karena untuk menghindari juga kemacetan jika Lukas menepi di sembarang tempat. Sebenarnya Luna penasaran mengapa Lukas menepikan mobilnya. Tetapi, rasa kesalnya terasa lebih besar dan ia tidak mau tahu mengapa Lukas menepikan mobilnya. Lukas menggeser duduknya menghadap Luna. Laki-laki itu mengembuskan napas cukup panjang dan menatap perempuan itu beberapa saat sebelum akhirnya berbicara. "Luna ... gue minta maaf. Gue emang bermaksud mau ngasih lo pelajaran. Soalnya lo lama banget dan udah lewat batas waktu kita janjian kemarin. Gue sadar juga sih sebenarnya kalau gue juga ngaret, tapi ternyata lo yang lebih terlambat. Tapi gue nggak pernah bermaksud bikin lo nangis, seriusan, Lun." Perkataan Lukas terdengar lemah penuh dengan penyesalan. Matanya juga menunjukkan penyesalan tersebut ketika Luna mulai menatap mata bulat milik Lukas. "Luna jangan marah. Masa kita mengawali perjalanan ini dengan marah-marah? Bukannya itu nggak bagus ya, Lun?" Sempat terjadi saling tatap untuk beberapa saat, sampai akhirnya Luna kembali mengalihkan pandangannya pada jalanan. Tetapi sedetik kemudian ia kembali menatap Lukas. "Aku juga minta maaf, Lukas." Lukas tersenyum diikuti oleh senyuman perempuan itu. "Nggak marah lagi?" tanya Lukas. "Aku nggak pernah marah, Lukas," ucap Luna tidak mau mengakui. "Lah, tadi?" "Tadi aku cuma kesel." "Sekarang udah enggak?" Luna tersenyum dan menggeleng. "Enggak, Lukas." "Makasih ya, Lun." Entah sudah terbiasa atau memang tidak merasa risih, Luna benar-benar tidak masalah ketika Lukas mengacak puncak kepalanya. Hal tersebut membuat mereka berdua semakin merasa akrab saja karena kedekatan ini. Mobil kembali melaju. Walau haru sudah mulai siang dengan jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan Luna hampir menunjukkan pukul sembilan dan mereka masih berada di Kota Malang, mereka berdua tidak nampak terburu-buru. Luna yang tidak tahu jika sedari tadi Lukas hanya berputar-putar di jalanan kota beberapa kali, tidak pernah menyadari itu karena memang dirinya tidak hafal jalanan di sini walau sudah bertahun-tahun tinggal di kota ini, karena memang Luna jarang sekali untuk keluar apalagi sampai hafal jalanan kecuali jalanan dari rumah kostnya menuju kampus atau menuju supermarket. "Aku pikir tadi kita nggak jadi berangkat, soalnya kamu cuma pake celana pendek sama kaus doang. Ya kan nggak mungkin kan kalo kamu naik bus pakai pakaian sesantai itu," kata Luna yang mulai kembali nyaman mengobrol bersama Lukas. "Apalagi kamu sama sekali nggak bawa tas." Lukas terkekeh mendengarnya. "Iya, Lun. Tadi kan emang aku udah feeling kalo kita bakal ketinggalan busnya. Yaudah aku mutusin buat naik mobil aja dan kalo perjalanan jauh aku nyamannya emang kayak gini kalo nyetir." "Lukas kok ganti pakai 'aku'?" tanya Luna yang tiba-tiba Lukas mengubah ucapannya. "Di rumah aku pakai aku-kamu juga, jadi nggak masalah dong ya," jawabnya. Luna mengangguk saja. Kemudian ia baru menyadari mengenai mereka berdua yang ketinggalan bus. "Lukas, jadi tiket bus yang kamu beli hangus dong?" "Ya iya, Lun. Kalo nggak telat mah kita nggak bakal mubadzir tiket." Ekspresi Luna kembali merasa bersalah. "Ya Allah, Lukas. Aku minta maaf." "Jangan minta maaf terus, Luna. Aku juga salah di sini. Kan aku udah bilang, kalo aku udah feeling kita bakal telat." "Lukas lucu ya ngomongnya kalo pake aku-kamu, berasa lebih lembut aja didengar." Perkataan Luna malah melenceng dari konteks pembicaraan Lukas. "Emang kalo aku pake lo-gue, kedengaran kasar?" tanya Lukas yang fokus pada jalanan. Mereka berdua sudah meninggalkan daerah kota. "Nggak gitu, Lukas. Cuma aku lebih suka aja dengarnya. Lebih manis didengar." "Kayak kamu," sahut Lukas. Seketika membuat kedua alis Luna berkerut. "Aku manis?" tanyanya dengan menunjuk dirinya sendiri. Lukas mengangguk. "Iya." "Lukas, kita ini baru kenal lho. Nggak seharusnya kamu gombal kayak gitu!" Luna menyempatkan untuk memukul lengan Lukas perlahan yang membuat laki-laki itu terkekeh. "Kita kan udah kenal dari awal masuk kuliah, Lun." "Iya. Maksudku kita baru akrab bahkan belum ada satu minggu. Cepat banget kamu gombal kayak gitu! Pasti kamu playboy ya!" "Eh, sembarangan kalo ngomong kamu!" Luna terkikik. "Iya lah, pasti. Jago gombal kayak gitu!" "Hm, emang susah ya jadi cowok. Muji cewe dibilang gombal, kasih kritik sama saran dibilang jahat." "Aku nggak bilang kamu jahat, Lukas." "Bukan kamu, Lun. Tapi cewe-cewe yang pernah deket sama aku. Mereka kebanyakan bilang aku ini jahat, tukang selingkuh. Padahal kita nggak pernah pacaran." "Mungkin kamu deketin cewenya langsung lima, jadi dikira tukang selingkuh!" Luna mengakhiri ucapannya dengan kekehan. Sementara Lukas baru menyadari hal tersebut. "Bener juga sih, Lun." Luna pun terkejut mendengarnya. "Jadi seriusan, kamu deketin cewe tuh langsung banyak gitu?" Lukas hanya mengangguk. Tidak terasa mobil mereka sudah Lukas parkir di depan warung soto. "Ya Allah, Lukas. Pantes aja mereka bilang kamu tukang selingkuh. Terus, sekarang ada berapa cewe yang kamu deketin?" tanya Luna. Lama-lama ia penasaran juga dengan laki-laki tampan yang ternyata sehangat itu, pantas saja banyak cewek yang ternyata dekat dengan dirinya. Lukas sudah mematikan mesin mobilnya, sementara Luna belum sadar jika mereka telah parkir. "Sekarang sih yang dekat sama aku cuma satu doang, Lun," katanya sambil melepas seat belt. "Alhamdulillah," ucap Luna dengan rasa bersyukur dan bangga pada Lukas. Tetapi tetap saja dirinya penasaran dengan siapa cewek yang sedang dekat dekat Lukas sekarang. Ia sudah bisa membayangkan jika perempuan itu pasti jauh lebih cantik dan lebih sopan dari perempuan yang terakhir kali Luna temui saat berasama Lukas, perempuan yang meninggalkan Lukas ketika Luna mengajaknya mengobrol. "Siapa cewek itu? Pasti bukan yang kemarin ninggalin kamu kan?" tanya Luna. "Bukan lah, Lun. Kan aku udah bilang nggak bakal dekat sama cewek modelan nggak punya sopan santu kayak dia." "Alhamdulillah." Lagi-lagi Luna mengucap syukur. "Semoga cewek yang dekat sama kamu bisa bikin kamu stop deketin banyak cewek ya, Lukas." Lukas terkekeh. Bisa-bisanya perempuan yang ada di sampingnya itu memberinya doa yang bahkan belum sempat Lukas pikirkan lebih jauh walau sempat terbesit dalam benaknya. "Siapa sih, Lukas. Kasih tau dong!" "Turun dulu, Luna. Kita sarapan soto." Luna beralih menatap sekitar. Ia baru sadar jika mereka sudah sampai di depan warung soto. Tetapi, alih-alih mengikuti perintah Lukas, Luna kembali penasaran dengan siapa perempuan yang sedang dekat dengan Lukas. Luna tidak pernah memaksa, karena Lukas memang tidak terlihat keberatan. "Kasih tau dulu dong, nanggung nih penasarannya." Lukas menarik napas dan mengembuskannya. Ia menatap Luna dengan matanya yang bulat itu. "Kamu, Lun," kata Lukas sambil mengacak puncak kepala Luna. "Cuma kamu yang dekat sama aku dan aku pengennya dekat sama kamu doang." Di sana Luna hanya terdiam memikirkan apa yang dimaksud Lukas. "Udah, nggak usah dipikirin. Ayo turun, makan dulu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD