Mengusap Air Mata Luna

1028 Words
"Luna tolong lihat gue," ucap Lukas dengan kedua tangannya yang memegang bahu Luna, berusaha agar Luna mau menatapnya. Perlahan, perempuan itu menatap Lukas dengan wajah yang menyedihkan bahkan air mata masih sempat mengalir dari kedua matanya. "Jangan nangis." Lukas mengusap pipi Luna dengan lembut. Perasaannya cukup kacau karena ini adalah pertama kalinya Lukas membuat anak orang menangis. Perempuan itu menyingkirkan tangan Lukas yang masih mengusap air mata yang ada di pipinya. Kemudian ia mendongak, memberanikan diri menatap Lukas dengan matanya yang memerah. "Lukas, aku mohon kamu jangan marah," katanya dengan suara bergetar. Lukas jadi merasa sangat bersalah. Ia benar-benar berniat untuk mengerjai Luna saja. Tetapi, ia tidak pernah menyangka jika efeknya akan terlalu menyakitkan bagi Luna. "Luna, dengerin gue." Luna mengusap air matanya seorang diri, mengatur napas, dan berusaha untuk menahan dirinya untuk berhenti sesegukan. "Harusnya gue yang minta maaf. Gue udah bohong sama lo," ucap Lukas dengan begitu serius. "Bohong apa?" Lukas sedikit berpikir untuk menjelaskan semuanya. "Bohong apa, Lukas?" tanya Luna dengan nada yang lebih tinggi untuk memgulangi pertanyaannya. Lukas malah menggeleng. "Enggak. Gue nggak ada bohong apa-apa sama lo," katanya. "Maksud kamu apa, Lukas?" "Seharusnya gue yang tanya. Lo kenapa tiba-tiba pergi begitu aja?" Otak Luna harus berpikir ekstra keras untuk memproses maksud dari perkataan Lukas. Jelas-jelas dirinya pergi karena buru-buru ke kampus untuk meminta surat keterangan izin observasi terlebih dahulu dari pihak jurusan. Tetapi malah Lukas masih menanyakan lagi apa yang Luna lakukan. "Aku mau ke sekolah. Aku mau minta surat ke jurusan," jawab Luna apa adanya. "Buat apa, Lun?" tanya Lukas, membuat Luna mengembuskan napasnya kasar-kasar. "Luna, gue dateng ke kost lo ya mau jemput lo buat kita berangkat ke Solo. Tapi kenapa lo malah pergi sih?" Lukas sudah menyunggingkan sedikit senyumnya. Ia mulai menahan tawanya ketika Luna berekspresi kebingungan. "Maksud kamu? Kita jadi berangkat pagi ini?" tanya Luna menebak-nebak, walau dirinya tidak mau berharap banyak. Lukas mengangguk. "Yaiya lah, kapan lagi?" Lukas balik bertanya. Luna semakin mengerutkan dahinya saja. Ia sama sekali tidak paham dengan apa yang dimaksud Lukas. Menurutnya, sejak Lukas hanya diam saja ketika tadi menunjukkan bahwa mereka berdua gagal untuk berangkat ke Solo karena keteledorannya yang lambat bangun. Tetapi, sekarang ini Lukas malah bertanya seperti itu. Luna mengecek jam yang melingkar di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul hampir delapan pagi. Dirinya kembali memutar memori atas janjian yang mereka lakukan yaitu untuk sampai di tempat agen bus pada pukul tujuh pagi karena bus akan berangkat pukul delapan. Luna benar-benar berpikir bahwa mereka berdua sudah tidak memiliki kesempatan untuk mengejar bus. Apalagi sekarang ini yang sudah pasti bus telah berangkat dari garasinya. "Lukas, kemarin kamu bilang bis kita berangkat jam delapan pagi kan?" tanya Luna setelah mengalihkan pandangannya dari jam yang melingkar pada pergelangan tangannya. "Iya, Lun." "Tapi sekarang udah jam delapan." Luna menunjukkan jam tersebut. "Gue tau, Lun." Lukas menjawab dengan santai, membuat Luna semakin bingung saja. "Emang masih bisa dikejar bisnya?" tanya Luna dengan polosnya. Lukas terkekeh. Ia mengacak gemas puncak kepala Luna yang tidak banyak ditanggapi oleh perempuan itu. Luna masih diam dalam kebingungan. Selanjutnya, Lukas memilih menggandeng tangan Luna dan membawanya kembali ke rumah kost Luna. "Ayo, ambil koper dulu. Kita ngobrol di jalan." Benar-benar tangan Lukas yang lebar mampu menangkup tangan Luna yang jauh lebih kecil. Luna tidak banyak memprotes. Selain dirinya yang masih tidak paham dengan semua ini, di sini juga banyak ibu-ibu yang sedang nelakukan aktivitasnya sehari-hari. Luna takut akan dijadikan bahan pembicaraan oleh mereka semua jika terlalu bersikap berlebihan, walau dirinya sudah bersikap berlebihan dengan menangis di jalanan g**g. Kopernya sudah mereka ambil. Kini Lukas yang menyeret koper perempuan itu. "Lun, udah sarapan?" tanya Lukas memecah keheningan yang sempat terjadi. Luna menggeleng. "Gimana mau sarapan, Lukas. Aku aja baru bangun." "Salah siapa habis subuh kok tidur lagi." Luna menghentikan langkahnya, membuat Lukas juga ikut berhenti. Ia menoleh menatap Lukas. "Iya, salah aku," katanya dengan nada datar dengan ekspresi yang sama-sama datarnya. Lukas malah terkekeh. Lagi-lagi ia mengacak puncak kepala perempuan itu namun kali ini Luna menghindar. Mereka berdua kembali melanjutkan jalan kakinya. Tidak lama, Luna dan Lukas telah sampai di depan g**g. Di sana ada mobil merah yang tidak lain dan tidak bukan adalah milik Lukas di mana Luna bisa tahu hanya dengan membaca plat nomornya saja. "Lukas, kamu bawa mobil?" tanya Luna dan diberi jawaban anggukan oleh Lukas. "LUNA!" Tiba-tiba saja suara panggilan dari seorang perempuan berhasil membuat keduanya mengalihkan pandangan ke sumber suara. Rupanya ada Nisa yang sedang berjalan ke arah mereka berdua. "Lun, lo mau kemana?" tanya Nisa pada Luna, tanpa menghiraukan Lukas yang juga ada di sana. "Aku mau ke rumah Lukas, ke Solo," jawab Luna apa adanya. . Sontak saja hal tersebut membuat Nisa membulatkan matanya. "Ngapain lo ke Solo? Solo itu jauh, Lun. Nggak udah ngadi-ngadi deh lo!" Lukas yang ada di sana juga memilih diam. Ia tidak mau ikut campur dalam pembicaraan antara dua perempuan itu. "Nisa, kan aku udah cerita semuanya sama kamu sama Desi juga. Kalo aku nggak ke Solo, terus aku gimana ngerjain tugasnya? Kemarin juga kamu semangatin aku kan? Kok sekarang malah nggak seneng gitu sih?" "Bukan gitu, Lun. Gue kira ya nggak bakal sampai lo berangkat beneran. Terus, lo udah ketemu sama Mas Ten?" Saking dekatnya Mas Ten dengan Luna apalagi ketika terjadi suatu hal pada perempuan itu, sampai-sampai Nisa pun mengenal dekat juga dengan Mas Ten. Luna menggeleng. "Aku nggak ada waktu buat ketemu sama Mas Ten ternyata." "Orang tua lo udah ngasih izin? Mas Kun?" tanya Nisa saking tidak percayanya. Luna mengangguk. "Udah." "Yakin?" Nisa masih tidak bisa percaya. "Nisa, aku udah urus semua izinnya. Aku juga nggak bakal berangkat kalo nggak dapet izin." Luna mencoba menjelaskan. Sementara itu Lukas sudah cukup lelah dengan pembicaraan dua perempuan itu. Ia mengangkat satu tangan Luna yang melingkar jam di pergelangan tangannya, membuat Luna tersadae bahwa ini adalah kode daru Lukas untuk cepat-cepat berangkat. "Yaudah, Nisa. Aku sama Lukas mau berangkat dulu ya!" pamit Luna, padahal Nisa belum menyelesaikan obrolannya. Nisa sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dirinya hanya diam saja melihat sahabatnya itu masuk ke dalam mobil merah milik Lukas. Bahkan ketika Luna menurunkan kaca jendelan dan melambaikan tangan ke arah Nisa, perempuan itu juga tidak membalas lambaian tangan Luna.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD