Obrolan Ringan Luna dan Lukas

1179 Words
Tiga puluh menit mereka habiskan untuk mengobrol. Dari mulai obrolan tentang kampus hingga kucing-kucing yang ada di jalanan. Rupanya laki-laki itu memang hangat. Tidak ada lagi tampang atau aura dingin ketika Luna sudah lebih dekat dengan Lukas. "Aku suka aneh. Kenapa di kampus banyak banget kucing. Gemuk-gemuk pula," ucap Luna setelah mengakhiri seruputan es teh terakhirnya.  "Terus kalo di jalanan tuh kucing pada kurus-kurus." "Ya kan kalo di kampus, banyak mahasiswa yang baik hati buat ngasih dry food mereka. Beda lagi kalo di jalanan, kucing cuma lewat aja sering kena tendang." Obrolan mereka memang ke mana-mana. Namun, sesaat kemudian Luna terdiam karena memikirkan apa yang dimaksud Lukas ketika di dalam mobil tadi. "Lun, kok diam? Udah cukup?" tanya Lukas pada Luna yang hanya diam saja menatap mangkuk kosongnya. "Apa mau nambah lagi?" Ia melanjutkan pertanyaannya. "Uh ...?" Luna menggeleng. "Udah cukup, Lukas. Mau berangkat sekarang?" Setelah membayar, keduanya kembali menuju mobil. Jalanan menjadi sedikit lenggang karena hari sudah semakin siang saja. "Udah jam setengah sebelas, Lukas. Kira-kira kita nanti sampai di Solo jam berapa?" tanya Luna setelah melihat layar ponselnya. "Paling sekitar jam empat sore, Luna." "Wow, lama juga ya." Luna mengangguk-angguk. "Kalau naik bus, bisa lebih lama," sahut Lukas. "Oya?" "Iya. Bisa sampai tengah malam. Dulu aku pernah dari Terminal Arjosari jam sebelas siang. Terus sampai Terminal Tirtonadi itu jam sebelas malam." Luna sampai takjub mendengar cerita Lukas yang hanya sepotong. "Tapi dulu kebetulan busnya nggak lewat tol. Jadi ya gitu, lama." Obrolan yang seru kali ini harus terhenti ketika ponsel Luna mendadak berdering. Di sana menampakkan sebuah panggilan video dari Mas Ten. Kebetulan, kemarin Luna dan Lukas belum bertemu langsung dengan Mas Ten seperti apa yang diminta Mas Kun. Tetapi, baru saja ia akan menggeser tombol hijau di sana, panggilan itu sudah terputus. Luna cepat-cepat mengirim pesan singkat pada Mas Ten, karena takut ada yang penting. Rupanya Mas Ten hanya ingin Luna mengirim foto selfienya bersama dengan Lukas. Ia juga berkata bahwa ia tidak jadi video call karena kelas yang tiba-tiba saja dimulai. Tanpa menunggu lagi, Luna akan mengirimkan foto selfie dirinya bersama dengan Lukas. "Lukas, ayo foto!" ucap Luna yang sudah mengarahkan ponselnya pada mode selfie. "Apaan sih, Lun. Nggak mau ah!" Rupanya Lukas menolak. Entah karena apa ia langsung menutup wajahnya dengan satu tangannya setelah ia menurunkan topinya juga. "Ayolah, Lukas." Lukas semakin mendelik saja. "Nggak mau! Pasti kamu mau pasang buat ** story kalo enggak ya w******p story kan?" "Enggak, Lukas. Ini disuruh Mas Ten, trus nanti bakal dikirim ke Mas Kun juga." Luna berterus terang karena memang itulah alasan sebenarnya perempuan itu mengajak Lukas berfoto. Toh Luna juga bukan tipe perempuan yang sudah mengunggah apa saja di sosial media, apalagi ketika bersama Lukas yang tidak banyak orang tahu bahwa mereka sudah dekat saja. "Ayo, senyum." Luna mengarahkan gaya Lukas yang pasti hal tersebut tidak mengganggu Lukas yang sedang menyetir. "Satu ... dua ... cheese!" Akhirnya beberapa foto selfie telah mereka ambil. Namun, cukup dengan satu foto yang Luna kirimkan pada Mas Ten. "Kamu mau aku kirim sekalian fotonya? Bagus-bagus lho!" Luna menawari Lukas untuk memberikan hasil foto-foto selfie tersebut. Tetapi Lukas menggeleng menolak. "Nggak perlu, Lun." "Kenapa?" tanya Luna. "Padahal hasilnya bagus lho. Akunya cantik banget!" Luna berkata dengan sangat percaya diri. "Aku juga ganteng, Luna." Lukas tidak mau kalah. "Lukas narsis banget jadi orang!" Luna terkekeh di sana. "Untung ganteng beneran!" Ketika Luna berkata bahwa Lukas itu tampan, tidak ada rasa deg-degan atau rasa lainnya yang dirasakan Lukas, karena memang dirinya menyadari bahwa wajah yang dimilikinya itu begitu tampan. Ia tidak narsis. Banyak sekali mahasiswi yang mengakui bahwa Lukas itu manusia paling tampang di fakultas ekonomi dan bahkan bisa jadi manusia paling tampan di kampus. Hanya saja karena sikapnya yang dingin dan tidak kenal banyak orang, makanya Lukas sering terpinggirkan, terkalahkan oleh mahasiswa b***k organisasi yang selalu dianggap keren padahal proker-proker yang dijalankan juga turun temurun dari pengurusan sebelumnya. Awalnya Luna takut jika selama dalam perjalanan mereka akan merasa canggung. Tetapi pada kenyataannya Lukas memang seceria itu. Ia tidak pernah kehabisan bahan obrolan. Bahkan Lukas juga pandai ngelucu sampai-sampai beberapa kali perempuan itu dibuat tertawa oleh laki-laki yang ada di sebelahnya. Luna jadi ingin memberitahu dua sahabatnya yaitu Nisa dan Desi tentang Lukas yang tidak seburuk seperti apa yang mereka pikirkan. Ia ingin melakukan panggilan video kepada dua perempuan sahabatnya itu. tetapi alangkah lebih baiknya jika dirinya meminta izin terlebih dahulu karena bagimana pun juga diirnya sedang bersama dengan Lukas di dalam mobilnya. Luna tidak mau jika panggilan videonya bersama dengan Nisa dan Desi bisa mengganggu mereka. “Lukas, aku boleh video call sama Nisa sama Desi nggak?” tanya Luna pada Lukas yang fokus pada jalanan. “Nggak boleh.” Jawaban Lukas yang hanya dua kata dan terdengar dingin itu sempat membuat Luna terkejut. Pasalnya tadi ia dan Lukas baru saja mengobrol dengan santai, tetapi tiba-tiba saja Lukas mendadak bersuara dingin ketika dirinya meminta izin untuk melalukan panggilan video bersama dengan Nisa dan Desi. Luna tidak mau berpikiran buruk, karena mungkin saja Lukas belum terbiasa jika harus melibatkan orang lain lagi dalam kehidupannya. Mungkin saat ini cukup Luna saja yang tahu bahwa Lukas itu ramah dan mungkin saja Lukas membiarkan ornag-orang untuk tetap menganggapnya dingin dan tidak punya banyak teman. Suasana di dalam mobil mendadak hening. Luna menutup mulut rapat-rapat karena takut jika akhirnya Lukas marah karena izinnya yang tadi. Tidak lama, suara kekehan membuat Luna menoleh pada Lukas. Perempuan itu menautkan kedua alisnya pertanda dirinya sedang bingung dengan apa yang dilakukan Lukas, mengapa laki-laki itu tiba-tiba saja terkekeh padahal tidak ada yang lucu. Kalau seperti ini, Luna jadi takut. “Luna, kalau mau video call sama Nisa sama Desi mah ya tinggal video call aja. Ngapain kudu izin sama aku?” Lukas kembali terkekeh di akhir perkataannya. Luna lega mendengar perkataan Lukas. ia langsung mengembuskan napasnya panjang. “Ngapain, Lun?” tanya Lukas. “Aku pikir kamu marah, Lukas.” sampai sekarang memang Luna lebih nyaman berkata jujur. “Loh, kenapa aku harus marah, Luna? Mau video call sama Nisa sama Desi atau sama pacar kamu sekalipun, aku nggak ada hak buat marah.” “Tapi aku nggak punya pacar, Lukas.” Luna menurunkan suaranya. “Cari dulu, Lun.” Lukas kembali terkekeh. “Huh ....” Luna kembali mengembuskan napasnya, membuat Lukas sejenak menoleh pada perempuan itu sebelum kembali fokus pada jalanan. “Lukas, aku tuh pernah suka sama satu cowok.” Luna tiba-tiba saja bercerita. Diam-diam Lukas tetap menyimak walau harus membagi fokusnya pada jalanan juga. “Tapi kayaknya emang yang suka sama dia itu aku doang, dia sama sekali nggak kenal sama aku.” “Kenapa nggak kenalan?” tanya Lukas. Cerita Luna membuatnya penasaran. Luna menggeleng. “Nggak perlu dan nggak bisa, Lukas.” Lukas sampai memelankan laju mobilnya. “Kenapa?” “Ya gimana, Sehun terlalu berlian buat aku yang kentang.” Lukas tidak lagi menanggapi. Ia hanya terkekeh saja ketika ternyata laki-laki yang di sukai Luna adalah artis negeri gingseng. Lukas jadi lega, setidaknya ia tidak kalah tampan dengan laki-laki yang disukai Luna. Yap, benar. Lukas selalu percaya diri bahwa dirinya adalah orang tampan.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD