Mengobati Luka

1213 Words
Setelah naik ke lantai dua, akhirnya Luna kembali dengan satu kotak perlengkapan P3K. Ia langsung buru-buru duduk di sebelah Lukas. Sejujurnya, Luna tidak terlalu paham bagaimana cara mengobati luka. Pokoknya, semua diawali dengan membersihkan luka tersebut dengan air, lalu memberinya obat merah dan menutup dengan perban. Hal tersebut adalah merupakan pertolongan pertama, setelahnya Luna harap Lukas mau ia bawa ke klinik atau rumah sakit untuk membersihkan lukanya lebih lanjut. Walau terdengar berlebihan, tetapi membawa ke klinik atau rumah sakit akan jauh lebih baik dari pada perawatan mandiri tetapi tidak terlalu mengerti. Toh, luka yang dialami Lukas cukup luas hampir seluruh punggung tangannya walau hanya berupa goresan saja. Dengan telaten Luna membersihkan luka Lukas menggunakan kapas dan air mineral yang masih tersegel dalam botol. Ia membasahi kapas dan mengusap pelan luka itu. Lukas tidak nampak kesakitan, karena perhatiannya seratus persen ia alihkan pada Luna yang fokus sekali pada lukanya. Setelah membersihkan dengan air dan kapas, Luna meneteskan obat merah dan akhirnya menutupnya dengan perban. "Lukas, udah. Nggak sakit kan?" tanyanya menatap Lukas dengan riang. Entah mengapa Luna harus memberikan ekspresi riang seperti anak kecil yang baru saja menyelesaikan tantangan kepada Lukas. Lukas pun tersenyum yang membuat Luna juga ikut tersenyum lebar di sana. "Pinternya," puji Lukas dengan mengacak pelan puncak kepala Luna. "Lukas, apaan sih! Jangan ngacak rambut dong!" Lukas tidak tahu mengapa. Ternyata Luna semenggemaskan ini, ditambah cara Luna berbicara yang terkesan lembut dan seperti lucu. Sepertinya Lukas mulai nyaman jika harus berlama-lama dengan Luna. "Lo lucu," ucap Lukas pada perempuan itu yang diakhiri dengan kekehan. Luna tidak menanggapi, ia memilih untuk merapikan obat-obatan tersebut dan juga membersihkan sampahnya. Setelah semuanya beres, Luna kembali duduk. Kali ini ia memilih duduk di samping Lukas yang tadinya berbeda kursi dengan Lukas. "Lukas, kita video call orang tua aku di sini aja ya. Lagian pintu depan dibuka lebar kok. Jadi ya nggak masalah kalau kita di sini," kata Luna sudah mengeluarkan ponselnya. "Ditutup juga nggak papa, Lun." Lukas terkekeh. Sementara Luna hanya meliriknya sekilas dan kembali pada ponselnya. "Lagian orang-orang juga kenapa sih suka banget ngurusin kehidupan orang lain?" tanya Lukas pada Luna yang entah pembicaraan ini akan mengarah ke mana. "Maksudnya gimana?" Luna menutup ponselnya. Ia tidak jadi menghubungi kedua orang tuanya karena sepertinya Lukas sedang ingin memulai obrolan yang cukup serius. "Kita kan udah lebih dari delapan belas tahun, Lun. Kita bisa bedain mana yang boleh dan enggak. Toh tubuh kita seratus persen jadi hak kita sendiri. Kita juga bebas mau ngapain aja asal nggak ngerugiin mereka." Luna hanya bisa terdiam dengan sedikit menganga mendengar penuturan Lukas. "Nggak seharusnya orang lain ikut campur urusan kita sih, Lun." Akhir kata Lukas membuat raut wajah Luna mendadak datar. "Kamu bisa ngomong gitu kenapa?" tanya Luna pada Lukas yang tidak bisa dijawab oleh laki-laki itu. "Ya karena kamu belum ngerasain butuh mereka." Lukas menautkan kedua alisnya. "Hah?" "Gini lho, Lukas Sayang." Kata sayang bukan berarti Luna menyukai Lukas, hanya saja kata itu sebagai bentuk bahwa Luna akan memulai nasihat-nasihatnya pada orang yang ia pedulikan. Bukan hanya Lukas, tetapi hampir semua orang akan ia panggil sayang jika dirinya sudah merasa gemas dan tidak bisa memilih kata lain. "Kamu bisa bilang kalau semua terserah kita karena usia kita udah delapan belas tahun. Kamu bisa sih bilang gitu di tempat lain, tapi kamu nggak bisa bilang kayak gitu di semua tempat. I mean tiap daerah punya norma adatnya masing-masing. Kamu tau nggak, walau tetangga itu orang yang paling pengen tau kehidupan pribadi kita, tapi merea juga yang bakal nolong kita kalau kita kesusahan. Itu udah kayak hukum alam. Kita saling menguntungkan, kita juga saling menyebalkan." Luna kembali membuka ponselnya. Ia akan membalas beberapa pesan yang masuk dari teman-temannya terlebih dahulu sebelum ia menelpon kedua orang tuanya. "Tapi, Lun, apa lo nyama kalo kehidupan pribadi lo diusik sama tetangga?" tanya Lukas. Membuat Luna menutup ponselnya dan meletakkan di atas meja. Sebenarnya Luna dan Lukas juga tidak mengerti mengapa pembicaraan mereka mengarah ke sini. "Kalau emang masih dalam batas wajar sih ya its ok. Lagian, tetangga itu nggak bakal ngusik hidup kita. Paling-paling mereka pada gosip doang. Kalau sampai timbul fitnah yang besar, berarti bukan lagi tetangga namanya. Tapi emang ada orang aja yang pengen ngejatuhin kita. Jadi, baik-baik deh sama tetangga." Lukas pun akhirnya mengangguk. "Lo pinter, Lun." "Emang." Jawaban singkat Luna yang sengaja dibuat agar terdengar seperti membanggakan diri itu langsung membuat Lukas terkekeh tidak habis pikir. "Dasar lo." Lukas kembali mengacak puncak rambutnya. Namun, kali ini Luna tidak kesal. Padahal bagian dari tubuhnya yang sangat sensitif jika disentuh adalah rambut. Nisa dan Desi saja tidak segan-segan ia marahi ketika membuat rambutnya yang lurus dan rapi itu berantakan. Tetapi dengan Lukas, sepertinya perempuan itu nyaman-nyaman saja, atau mungkin karena Luna ingin menunjukkan bahwa dirinya sangat berwibawa setelah mengatakan petuah-petuah keren menurut Lukas. "Lukas, ayo video call sama mama papa aku," kata Luna sudah bersiap pada ponselnya. "Aduh, Lun. Kok gue deg-degan ya." "Kenapa?" tanya Luna tidak mengerti. Lukas menggeleng. Luna bisa merasakan perubahan wajah Lukas yang sedikit pucat. Mungkin itu karena Lukas yang jarang sekali ia lihat berbicara dengan orang asing, apalagi ini mama dan papanya di mana Lukas akan meminta izin untuk membawa Luna pergi bersamanya ke luar kota. "Santai aja, Lukas. Mama sama papa aku nggak galak kok." Kini Luna sudah menelfon mamanya, tinggal menunggu telefon itu tersambung. Sementara Lukas mencoba menetralkan rasa gugupnya dengan menarik dan membuang napas perlahan. "Kok nggak diangkat ya?" ucap Luna ketika panggilannya tidak ada yang menerima. Padahal tadi Luna sudah janjian dengan mama dan papanya malam ini untuk saling melakukan video call. "Besok aja gimana, Lun?" Luna beralih menatap Lukas. "Kenapa?" tanyanya. Sebelah tangan Luna spontan saja menggenggam tangan Lukas yang tidak terluka. Rasanya dingin dan berkeringat. Sepertinya memang benar jika Lukas sedang gugup, membuat Luna seketika tertawa. "Ya ampun, Lukas. Tangan kamu dingin!" katanya lalu kembali tertawa. Luna tidak tahu saja. Di genggam tiba-tiba olehnya membuat Lukas semakin merasa gugup. Sialnya, kebiasaan Luna ada menggenggam, menggandeng, bahkan merangkul seseorang yang telah ia anggap akrab. Walau selama ini ia hanya melakukan skin ship dengan sahabatnya, namun kali ini ia benar-benar tidak sadar jika dirinya sudah membuat Lukas semakin gugup saja. "Luna jangan pegang tangan gue," kata Lukas. "Eh, maaf-maaf. Sakit juga ya? Apa terkilir?" Wajah Luna nampak khawatir. Bahkan tawanya sudah memudar. Lukas menggeleng. "Enggak." "Syukurlah." Luna bisa mengembuskan napas lega di sana. "Kirain ada rasa nyeri gegara terkilir gitu, Lukas." "Nggak ada, Lun. Cuma gue semakin gugup aja." Lukas memang tidak suka basa-basi. Tetapi, ia cukup bisa merahasiakan perasaan yang ia rasakan. Namun untuk saat ini, ketika ia bersama Luna, sepertinya ia tidak perlu untuk merahasiakan apa yang ia sedang rasakan. "Jangan genggam tangan gue, gue jadi gugup." Luna diam. Ia tidak mengerti mengapa Lukas medadak gugup hanya karena ia genggam tangannya. Ia kembali menelisik apa yang salah dengan dirinya. Kemudian, sedetik setelahnya ia baru sadar jika tidak setiap orang bisa diperlakukan dengan sama. Lagi-lagi hanya karena Luna sudah mulai merasa akrab dengan Lukas, dirinya menjadi seenaknya tanpa batas dan menganggap Lukas seperti sahabat-sahabatnya saja. "Lukas, maaf," ucapnya lirih. "Nggak papa." Lukas terkekeh. Ia bisa memaklumi itu walau degup jantungnya semakin tidak beraturan. Lukas tidak pernah menampik jika saja ia mulai merasakan perasaan lebih dari sekadar teman kepada Luna karena memang dirinya tidak pernah memandang kepada siapa dirinya harus menjatuhkan hatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD