Luka Lukas

1125 Words
Luna sudah menunggu hampir tiga puluh menit berdiri di depan g**g. Ia sedang menanti kehadiran Lukas yang katanya akan datang kurang dari lima menit. Tetapi, ternyata Lukas berbohong. Waktu yang digunakan Luna untuk menunggu tidak cukup lima menit atau sepuluh menit. Bahkan setelah lewat setengah jam, laki-laki itu belum juga memunculkan batang hidungnya.  Ponsel Lukas dapat dihubungi ketika Luna menvoba menelponnya. Bahkan pesan whatsappnya pun centang dua. Tetapi, sejak tadi Lukas belum ada kabar juga.  Alih-alih kesal, justru Luna merasa khawatir terhadap laki-laki itu. Pikiran Luna memang suka kemana-mana, apalagi ketika ia sedang menunggu seseorang yang sedang dalam perjalanan. Luna sangat khawatir jika ternyata sesuatu yang buruk telah terjadi pada Lukas. Sebenarnya, ia tidak mau memikirkan hal tersebut. Tetapi entah mengapa hal itu terus saja menghantui pikiran Luna. Sejak tadi Luna masih belum berhenti untuk tidak lagi menghubungi Lukas. Mereka berdua memang tidak sedang terburu-buru, yang menandakan bahwa Lukas tidak perlu kebut-kebutan. Walau begitu, Luna tetap percaya bahwa ketika Lukas berkata bahwa dirinya ada segera berangkat dan sampai di g**g depan kost Luna sekitar lima menit, maka Luna akan tetap berharap bahwa Lukas juga ada datang dalam waktu lima menit itu. Namun, rupanya laki-laki itu tidak bisa dipegang perkataannya.  Walau isi otaknya sedang buruk, tetapi Luna juga tidak lepas dari tuduhan suudzon di mana dirinya menebak-nebak bahwa Lukas sedang makan bersama dengan teman-temannya, atau justru ia pilih untuk rebahan di kasurnya saja, walau sudah berkata pada Luna bahwa dirinya telah dalam perjalanan. Setelah hampir satu jam, Luna memutuskan untuk berbalik saja. Ia kembali saja ke kostnya dari pada menunggu sebuah ketidakpastian dari Lukas, toh hari juga semakin malam saja.  Ketika Luna baru beberapa langkah meninggalkan tempatnya berdiri tadi, sebuah knalpot motor yang dapat Luna tebak jenis motor yang memiliki suara tersebut, Luna langsung berhenti melangkah tepat ketika motor tersebut juga berhenti di belakangnya.  Luna sudah bersiap untuk mengomeli Lukas karena Lukas sudah sangat terlambat sekali sampai-sampai membuat dirinya emosi.  Perempuan itu berbalik, tatapannya tepat pada Lukas yang memakai helm yang menutupi seluruh wajahnya dengan motor gede berwarna merah. Lukas baru saja mematikan mesin motornya. Bahkan, ketika ia belum turun dari motornya, Luna sudah menghampiri dirinya dan mulai melontarkan segala omelan akibat kekesalan. "Lukas! Kamu kenapa baru datang? Tau nggak kita janjian jam berapa? Kenapa sih nggak ngabarin gitu? Kamu nggak niat ya!" Omelan Luna tidak berhenti. Bahkan ia tidak mempedulikan jika omelannya di dengar orang-orang yang lewat.  Sebelum menanggapi omelan dari Luna, Lukas memilih untuk melepaskan helmnya terlebih dahulu agar ia bisa lebih leluasa berbicara kepada Luna.  Namun, sesuatu dari punggung tangan Lukas berhasil menarik perhatiannya. Sebuah goresan luka baru yang cukup lebar menghiasi punggung tangan Lukas. Luna langsung membulatkan matanya dan menarik tangan Lukas untuk lebih intens memperhatikan luka tersebut.  "Ya ampun, Lukas! Tangan kamu luka!"  Luna berbalik menatap Lukas yang wajahnya masih datar-datar saja. Bahkan laki-laki itu sama sekali tidak memperlihatkan rasa sakit yang ia alami, padahal Luna sangat yakin jika luka yang ada di punggung tangan Lukas ini cukup nyeri dan perih.  Luna beralih menelusuri sisi kiri tubuh Lukas beserta motornya, karena ia menemukan luka itu di tangan kiri Lukas. Syukurlah tidak ada luka lain. Perempuan itu kembali menatap Lukas.  "Lukas, kamu kecelakaan?" tanyanya dengan khawatir. "Aduh ... ayo diobatin, Lukas! Tapi aku nggak ada apa-apa di kost, ayo kita ke kost Nisa!" serunya yang belum ditanggapi apa-apa.  "Lukas, ayo!" Luna sudah menarik tubuh Lukas agar turun dari motornya.  Lukas menurut saja. Ia turun dari motor gedenya. "Lun, gue nggak papa. Ini cuma luka kecil doang." "Luka kecil gundulmu! Nanti kalo infeksi gimana? Ayo, kita ke kost Nisa yang cuma di g**g sebelah. Jalan kaki aja." Tangan kiri Luna memegang tangan Lukas, sedangkan tangan kanannya ia lingkarkan pada pinggang laki-laki itu. Terlihat seperti Luna sedang menuntun Lukas untuk sampai di kost Nisa. Padahal, Lukas juga bisa jalan sendiri, hanya saja Luna terlalu khawatir dan ia tidak sadar dengan posisinya yang begitu dekat dengan Lukas. Sesampainya di depan kost Nisa, Luna baru menyadari hal itu. Cepat-cepat ia melepaskan tangan kanannya yang melingkar di pinggang Lukas.  "Eh Lukas, maaf!" ucapnya dengan canggung. Namun seperti biasanya Lukas tidak terlalu menanggapi. "Aku telfon Nisa dulu." Kemudian Luna mengambil ponsel di dalam tas selempangnya. Ia disibukkan dengan menunggu sambungan telepon Nisa, tetapi tidak ada jawaban juga setelah berkali-kali ia mencoba menelfon sahabatnya itu.  Kemudian Luna teringat sesuatu. Otomatis ia menepuk jidatnya sendiri. Sementara Lukas hanya bisa mengerutkan keningnya karena merasa sedikit aneh dengan perempuan yang ada di sebelahnya itu.  "Aku lupa kalo hari ini Nisa ada kegiatan organisasi di kampus."  "Udah lah, Lun. Nanti juga kering sendiri luka ini."  "Kering gimana, ini lukanya gede lho. Aku nggak mau ya sampai kamu infeksi! Bukannya doain yang jelek-jelek ya, Lukas, tapi kalo luka kayak gini ya harus segera diobati!" Luna kembali mengangkat tangan Lukas yang terluka. Ia mencoba meniupnya, membuat Lukas merintih. "Aw ...."  Sedetik kemudian ia menatap Lukas. "Perih, kan?" "Ya karena lo tiup, Lun." Luna tidak peduli. Ia kembali meniup luka tersebut dan mengusap dengan pelan di sekitar luka itu. Hebatnya, hal itu justru membuat rasa nyeri yang Lukas rasakan sedikir mereda. "Ini nggak perlu dijahit kan, Lukas?" tanyanya tanpa menatap laki-laki itu. "Ya Allah, Luna ...." Lukas seperti sudah lelah saja karena Luna yang terlalu berlebihan dalam lukanya. "Ini cuma kegores aspal, nggak perlu khawatir!" "Tapi sakit kan?" Lukas terdiam sejenak. Kemudian ia mengangguk pelan.  "Makanya ayo diobatin dulu!" Luna membawa Lukas berbalik. Ia terus menuntun Lukas sampai beberapa puluh meter, hingga akhirnya mereka berdua sampai di sebuah bangunan yang menunjukkan bahwa bangunan ini adalah sebuah kost putri.  "Kamu tunggu di sini dulu, Lukas." Luna menyibukkan diri dengan membuka pintu utama rumah kost ini. Setelahnya ia buka lebar-lebar pintu tersebut dan mempersilakan Lukas untuk masuk.  "Ayo, masuk."  Karena Lukas yang masih diam saja, ia kembali menarik tangan Lukas hingga masuk ke dalam rumah kost dan duduk di ruang tamu.  "Kamu tunggu di sini dulu ya. Aku mau tanya-tanya temen-temen di sini ada yang punya kassa sama obat merah apa enggak." Baru saja Lukas membuka mulutnya, tetapu Luna sudah berbalik dan mulai mengetuk satu persatu kamar kost yang ada di rumah ini.  Lukas hanya bisa mengembuskan napasnya samar. Baru kali ini ia menerima kekhawatiran dari orang lain atas luka kecil yang dialaminya. Bahkan, ketika sakit lambungnya kumat sampai ia tidak bisa datang ke kampus selama beberapa hari, tidak ada yang peduli padanya. Teman-teman nongkrongnya hanya sekadar menanyakan kabar apakah Lukas sudab bisa kembali nongkrong bersama mereka atau belum, tanpa bertanya bagaimana keadaannya.  Tetapi, bersama Luna yang baru beberapa hari saja mereka sedikit dekat, Lukas sudab bisa merasakan bagaimana pertemanan yang bukan hanya sekadar haha hihi dalam tawa, tetapi juga saling peduli dalam setiap luka.  Mendengar Luna yang sedikit gaduh ketika menanyakan pada teman-teman kostnya apakah mempunyai obat luka, membuat Lukas perlahan menyunggingkan senyumnya menatap Luna di sana. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD