Kata Sahabat Luna

1033 Words
Luna hanya bisa meringkuk di atas kasur sambil mendengarkan nasihat-nasihat dari Nisa dan Desi. Saat ini dirinya ada di kamar kost Desi, tempat biasa mereka berkumpul. Kamar kost Desi dipakai untuk basecamp mereka karena di sinilah ruangan yang paling besar di antara kamar Luna dan juga kamar Nisa. Bahkan, jika ketiganya tinggal di sini pun rasanya tidak sempit. Tiga tempat tidur bisa masuk ke dalam kamar ini. Bagaimana tidak, kamar Desi adalah kamar yang biasa sewanya juga paling mahal di antara biaya sewa kamar Luna dan Nisa. Beruntung sekali memiliki teman seperti Desi yang loyal dan setia kawan. Jadi, kapanpun mereka ingin menginap di sini sudah pasti akan selalu diizinkan dan Desi memang tidak pernah keberatan dengan kehadiran dua sahabatnya itu. Jadilah Luna dan Nisa sering main ke sini seperti sekarang ini. Luna sudah menceritakan semuanya pada kedua sahabatnya tersebut mengenai ujian hidup yang harus Luna lewati. Ya, satu kelompok atau satu tim dengan Lukas apalagi ide Lukas yang mengajaknya untuk ke Kota Solo adalah sebuah ujian hidup dari sanga semesta yang mau tidak mau harus ia selesaikan, tetapi untuk saat ini dirinya masih belum tahu bagaimana cara untuk menyelesaikannya. Makanya, Luna akan meminta saran dari dua sahabatnya itu. Namanya juga sahabat, apa saja pasti akan diceritakan yang penting bukan hal yang menyangkut dengan urusan pribadi dan bersifat privasi. "Gue nggak bisa bayangin kalo lo bakal diapa-apain sama Lukas," ucap Desi yang sejak tadi tidak lepas dari pikirannya yang overthinking. Bahkan, perempuan itu sampai merinding membayangkan apa yang akan Lukas dan Luna alami selama ada di luar kota. Walau Desi terlihat santai dengan rebahan sambil menatap langit-langit kamar, tetapi sejatinya Desi benar-benar memikirkan nasib Luna yang katanya akan pergi bersama Lukas ke Kota Solo. Sudah pasti yang tersebut bukanlah sesuatu yang masuk akal bagi Desi sekalipun alasannya adalah untuk mengerjakan tugas bersama yaitu tugas observasi. Nisa yang ada di depan Desi langsung melempar bantal tepat di wajah Desi, tetapi tidak sampai kena karena Desi sudah beringsut dari sana menjadi kembali merebahkan tubuhnya di samping Luna. "Lo mah jangan nakut-nakutin Luna dong, Des. Kita harusnya ngasih semangat buat Luna!" kata Nisa penuh dengan kalimat bijaknya. Nisa kemudian menoleh pada Luna yang masih cemberut saja, diam mendengarkan dua sahabatnya itu berceloteh. "Tapi lo udah izin sama orang tua lo apa belum, Lun?" tanya Nisa kemudian. Luna menggeleng, membuat dua sahabatnya mengembuskan napas pelan. Bagaimana bisa secepat itu Luna meminta izin atau menceritakan semuanya pada orang tuanya. Luna malah takut jika orang tuanya mengira dirinya selama ini bukanlah anak yang baik tetapi malah neko-neko di perantauan. Walau di sini Luna memiliki seseorang yang cukup menjaganya, tetapi tetap saja ia tetap harus menjaga kepercayaan orang tuanya pada dirinya. Toh, selama ini juga Luna tidak pernah neko-neko apalagi pergi ke tempat yang jauh dari kost. Luna semakin takut saja jika kedua orang tuanya tidak percaya pada dirinya. "Kok belum?" tanya Nisa lagi. "Kan yang utama itu izin orang tua, Lun. Kalo orang tua lo ngizinin, bismillah aja deh semua bakal lancar jaya." Nisa berucap dengan penuh percaya diri. Memang ucapan Nisa ada benarnya. Tetapi tetap saja Luna tidak siap untuk izin bahkan untuk pergi ke Kota Solo bersama dengan Lukas saja sampai sekarang Luna masih belum bisa membayangkannya. "Hilih, kayak merk bis aja lancar jaya," timpal Desi yang balik melempar boneka kecil tepat di kepala Nisa. Sementara Luna hanya diam saja melihat Nisa dan Desi yang malah berdebat dengan saling melepar tatapan kesal. "Nggak semua yang orang tua kita izinin, bakal berdampak baik buat kita. Kan takdir beda-beda." Desi masih saja tidak setuju jika Luna dan Lukas pergi ke luar kota bersama hanya untuk melakukan observasi. "Tapi lebih bahaya lagi kalo nggak izin orang tua!" Nisa menggebu-gebu. Desi kembali melempari Nisa dengan boneka kecil. “Ya maskdu gue, kalian berdua bisa deh cari cara lain dulu. Kalau emang masih nggak ketemu opsi sekolah lain, yaudah deh lo harus tetap izin sama orang tua lo dulu kalau mau pergi ke Kota Solo apalagi sama cowok. Bahaya!” Luna berembus keras-keras. Dirinya langsung terduduk dan mengacak rambutnya. "Aku bingung! Gimana caranya aku bilang sama mama papa kalo mau ke luar kota sama Lukas? Apalagi ini berdua doang kan, kalian pasti udah bisa ngebayangin gimana tanggapan orang tua gue nantinya!" katanya dengan nada frustrasi. "Yaelah, Lun. Kalian kan mau observasi, ngerjain tugas, dan emang kondisinya mendesak. Yaudah sih izin apa adanya aja," kata Nisa mengentengkan. “Pokonya yang penting izin dulu deh. Urusan diizinin atau enggak ya urusan nanti.” "Minta izin buat observasi bareng aja stressnya udah kayak minta izin buat nikah!" Desi berceletuk. Rupanya dirinya lelah juga jika harus memikirkan hal berat ini. Bukannya tidak ingin membantu Luna, tetapi permasalahan yang dialami Luna kali ini memang sedikit ribet yang melibatkan orang tua serta keselamatan Luna. Tetapi, bagaimana pun juga ia harus memberikan semangat untuk Luna. “Atau mau gue bantu bilangin ke orang tua lo?” ucap Nisa yang berniat untuk membantu Luna. Luna langsung menggeleng. “Nggak, gue bakal bilang sendiri aja. Kalau yang bilang lo, bisa-bisa orang tua gue makin curiga kenapa gue nggak bilang sendiri.” “Nah, itu tahu!” Desi ikut menyeletuk. “Tapi gue nggak tahu gimana cara bilangnya,” kata Luna yang kembali mengeluh. Ia masih benar-benar bingung. Suasana di kamar ini mendadak hening, hanya ada suara embusan angin yang terasa dari kipas angin. Yap satu kekurangan kamar Desi adalah tidak ada pendingin ruangan di kamar ini. Walau begitu, kamar ini tidak terlalu panas karena beruntung saja di rumah kost Desi terdapat taman yang penuh dengan bunga-bunga dan pohon rindang yang maat berjasa untuk mengurangi hawa panas di siang hari seperti ini. “Kalau sampai lo nggak dapat izin dari orang tua lo, artinya lo nggak bisa datang ke Kota Solo dan otomatis lo nggak bisa ikut observasi dan ngerjain tugas dan yang pasti lagi lo nggak lulus mata kuliah ini.” Ucapan Desi berhasil membuat Luna dan Nisa membulatkan kedua matanya. Seperti tadi, Nisa langsung melempari Desi dengan apapun yang bisa ia lempar dan mengenai Desi. Sementara Luna sadar betul dengan ucapan Desi yang ada benarnya. Ia hanya masih memilih diam, tetapi di dalam pikirannya masih terus memikirkan bagaimana caranya untuk meminta izin kepada orang tua tanpa rasa curiga pada dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD