Luna Membuat Lukas Menunggu

1065 Words
Sudah hampir pukul tujuh dan Luna masih sibuk mengunci pintu kamarnya yang sedikit susah karena kunci tua itu sering kali macet. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya berhasil juga. Perempuan itu langsung melesat menuruni tangga karena sedari tadi sudah ada ketukan pintu di depan yang selaras dengan ponselnya yang bergetar. Sebelum membuka pintu depan, ia menyempatkan diri untuk mengatur napasnya yang berantakan akibat terburu-buru terlebih dahulu. Setelahnya, barulah ia membuka pintu dan muncul di balik pintu tersebut seorang laki-laki tinggi berkaus hitam dengan topi warna senada dengan kausnya. Laki-laki itu akhirnya bernapas lega ketika melihat Luna sudah siap dengan semuanya. "Ya Allah, Lun. Gue kira lo masih tidur. Dari tadi ditelpon nggak dijawab. Buka pintu juga lama," kata Lukas yang mengomel di sana karena Luna pada hari ini sama sekali belum memberinya kabar. "Setidaknya lo jawab telfon gue atau bales chat gue. Jadinya gue nggak khawatir," lanjutnya yang langsung mengambil alih koper Luna di tangannya. "Yah, Lukas jangan marah. Aku tadi juga buru-buru." Terdapat nada dan ekspresi kekesalan di wajah perempuan itu. "Aku sampai nggak sempet jawab telepon kamu. Soalnya pas kamu ketuk-ketuk pintu, akunya masih tidur. Dan pas banget di bawah lagi nggak ada orang, mereka pada jalan-jalan ke pasar beli sayuran." Lukas yang memiliki mata bulat dan lebar itu sampai harus melebarkan bola matanya ketika mendengar penuturan dari Luna. Ia tidak menyangka dengan jawaban Luna dan memang terdengar jujur, namun tetap saja sangat sulit dipercaya bahwa ketika Lukas sudah sampai di sini rupanya Luna masih tertidur. Beruntung tidak terlalu lama waktu yang dihabiskan Lukas untuk menunggu dibukakan pintu oleh perempuan itu. Walau hampir satu jam, tetapi tidak apa. Itulah yang dikatakan oleh perasaan Lukas. Dirinya sama sekali tidak merasa sebal walau dalam kurun waktu satu jam tersebut dirinya cukup khawatir dan bimbang, takut jika saja Luna memang belum siap untuk semuanya. Tetapi, kebimbangannya membuahkan hasil yang cukup oke. Saat ini Luna sudah berada di depannya, siap dengan satu koper dan tas selempang kecil yang terkalung dalam tubuhnya. "Lukas, kita nggak bakal ketinggalan bus kan?" tanya Luna takut-takut. Ia sangat merasa bersalah karena bisa-bisanya ia tertidur setelah subuh padahal ia akan melakukan perjalanan jauh pagi ini. Lukas tidak memberikan Luna jawaban. Ia hanya diam tanpa ekspresi yang menunjukkan bahwa mereka bakal ketinggalan bus atau tidak. "Lukas, maafin aku. Kalo kita ketinggalan bus, kita bisa cari bus lain kan? Bus jurusan Solo masih banyak kan" Luna menatap Lukas dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Ditambah ia perlu mendongak karena tinggi mereka yang terpaut jauh. "Lukas, jangan marah." Kali ini kedua tangan Luna menggenggam lengan Lukas. Ia menggoyangkan tubuh Lukas supaya memberinya jawaban. Ia takut, jika Lukas diam seperti ini sama saja Lukas sedang marah kepada dirinya. Kemudian Luna baru menyadari satu hal. Ia memperhatikan pakaian yang dipakai Lukas. Hanya ada kaus oblong dengan celana selutut. Luna pikir Lukas tidak akan menggunakan pakaian rumahan untuk pergi ke Solo dengan bus, ditambah tidak ada ransel atau koper yang dibawa Lukas. Ia semakin khawatir saja karena ia menduga jika Lukas sudah berada di depan rumah kostnya sedari tadi, lalu karena Luma yang sangat lama membukakan pintu kemudian Lukas pulang ke rumahnya untuk berganti baju. Kemudian, Lukas kembali ke sini lagi untuk mengatakan bahwa Lukas telah membatalkan semuanya. Luna melepaskan genggamannya pada kedua lengan Lukas. Ia mundur beberapa langkah dan menundukkan kepalanya. "Lukas, maaf. Kalau kita nggak jadi berangkat ke Solo, nggak papa. Aku bakal berusaha lagi buat cari sekolah di sini," ucapnya dengan nada yang bergetar. Sementara Lukas, ketika mendengar hal tersebut, mati-matian ia menahan tawanya. Ia sama sekali tidak marah. Lukas bukan tipe manusia yang gampang marah hanya karena hal sepele seperti ini. Tetapi, Lukas cukup memiliki jiwa jahil. Dirinya tidak segan-segan memberikan Luna pelajaran karena telah membuatnya khawatir. Lukas masih dalam pendiriannya, yaitu membuat Luna sampai benar-benar menyesal karena tidak menjawab teleponnya dan juga cukup lama membuatnya menunggu hingga sudah lewat jam di mana mereka janjian semalam. "Ngg ... aku mau balikin koper dulu. Terus langsung ke kampus buat minta surat lagi." Luna sudah mengambil alih kopernya. Ia berbalik dan menyeret koper itu. Luna tidak perlu mengembalikan kopernya ke dalam kamar. Ia cukup meletakkan di samping sofa ruang tamu ini. Kemudian ia kembali keluar menemui Lukas. Ia menatap laki-laki itu masih dengan ekspresi penyesalan. Ia kecewa pada dirinya sendiri. Bahkan rasa lapar yang menggerogoti perutnya tidak ia hiraukan. Padahal, Luna bisa saja mual-mual jika pada pagi hari perutnya kosong. "Kamu boleh pulang. Aku yang bakal ngurus semuanya sendiri, Lukas. Aku udah nggak ngehargain kamu padahal kamu udah nyariin sekolah buat kita observasi." Luna berbalik menutup pintu dan menguncinya. "Pulang aja nggak papa, aku duluan ya," pamitnya sebelum akhirnya meninggalkan Lukas di sana. Luna sudah berjalan menyusuri g**g-g**g kecil di permukiman kostnya untuk menuju kampus. Setelah Luna tidak ada di hadapannya, Lukas menyempatkan diri untuk terkekeh. Ia tidak menyangkan bahwa Luna semenggemaskan ini. Kemudian, cepat-cepat ia berbalik dan menyusul Luna sebelum perempuan itu berjalan lebih jauh hingga Lukas kehilangan jejaknya, karena memang Lukas tidak hafal jalanan g**g-g**g di tempat ini. Beruntung, punggung Luna masih terlihat oleh dirinya. Langkah Luna sangat pelan dan dari punggungnya terlihat sekali bergetar beberapa kali. Lukas jadi khawatir. Ia tidak mau jika sampai Luna menangis karena dirinya. Ia mempercepat langkahnya. "Luna!" panggilnya, tetapi tidak membuat perempuan itu berhenti. Setelah dapat mensejajarkan langkah dengan Luna, benar saja, rupanya Luna sedang sibuk menghapus air matanya. "Luna, lo nangis?" tanya Lukas yang menahan tangan Luna hingga perempuan itu berhenti melangkah. Luna membuang muka dan masih berusaha mengatur air mata dan juga isakannya. Ia tidak mau menatap Lukas atau dirinya akan semakin merasa bersalah. "Ya Allah, Luna. Jangan nangis, heiiii!" kata Lukas yang masih berusaha agar perempuan itu menatapnya. Tetapi, semakin dirinya ingin menatap Luna, semakin Luna membuang muka. "Kamu pulang aja, Lukas. Biar aku yang ngurusin. Jangan marah lagi," kata Luna dengan suaranya yang bergetar. Bahkan Luna sudah menyerah untuk menyembunyikan tangisannya. Rasanya Lukas benar-benar ikut menyesal juga karena sudah membuat Luna sampai menangis seperti ini. Lukas tidak pernah tahu jika hati Luna cukup rapuh walau tidak ada ucapan kasar atau dengan nada yang tinggi yang ia lontarkan pada Luna. Saat ini Lukas jadi bingung. Ia tidak pernah membuat perempuan menangis karenanya. Kali ini, pertama kali ia membuat perempuan menangis dan itu adalah Luna. Yang membuat Lukas semakin merasa bersalah adalah karen Luna adalah perempuan yang baru saja akrab dengannya. Luna tidak membuat kesalahan yang berarti. Hanya saja ego Lukas yang ingin memberikan pelajaran justru membuat Luna kesakitan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD