Luna dan Rasa Laparnya

1379 Words
Malam hari, sekitar pukul sepuluh akhirnya Lukas keluar dari kamarnya untuk mengecek kamar Luna. Memang, tadi samar-samar Lukas dapat mendengar bahwa ibunya membawa Luna untuk tidur di kamar sebelah. Tetapi, baru saja Lukas akan memastikan Luna berada di dalam kamar, perempuan itu sudah membuka pintu kamarnya saja ketika Lukas tepat berdiri di hadapannya. Lukas cukup terkejut, tetapi tidak dengan Luna. Perempuan itu hanya memberi Lukas tatapan datar. "Apa?" tanya Luna dengan suara datarnya. "Lun ...." ucap Lukas dengan napas panjang. Luna sudah melipat tangannya di depan d**a, lalu ia berjalan begitu saja melewati Lukas yang ada di hadapannya. Sebelum berbalik, Lukas mengembuskan napasnya panjang. "Luna, kamu marah?" tanya Lukas yang sudah berdiri di samping Luna. Luna mengangguk, karena memang benar dirinya sedang marah pada Lukas. "Maafin aku, Lun." Luna bergeser menghadap Lukas. "Lukas, aku itu tamu kamu lho. Masa ada tamu yang datang dari jauh, tapi kamu malah masuk ke dalam kamar. Harusnya kamu sambut tamu kamu dengan baik." "Tapi kamu kan ke sininya bareng sama aku, masa iya aku yang kudu nyambut?" Luna berdecak sebal. "Maksud aku, kamu harusnya nemenin aku dulu. Nggak ujug-ujug malah ninggalin aku dan di dalam kamar mulu dari tadi, Lukas."  "Ya maafin aku ya, Lun. Aku capek banget soalnya." Lukas berkata apa adanya. Dirinya memang benar-benar lelah setelah menyetir dalam perjalanan panjang dari Malang ke Solo. Luna baru menyadari hal tersebut. Sudah tidak perlu ditanyakan lagi jika Lukas memang lelah. Tetapi, tetap saja Luna sebal dengan dirinya yang tiba-tiba menghilang di balik pintu kamar. "Sekarang masih capek?" tanya Luna. Lukas menggeleng memberitahu bahwa dirinya sudah cukup beristirahat tidur sekitar dua jam di dalam kamar. "Kamu sendiri capek nggak?" Ia bertanya balik pada Luna yang di wajahnya sama sekali tidak memancarkan semburat lelah. "Kamu jangan masuk kamar dulu ya, temenin aku di sini," kata Luna yang cukup membuat Lukas bertanya-tanya dengan maksudnya. Luna menurunkan wajahnya. Ia menunduk sejenak kemudian menatap Lukas dengan sorot mata yang cukup sayu. "Aku nggak bisa tidur, Lukas." "Kenapa, Lun? Kamu nggak nyaman sama kamarnya?" Luna menggeleng. "Bukan gitu, aku nggak bisa tidur aja kayak pikiran aku kosong. Aku butuh ngobrol sama orang biar nggak ngelamun sendirian." Lukas menarik tangan Luna dan membawanya duduk di sofa. "Yaudah, ayo ngobrol." Mereka berdua sudah duduk di sofa dengan jam di dinding yang sudah menunjukkan hampir pukul sebelas malam. "Makasih ya, Lukas. Udah mau ngobrol sama aku," kata Luna. Perempuan itu sudah menyandarkan kepalanya saja di bahu Lukas. Beruntung Lukas tidak pernah masalah dengan hal itu. "Aku nggak tau kenapa, tapi di hati aku kayak ada sesuatu yang ganjel." Sebenarnya, arah pembicaraan Luna mengarah pada pertanyaan tersirat tentang sikap Lukas yang dingin pada ibunya. Memang bisa saja Lukas bersikap seperti itu karena ia sedang lelah. Tetapi, yang namanya anak dengan ibu tidak akan tidak saling sapa jika memang tidak sedang ada masalah. Bukannnya Luna ingin ikut campur dengan kehidupan Lukas, hanya saja Luna ikut sakit hati ketika Lukas tidak bersikap baik pada ibunya. "Kenapa, Lun? Cerita aja, siapa tau aku bisa bantu." "Lukas ...." Luna mengangkat kepalanya, sedikit mendongak agar bisa menatap mata Lukas. "Hm?" "Aku ... aku lapar." -- Tengah malam begini Lukas rela menemani Luna memanaskan makanan buatan ibu Lukas yang sudah di simpan di dalam kulkas. Lukas tidak menyangka jika teman perempuannya itu kelaparan padahal sekitar dua sampai tiga jam yang lalu mereka baru saja makan bebek goreng di warung lesehan. Sebenarnya Lukas malas sekali menyentuh makanan buatan ibunya. Tetapi karena Luna yang mengeluh lapar, ia terpaksa harus juga menikmati makanan itu. Sudah lama rasanya Lukas tidak makan makanan ibunya dan ini akan menjadi kali pertama sejak beberapa tahun yang lalu. Di hadapan Luna dan Lukas sudah tersaji makanan buatan ibunya yang mereka panaskan walau tidak semua. Ada telur dan daging balado, ada tumis buncis, dan tidak lupa acarnya. Mata Luna sudah berbinar saja menatap makanan yang tersaji, sedangkan Lukas hanya tersenyum dan ikut merasa senang juga jika memang Luna juga merasa senang. Lukas tidak tahu pasti perasaan apa yang ia rasakan setiap bersama dengan Luna. Jika Luna merasa sedih, Lukas akan ikut sedih. Jika Luna merasa senang, hati Lukas ikut bergembira juga. Lalu jika Luna marah padanya, ia akan berusaha agar Luna mau memaafkannya. Lukas rasa perasaannya pada Luna bukan lah sebuah perasaan suka atau cinta. Tetapi, seperti sebuah rasa yang tidak ingin kehilangan. Baru bersama Luna, Lukas bisa merasakan bahagian yang sesungguhnya. Ia bisa tertawa tanpa harus memaksakan hatinya tau berpura-pura tertawa ketika tidak ada hal yang lucu seperti bersama dengan teman-teman nongkrongnya di kampus. Lukas rasa, Luna adalah sahabatnya, yang paling pengertian kepadanya. Terbukti ketika tangan Lukas terluka, dirinya lah yang paling khawatir sampai mengobati luka itu, bahkan Luna sampai harus mengetuk satu per satu pintu kamar tetangga kostnya hanya untuk meminta peralatan  untuk mengobati luka Lukas. "Ah, Lukas. Luka kamu belum diganti perbannya." Baru saja Lukas memikirkan tentang betapa perhatiannya Luna padanya, kini Luna sudah memperhatikan lukanya yang belum diganti perban. Padahal, Luna dan Lukas sendiri sedang berada di meja makan dan siap untuk makan. "Nanti habis makan, kita ganti perbannya ya," kata Luna yang dihadiahi anggukan oleh Lukas. "Kamu harus makan juga ya, Lukas!" perintah Luna yang sudah mengambil dua centong nasi dalam satu piring. "Luna, kamu yakin makan sebanyak itu?" tanya Lukas pada Luna. Di piring Luna kini sudah penuh dengan lauk. Lalu tiba-tiba Luna menaruh piring itu di depan Lukas dengan senyumnya yang mengembang. "Ini buat kamu, Lukas." "Lun, aku kenyang." Lukas bohong. Dirinya tidak kenyang saat ini. Bahkan perutnya ikut lapar karena aroma masakan yang cukup menggoda. Tetapi, ia tidak memiliki gairah nafsu makan karena tahu bahwa masakan ini adalah masakan ibunya. "Aku tau kalo kamu lapar, Lukas." Luna tidak peduli. Pokoknya Lukas harus menghabiskan makanan yang telah ia ambilkan. "Harus habis ya, Lukas!" "Luna, stop!" celetuk Lukas ketika Luna hendak mengambil nasi untuk dirinya sendiri. "Apa?" "Kita makan sepiring berdua aja, Lun. Dari pada aku nggak habis, nanti mubadzir." Ide Lukas ada-ada saja. Luna hanya bisa geleng-geleng kepala walau akhirnya dirinya meletakkan kembali piring yang masih bersih itu. Ia duduk di samping Lukas untuk makan sepiring berdua bersama dengan laki-laki itu. "Nah, gitu dong, Lun. Kamu itu mau bikin aku gendut ya ngambilin nasi banyak-banyak buat aku?" kata Lukas sebal. Namun semenjak mengubah sapaannya pada Luna, dirinya merasa jika perkataan yang keluar dari mulutnya terdengar halus. "Berdoa dulu, Lukas." Keduanya menengadahkan tangan dan berdoa dalam hati bersama-sama. "Aamiin." Baru saja selesai berdoa, belum juga Luna menyendokkan makanan ke dalam mulutnya. Tetapi Lukas sudah mulai sendokan ke dua. Padahal, Lukas berkata bahwa dirinya tidak lapar. Luna tersenyum melihat Lukas yang sangat lahap sekali makan. Jika seperti ini, melihat Lukas makan dengan lahap sudah membuatnya merasa kenyang. Beberapa saat kemudian, Lukas baru menyadari bahwa sedari tadi dirinya asyik mengunyah makanan sampai ia tidak menyadari bahwa Luna hanya memperhatikan dirinya saja bahkan belum ada makanan yang masuk ke dalam mulut Luna.  "Luna, ayo makan," kata Lukas dengan mulutnya yang penuh makanan. Luna terkekeh. "Telan dulu makanannya, baru kamu ngomong, Lukas." Dirinya juga mengakhiri perkataannya dengan kekehan. Perlahan Lukas menelan makanannya. Lalu ia menyeruput es jeruk yang tadi sempat ia buat bersama dengan Luna. "Katanya nggak lapar, tapi kamu hampir ngabisin sepiring, Lukas." Luna masih terkekeh saja. Sementara Lukas, dirinya tidak mau berpikir kemana-mana. Ia menyendok satu suap nasi dengan sendok Luna yang masih bersih dan menyuapkan ke mulut Luna. "A ...." "Jangan banyak-banyak, Lukas! Mulut aku nggak muat!" Luna menyempatkan menggeplak lengan Lukas. Tetapi Lukas hanya terkekeh saja. Setelah Lukas mengurangi satu sendok suapan tersebut, ia kembali mengarahkan pada Luna. "A ...." Luna menerima suapan itu. Hanya butuh beberapa detik untuknya menelan, mata perempuan itu berbinar karena merasa masakan ibu Lukas sangat luar biasa rasanya. "Ng ... enak banget masakan ibu kamu!" kata Luna dengan sisa-sisa kunyahannya. "Kalo mulut masih ada makanannya, jangan ngomong, Luna." Luna hanya memutar bola matanya tidak mau banyak menanggapi. Selanjutnya, dengan mandiri Luna menyendok makanan tersebut dengan kedua tangannya dan tidak lagi menunggu Lukas untuk menyuapi. Malam ini keduanya berhasil memakan masakan ibu Lukas dan hampir menghabiskan semuanya. Itu semua berkat Luna yang awalnya hanya berpura-pura lapar, tetapi karena masakan ibu Lukas sangat enak jadi perempuan itu mampu menghabiskan banyak. Begitu pula dengan Lukas, kalau tidak karena Luna, ia tidak akan memakan masakan buatan ibunya. Lukas ingin berterima kasih kepada Luna. Sebenarnya ia juga sangat rindu dengan masakan ibunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD