Pesta Bantal

2102 Words
Setelah membereskan semuanya, akhirnya rasa kantuk mereka berdua tidak kunjung datang dan mereka berdua tidak bisa tidur walau sudah lebih dari pukul dua belas tengah malam. Padahal, besok pagi-pagi sekali Luna dan Lukas harus pergi ke sekolah untuk melakukan observasi. Kini keduanya malah duduk di balkon lantai dua rumah Lukas. Padahal angin yang berembus cukup kencang. Walau udara di Kota Solo cukup gerah untuk malam ini, tetapi tetap saja angin malam bisa membuat siapa saja kembung dan masuk angin apalagi sudah lewat tengah malam seperti ini. "Ayo masuk, Lun." Lukas sadar jika hari ini sudah terlalu larut untuk mengobrol bersama Luna apalagi mereka berdua mengobrol di luar. Luna masih saja menatap langit yang kebetulan sekali bintang-bintang nampak menghiasi temaramnya malam. Hal ini pertanda bahwa sudah memasuki musim kemarau di mana langit cukup cerah dan memang rumah Lukas sedikit jauh dari pusat Kota Solo dan memang merupakan perumahan yang jauh dari hiruk pikuk ramainya gedung-gedung atau jalan raya. "Luna, ayo. Nanti masuk angin." Lukas sudah menarik tangan Luna saja, tetapi perempuan itu berhasil menepisnya. "Sebentar dulu, Lukas. Langitnya cantik." Lukas mengembuskan napasnya. "Tapi udah malam, Lun. Besok kita harus ke sekolah pagi-pagi lho." Luna sempat mencebikkan bibirnya sebelum akhirnya ia berdiri dan masuk bersama-sama ke dalam rumah bersama dengan Lukas. "Masih ada besok malam buat lihat bintang, Lun," kata Lukas yang mengacak puncak rambut Luna ketika melihat wajah Luna yang sepertinya kecewa karena ia ajak masuk.  "Tapi belum tentu besok malam cuacanya cerah kayak malam ini, Lukas." Luna masih saja ingin melihat bintang. "Lho, kok malah duduk di sini? Masuk kamar," perintah Lukas ketika Luna malah duduk di sofa, bukannya masuk kamar untuk segera tidur. "Lukas, gimana kalo malam ini kita pesta bantal!" Luna berdiri seketika saat sebuah ide muncul di otaknya. Ekspresinya sangat antusias menunggu jawaban dari Lukas. Sementara Lukas, laki-laki itu hanya mengangkat sebelah alisnya karena tidak paham dengan apa yang dikatakan Luna. Menunggu jawaban Lukas yang cukup lama, sepertinya Luna paham jika Lukas tidak mengerti apa itu pesta bantal. Luna menarik napasnya panjang-panjang sebelum menjelaskan pada Lukas tentang apa yang dimaksudnya. "Jadi, Lukas ... pesta bantal itu artinya kita tidur bareng-" "Lun, mana bisa?" Lukas sudah memotong saja padahal Luna baru mulai menjelaskan. Perempuan itu memutar bola mata dan mengembuskan napasnya. "Dengerin dulu, Lukas." "Oke, aku dengerin. Tapi jangan aneh-aneh!" "Iya." Kini Luna meminta Lukas untuk duduk. Dirinya juga ikut duduk di samping Lukas supaya lebih mudah untuk menjelaskan. "Jadi, Lukas ... pesta bantal itu nanti emang bener kita tidur bareng. Tapi bukan di kamar." "Terus di mana?" tanya Lukas yang lagi-lagi memotong penjelasan Luna. "Kalau ada orang yang ngejelasin teh didengerin dulu sampai selesai, Lukas." "Iya, maaf." "Nah, kamu punya kasur lantai nggak?" tanya Luna. Lukas mengangguk. "Ada. Kasur lantai biasanya di taruh di kamar bawah, Lun." Luna mengangkat dua jempolnya. "Mantap, Lukas." "Apanya?" tanya Lukas dengan kebingungannya. Sedangkan Luna, perempuan itu masih menyimpan banyak kesabaran untuk menjelaskan pada Lukas walau sedari tadi laki-laki itu hobi sekali memotong penjelasannya demi dapat menikmati cuaca malam yang penuh dengan taburan bintang. "Jadi, Lukas, nanti kita ambil kasur lantai itu ke sini. Kita juga ambil bantal, selimut, sama guling. Setelah itu kita tidurnya di balkon sambil lihat langit!" Usai menjelaskan, Luna mengakhiri perkataannya dengan senyum lebar. Sedangkan Lukas tidak ada ekspresi lain selain wajahnya yang datar namun sebenarnya ia sedang mempertimbangkan ide Luna. "Jangan, Lun. Dingin." Akhirnya Lukas menolak ajakan Luna untuk pesta bantal di balkon. Luna langsung mengerucutkan bibirnya dan menautkan kedua alisnya saja. Susah-susah ia menjelaskan pada Lukas, tetapi akhirnya malah tidak ada persetujuan dari laki-laki itu. "Lukas, kan pakai selimut." Luna masih mencari alasan. "Tetap aja dingin, Lun. Kamu tau nggak kalau musim kemarau itu cuaca malam bakal lebih dingin apalagi kalau udah lewat tengah malam?" Luna mengangguk sangat paham. "Makanya pakai selimut, kalau perlu ya dobel selimutnya!" Lukas memejamkan matanya dan menggeleng, pertanda ia masih tidak mau menyetujui ide Luna. "Ayolah, Lukas." Kini Luna memohon. Bibirnya melengkung ke bawah menunjukkan ekspresi sedih. Lalu ketika Lukas menatap matanya, perempuan itu berusaha memancarkan binar yang bisa membuat Lukas luluh. "Sampai subuh doang, Lukas," kata Luna lagi dengan ekspresi yang sama. "Yaiyalah, Lun, sampai subuh. Masa iya sampai tahun depan." Luna mulai jengah. Ia memutar bola mata dan langsung meninggalkan Lukas untuk masuk ke dalam kamar tanpa berkata apa-apa, meninggalkan Lukas yang nampak bingung sekaligus takut jika Luna marah hanya karena hal ini. Sebenarnya Lukas bisa paham mengapa Luna sangat ingin pesta bantal untuk malam ini. Yang pertama karena memang langit sedang cerah dengan jutaan bintangnya yang mungkin tidak bisa mereka temui lagi esok hari dan yang kedua adalah mumpung saat ini di rumah Lukas ada balkon yang bisa mereka manfaatkan untuk mengadakan pesta bantal, karena tidak mungkin untuk mengadakan pesta bantal di kost karena rumah kost Luna tidak memiliki balkon. Lukas berjalan masuk ke dalam kamar Luna yang memang pintunya tidak dikunci. Ia bisa melihat bahwa Luna sudah berbaring di sana dengan tubuhnya yang ditutupi dengan selimut. "Yaudah deh, Lun. Aku ambilin kasur lantainya dulu ya," kata Lukas kemudian yang langsung keluar dari kamar Luna. Lukas langsung turun ke lantai satu untuk mengambil kasur lantai. Sementara Luna, ketika ia tidak lagi mendengar suara langkah kaki Lukas, ia langsung bangun dan wajahnya sudah berubah cerah saja. Ia langsung menyiapkan selimut dan bantal yang ia taruh ke sofa. Kemudian ia karena Lukas yang tidak kunjung kembali, membuat Luna penasaran sebenarnya seberat apa kasur lantai di rumah ini sampai-sampai Lukas lama sekali mengambilnya. Ia memutuskan untuk turun ke bawah untuk mengetahui sebenarnya sedang apa Lukas sekarang. Setelah ia sampai di bawah, ia bisa melihat Lukas yang sedang berpelukan dengan seorang pria paro baya. Sepertinya pria tersebut adalah ayah dari Lukas, bisa terlihat dari eratnya pelukan mereka dan juga terlihat sekali Lukas sedang melepas rindu. "Lukas kangen sama Bapak," katanya sambil melepas pelukan itu. Sementara ayah Lukas akhirnya menyadaru keberadaan Luna dan Luna hanya tersenyum kikuk saja. "Hallo, Om," kata Luna canggung. Lukas memutar badannya dan melihat Luna yang sudah ada di sana. "Ah, Pak, dia temannya Lukas yang besok mau observasi bareng ke sekolah," kata Lukas memperkenalkan Luna. Luna berjalan mendekat dan langsung menyalami tangan ayah Lukas. "Luna, Om." "Kalian berdua sampai jam berapa?" tanya Ayah Lukas berbasa-basi. Setelah kurang lebih setengah jam berbasa-basi dengan ayah Lukas, akhirnya mereka berdua bisa membawa kasur lantai tersebut ke lantai atas. Kini kasur tersebut sudah berada di balkon, lengkap dengan bantal dan selimut yang sudah disiapkan. Tidak lupa, Lukas membawa pemanas yang kebetulan ada di rumah ini, untuk berjaga-jaga jika malam terlalu dingin. Mereka berdua sudah berbaring di atas kasur lantai, dengan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya guna menangkal udara malam yang semakin dingin, dan tidak lupa penglihatan mereka dimanjakan oleh kelap-kelip bintang yang bertaburan. "Lukas, ayah kamu baru pulang kerja ya jam segini?" tanya Luna yang penasaran. Walau ia tahu jika pertanyaan tersebut merupakan hal pribadi, tetapi Luna terlanjut bertanya dan tidak dapat ditarik lagi. "Bapak itu salah satu pejabat daerah, dia emang sering rapat sampai larut malam bahkan sampai subuh," kata Lukas menjelaskan. Selanjutnya Luna hanya mengangguk saja dan mengalihkan obrolan ke hal lainnya. "Bintangnya cantik, Lukas," kata Luna yang penglihatannya tidak bosan juga menatap langit. Sedangkan Lukas, ia menatap Luna yang berbaring di sampingnya yang pasti tanpa perempuan itu sadari. "Kamu bisa baca rasi bintang nggak?" Luna menoleh, langsung saja Lukas yang sedari tadi memandang Luna, mengalihkan pandangannya ke arah langit. "Nggak bisa, Lun," jawab Lukas singkat. "Sama dong, aku juga nggak bisa." Kemudian Luna terkekeh hingga hening kembali menyapa. Sudah hampir pukul dua malam, tetapi keduanya masih asyik memandang langit. Benar-benar Luna tidak pernah bosan dan tidak mengalihkan pandangannya selama hampir satu jam ini. Walau begitu, dalam otak Luna selalu memikirkan mengenai Lukas dan keluarganya. Luna tahu jika ia terlalu lancang untuk menebak-nebak hubungan antara Lukas dan kedua orang tuanya. Tetapi, mau bagaimana lagi, hal tersebutlah yang hadir untuk memenuhi pikiran Luna. "Lukas, kamu anak tunggal ya?" tanya Luna tiba-tiba. "Kepo kamu, Lun." "Bukannya gitu, Lukas. Soalnya dari tadi aku nggak liat ada kakak atau adik kamu," kata Luna yang juga merasa di rumah sebesar ini ia tidak berjumpa dengan orang lain selain ibu dan ayah Lukas. "Iya, aku anak tunggal dari mama sama bapak," jawab Lukas. "Pantes aja, Lukas." "Pantes apa, Lun?" "Harta, tahta, anak tunggal kaya raya," kata Luna yang membuat Lukas langsung menoleh kepada Luna. "Ditambah ganteng. Pantes kamu disukai banyak cewek walau kamu dingin gitu di kampus." Lukas hanya tersenyum kecut. "Ada satu lagi, Lun." Kini Luna yang menoleh pada Lukas. "Harta, tahta, anak tunggal kaya raya, tapi nggak ada temannya." Kemudian Lukas terkekeh menyadari nasibnya yang memang tidak mempunyai banyak teman. Rasanya Luna tidak setuju dengan poin terakhir. "Yang sering nongkrong sama kamu itu kalo bukan teman, apa namanya, Lukas?" tanya Luna terheran-heran. Lukas kembali menatap langit yang semakin malam semakin bersinar saja bintangnya. "Mereka nggak bisa dibilang teman, Lun. Mereka cuma ada kalo pas lagi nongkrong doang. Nggak pernah aku ngobrol banyak sama mereka." Mendengar hal itu membuat Luna cukup prihatin. Seharusnya dengan wajah Lukas yang tampan dan dengan hobinya nongkrong bersama banyak orang, seharusnya Lukas juga memiliki banyak teman. Tetapi sepertinya definisi teman menurut Lukas bukan hanya sekadar saling kenal dan saling mengobrol saja. Ada definisi lain yang mungkin seperti harus saling mengerti. Luna tidak tahu pasti, yang pasti ia baru tahu jika selama ini Lukas merasa tidak memiliki teman. "Kok diem? Aku nggak semenyedihkan itu, Luna." Lukas terkekeh di akhir ucapannya. "Eh ...." Luna pun terkejut karena baru saja memang dirinya membayangkan bagaimana menjadi Lukas yang ternyata tidak memiliki banyak teman atau bahkan tidak memiliki barang satu teman yang benar-benar bisa dianggap sebagai teman. "Lukas mau nggak temenan sama kami?" "Kami?" Luna mengangguk. "Aku, Nisa, sama Desi," kata Luna dengan nekat padahal dirinya sama sekali belum membicarakan hal ini pada Nisa dan Desi. Toh tidak peduli juga mereka, karena memang mereka tidak pandang bulu untuk berteman dengan siapapun asalkan temannya itu normal dan tidak neko-neko. "Terserah kamu aja deh, Lun. Temenan sama kamu aja aku udah senang." Luna tersenyum pada Lukas. "Makasih ya, Lukas." "Makasih buat apa, Lun?" tanya Lukas. Semakin ke sini, Luna itu semakin terlihat polos dan apa adanya saja. Perempuan itu sangat sering meminta maaf dan berterima kasih, walau Luna juga sempat menyebalkan karena semudah itu ia untuk marah, walau tidak perlu menunggu waktu lama untuk kembali baik. "Makasih kalo kamu udah mau jadi teman aku." "Harusnya aku yang makasih sama kamu, Lun. Kamu masih mau sama-sama sama aku sampai sekarang walau kamu tau reputasi aku di kampus itu cukup buruk." "Kamu sih, sering banget bolos. Pernah dapet E?" tanya Luna pada laki-laki itu yang sangat sering sekali membolos. "Ya gimana, Lun. Aku bolos bukan berarti aku males masuk kelas. Tapi memang akunya aja yang waktu itu lagi kambuh." "Kamu sakit apa?" Luna langsung bertanya dengan matanya yang bulat. "Aku belum pernah cerita ya? Aku ada asma sama maag yang cukup kronis. Tapi cuma kambuh kalo kecapekan aja sih." Luna semakin membulatkan matanya saja. "Ya ampun, Lukas kenapa nggak bilang? Tau gitu kita tadi naik bus aja ke sininya. Pasti kamu capek banget ya sekarang?" Luna sudah beralih dari berbaring menjadi duduk. Dengan Lukas yang masih berbaring, ia menempelkan punggung tangannya di dahi Lukas. Lukas pun terkekeh. "Luna, aku itu punya asma sama maag kronis. Bukannya demam." Ia masih terkekeh dan akhirnya bangun untuk duduk. "Tapi nggak usah khawatir. Selama aku minum obat, nggak bakal kambuh kok insyaaAllah." "Jadi, pas kambuh itu kamu lupa minum obat?" Pertanyaan Luna seperti mengintimidasi. "Ya gitu deh, Lun." Luna langsung mencubit lengah Lukas, membuat dirinya mengaduh. "Kok dicubit sih, Lun!" Lukas mengusap-usap lengannya yang sepertinya memerah. "Mulai sekarang kamu harus jadi teman aku. Aku nggak mau tau ya, kamu nggak boleh telat minum obat. Sekarang juga cepet kirim jadwal minum obat kamu. Cepetan!" Luna sudah kesal saja. Rasa kesalnya alami tanpa dibuat-buat. Ia mengambil ponsel Lukas yang ada di sebelahnya dan langsung memberikan pada Lukas. "Cepat kirim, Lukas!" "Ya Allah, Luna ... iya. Galak banget sih." Tidak lama, akhirnya jadwal minum obat Lukas Luna terima. "Makasih, Lukas," katanya sambil membaca jadwal tersebut. Kemudian Luna mengangkat kepalanya menatap Lukas. Ia juga memincingkan matanya melirik Lukas yang malah meringis. "Hari ini kamu sama sekali nggak minum obat ya dari pagi?" tanya Luna dengan nada kesal. Lukas masih meringis dan menggelengkan kepalanya. "Lupa, Lun." "Ya Allah, Lukas. Untung kamu nggak papa. Lain kali jangan lupa minum obat dong, kalo perlu ya pake alarm." "Iya, Luna. Maafin aku." "Aku juga minta maaf kalo aku terlalu berlebihan. Tapi aku benar-benar nggak mau kamu sakit, Lukas." Lukas kembali mengusap puncak kepala Luna dan akhirnya laki-laki itu berani juga mencubit pipi Luna yang sedikit berisi. "Jangan terlalu khawatir, Lun. Aku kan kuat."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD