Putri Ayah

1684 Words
    “OYOOOOOOO!” teriak Namira bagitu masuk rumah. “OYAAAAAAANG!” teriaknya lagi. “KOKOOOOOOOOO!”      Namira berlari kecil menelusuri setiap inci rumah, mencari keberadaan ketiga Oom-nya. Tapi mereka belum terlihat di mana-mana.     “Nami kenapa teriak-teriak?” Chico muncul dari balik pintu kamarnya.     Namira menoleh. Senyumnya mengembang karena salah satu Oom-nya sudah ketemu. “Emergency, Ko, Emergency!”     Untunglah saat ini bahasa Inggris Chico sudah jauh lebih baik dari dulu. Ia sudah menghapal banyak kosa kata. Bahkan sudah terbiasa menyelipkan bahasa asing itu juga saat bicara.     “Emergency apaan? Lama-lama kamu makin mirip Oyo-mu. Suka banget ngomong emergency.”      “Oooo, tidak bisa! Nami nggak mirip sama sekali sama Oyo,” elaknya.     Chico mencebik. Mungkin anak ini tak akan pernah mengakui kemiripannya dengan Theo. Kecadelan mereka meskipun sekarang sudah hilang, cara berpikir mereka, cara bicara dan pastinya … kegemaran mereka nonton sinetron.     Mungkin sekilas Nami lebih mewarisi sifat Elang, tapi kalau diperhatikan lebih jauh, sifat aslinya lebih mirip Theo.     Bisa dibilang, sifat Elang yang menurun pada Namira adalah faktor eksternal. Sama seperti sifat Tante Keke dan Bu Alila yang menurun padanya juga. Karena Namira terlalu banyak bergaul dengan mereka.     Sedangkan sifat Theo yang menurun pada gadis itu adalah faktor internal. Alias karena kekuatan gen yang agung.     “Emang apaan yang emergency?” tanya Chico akhirnya.     “Duh, Nami belum bisa ngomong kalo formasi belum lengkap. Oyo sama Oyang mana, sih?” Namira celingukan mencari keberadaan Theo dan Elang.     “Ini masih jam berapa sih, Nam? Mereka belum pulang, lah!”     Namira melihat pada jam dinding. Benar, ini masih jam empat. Tentu saja mereka belum pulang. “Aduh, padahal ini emergency banget!”     “Oom, dipanggil Ayah!” seru Eren yang tiba-tiba muncul.     “Oke!” Sebelum memenuhi perintah Bos Yas, Chico terlebih dahulu memberi petuah pada keponakan sulungnya. “Sambil menunggu Oyo sama Oyang pulang, mending sekarang Nami sholat ashar, berdoa sama Allah, supaya masalah yang emergency itu bisa segera ketemu jalan keluarnya.”     “Iya, deh, iya!”   ***       Kal El meletakkan kedua telapak tangan di atas kepala, berlindung dari hujan gerimis yang tak juga reda. Ia berlari kecil menelusuri trotoar. Kal El menghentakkan kaki beberapa kali, sebelum memasuki aptek. Tak ingin kotoran yang berada pada sepatu terbawa ke dalam sehingga mengotori tempat steril itu.     Kal El menyerahkan secarik kertas berisi resep dokter pada sang Apoteker. Tanpa berkata apapun, apoteker itu berbalik untuk mencari obat-obat yang tertulis pada resep.     Salah seorang karyawan mempersilakan Kal El untuk duduk sembari menunggu.     Kal El menghitung upah yang ia kumpulkan selama hampir tiga bulan ini. Setelah kabur dari rumah, barulah pemuda itu sadar bahwa hidup tanpa orang tua itu sulit. Apalagi obat-obat itu tidak bisa ditebus dengan asuransi. Sial lagi-lagi, harga obatnya sangat mahal.     Kal El ingin menunggu sampai gerimis reda. Namun tak bisa karena harus buru-buru. Setelah ini ia harus keliling lagi. Toh ia sudah terlanjur basah.     Ia berhenti pada penyeberangan jalan. Nenekan lampu hijau pada tiang, menunggu hitungan mundur sampai satu.     Pandangan Kal El berfokus ke jalan. Sampai ia menemukan sebuah pemandangan laknat. Ingin Kal El segera mengalihkan pandangan. Sayang tidak bisa. Ia terus-menerus menatap mereka.     Papa dan Ichal sedang berjalan bersama memasuki salah satu butik. Kapan terakhir kali Papa mengajak Mama? Sudah lama sekali.     Tak ingin melihat pemandangan itu lagi, Kal El memutuskan untuk memutar langkah. Lebih baik ia lewat jalan lain. Daripada menyeberang di sini, dan malah bertemu mereka nanti lagi.   ***       Selepas maghrib, akhirnya Namira bisa mengumpulkan semua Oom-nya di ruang tamu. Namira duduk di sofa paling ujung, seolah-olah ia adalah pemimpin dalam forum dadakan ini.     “Bulat, buruan ngomong ada apa?” Theo melepas kacamata, kemudian mengucek kedua matanya yang sudah lelah luar biasa.     “Iya, Nami. Buruan ngomong! Oyo sama Oyang belum mandi. Habis ini harus bantuin Ayah kamu di depan.”     “Sabar, lah! Nami lagi menyusun kata-kata, nih!” Gadis itu meletakkan kedua telunjuk pada pelipis, berkipir keras.     Tak seperti Theo dan Elang yang protes dengan ajakan Namira, Chico terlihat tenang sembari komat-kamit berzikir, menghitung jumlahnya dengan tasbih digital. Ia lebih banyak beribah akhir-akhir ini, dengan tujuan cepat diberi solusi tentang kapan ia akan segera meminang sang Pujaan Hati.     Namira berdeham, membuat perhatian ketiga lelaki dewasa itu tertuju padanya.     “Nami mau tanya.”     “Tanya apa?”     “Tapi janji nggak boleh pada marah.”     “Tergantung pertanyaannya apa, dong!”     Namira mencebik, namun tetap mengutarakan pertanyaan keramat itu. “Uhm … gay itu apa?”     Satu detik, dua detik, tiga detik.     “BULAAAAT, SIAPA YANG NGAJARIN NGOMONG BEGITU?” Theo terkejut setengah mati.     “PASTI TUKANG CILOK ITU LAGI, KAN?” Elang segera menuduh sang Sasaran Empuk.     “ASTAGHFIRULLAH, ASTAGHFIRULLAH!” Komat-kamit dzikir Chico semakin keras, intensitas jari jempolnya menekan tasbih juga semakin cepat.     Mulut ketiga lelaki itu seakan berbusa karena sebaris pertanyaan sederhana dari Namira. Sederhana dalam tanda kutip.     “Oyo, aku cuman nanyak. Kenapa jawabnya teriak-teriak? Oyang, nggak boleh suudzon. Kata Koko, fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan, lho! Koko juga, kenapa istighfar-nya kayak nyindir Nami banget gitu? Emang Nami salah apa?” Namira mulai menangis.     Eren berjalan melewati ruang tamu. Ia baru selesai sholat maghrib, dan hendak ke LUAlounge lagi untuk membantu sang Ayah. Eh, tapi malah disuguhi adegan sinetron di ruang tamu.     Tapi Eren cuek saja, sih. Ia memang tak terlalu peduli tiap kali kakak satu-satunya mulai mendrama. Karena pada dasarnya, ia memang seorang Ratu Drama.     “Kakak kamu sama Trio TABANAS kenapa lagi, kok ribut-ribut?” tanya Yas saat Eren sampai di LUAlounge.     Theo, Elang dan Chico saat ini memang lebih dikenal dengan sebutan Trio TABANAS. TABANAS adalah akronim dari Tuna Asmara taBAh naN ikhlAS.     Akronin itu adalah hasil dari rapat Namira dan Eren. Kesannya jahat memang. Yas dan Bu Alila juga menentang Namira dan Eren menyebut Theo, Elang dan Chico seperti itu. Tapi lama-lama mereka terbiasa juga dengan panggilan itu.     Habisnya Trio TABANAS tetap belum menikah sampai sekarang.     Chico belum juga melamar Rara karena terkendala biaya. Yas dan Oom Junot sudah bilang padanya akan membantu. Tapi Chico dan Rara menolak. Karena mereka ingin menikah dengan uang hasil jerih payah mereka sendiri.     Karena taaruf hanya boleh dilakukan selama satu sampai tiga bulan, Chico dan Rara memutuskan untuk menjaga jarak. Hanya berkomunikasi sesekali, untuk menghindari zina. Mereka akan seperti itu sampai uang yang mereka kumpulkan cukup untuk biaya menikah sekaligus resepsi, dan mengawali kehidupan berumah tangga.     Elang belum juga melamar Luna. Bukannya mereka tak ingin menikah. Namun, Luna dimutasi ke luar kota sekitar satu tahun yang lalu. Mereka jarang sekali bertemu. Elang pernah mengatakan pada Luna untuk berhenti bekerja, karena setelah menikah, ia akan menjadi tanggungannya.     Sayang, Luna menolak. Ia masih ingin bekerja. Karena dengan bekerja, ia bisa membantu keuangan keluarganya. Saat ini, Elang dan Luna sama-sama masih memikirkan solusi yang tepat untuk kejelasan hubungan mereka selanjutnya.     Sedangkan Theo … yang ini paling mengenaskan.     Theo sudah terlanjur semangat empat lima untuk kembali mengusahakan hubungannya dengan Miranda—yang dulu pernah gagal—lebih tepatnya tak kesampaian, sih. Usahanya berjalan mulus. Sampai Theo merasa percaya diri untuk mengutarakan bahwa ia ingin berhubungan serius dengan Miranda.     Di hari yang sama, Miranda mengatakan bahwa ia sudah memiliki tunangan. Salah Theo sendiri memang. Seharusnya ia bertanya sejak awal. Eh, salah Miranda juga, lho. Wanita itu tidak memakai cincin di jari manisnya, karena cincin tunangan itu ia gunakan sebagai bandul kalung. Kan Theo jadi salah paham.     Entalah, Yas juga bingung bagaimana nasib ketiga adiknya itu nanti. Padahal mereka bertiga sudah dua puluh delapan tahun. Saat seusia mereka dulu, Yas sudah memiliki Namira, dan sudah menikah dengan Bu Alila.     “Nggak tahu, Yah. Pokoknya mereka ribut. Tadi pas sholat, aku sampek lupa dapet berapa rokaat. Gara-gara mereka itu.”     “Yaudah. Kamu di sini dulu, ya. Ayah mau lihat mereka sebentar.”     Eren hanya mengacungkan jempol, kemudian memakai apron khusus miliknya yang berwarna merah jambu. Padahal apron pegawai lain, termasuk milik Yas, Bu Alila, Namira, dan Trio TABANAS, semua berwarna hitam.     Yas sampai di ruang tamu. Hal pertama yang ia lihat adalah putrinya yang sedang menangis. Dan juga Trio TABANAS yang terlihat memberi nasihat pada Namira.     “Ada apa, ini?”     “Ayah!” Namira segera berhambur dalam pelukan ayahnya.     “Kamu kenapa lagi, sih?” Yas mengelus-elus rambut panjang Namira.     “Yas, kali ini jangan kemakan sama hasutannya!”     “Sumpah, kali ini omongannya beneran nggak bener!”     “Pak Yas, saya speechless!”     Yas bingung harus mendengarkan omongan mereka bertiga, atau mendengarkan penjelasan putrinya dulu. Karena Yas terlalu lama berpikir, Namira menganggap sang Ayah berpihak pada ketiga Oom-nya. Namira pun berlari pergi dari sana, masuk ke kamar, membanting pintu dari dalam.     “Astaga, Nami … Nami!” Yas mengelus d**a.     “Pak Yas, ada apa?” Bu Alila muncul dari balik pintu mushola, masih mengenakan mukena.     “Saya juga belum tahu, Bu Al. Ini masih mau nanyak sama mereka bertiga.”     Theo menyenggol bahu Elang. “Jelasin!”     “Gue udah bilang berkali-kali, Yas.” Elang mulai menjelaskan. “Si Tukang Cilok itu nggak baik. Dia bawa pengaruh buruk buat Nami.”     “Emangnya kenapa lagi kali ini?” tanya Yas lagi.     Elang memandang Chico yang masih komat-kamit beristighfar. Kemudian memandang Theo. Merasa tak sanggup menjelaskan, Elang meminta Theo untuk melakukannya.     Awalnya Theo juga menolak. Namun karena tak ada pilihan lain, ia akhirnya mau juga. “Lo tahu Nami barusan tanya apaan?”     “Tanya apa emang?”     “Gay, Yas. Dia nanyak, gay itu apa.”     Yas terdiam untuk beberapa saat lamanya. Bu Alila malah sudah berlari ke kamar Namira. Pasti ia ingin menenangkan sang Ratu Drama.     “Tapi … kalian yakin Tukang Cilok yang ngajarin Nami ngomong begitu?” Yas akhirnya buka suara. Ia ingin memastikan, karena tak ingin sembarangan menuduh.     “Yakin seratus persen, Yas,” tegas Theo. “Siapa lagi orang yang deket sama Nami, yang bisa ngajarin dia ngomong aneh-aneh? Tukang Cilok itu jauh lebih dewasa umurnya dari Nami. Dia kayaknya sengaja mau ngerusak Nami.”     Yas kembali terdiam. Kali ini untuk memikirkan solusi terbaik dalam masalah yang barusaja terjadi.     Orang bilang memiliki anak perempuan itu berat. Banyak hal yang harus seorang Ayah jaga dari putrinya sampai ia dewasa sekalipun. Dan Yas sekarang sudah membuktikan bahwa pernyataan itu benar adanya.   ***   TBC  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD