Kal El Bukan Superman
Kal El menutup kedua telinganya. Lelah dengan kejadian monoton di dalam rumah, yang mungkin tak akan pernah berubah selamanya.
Mama lagi-lagi ribut dengan lelaki itu—bukan Papa—melainkan selingkuhan Papa. Namanya Ichal. Satu-satunya lelaki, yang Kal El sebut sebagai jalang.
Sekitar dua tahun yang lalu, Papa pulang dari workshop di Singapura. Papa membawa Ichal bersamanya.
Awalnya Papa mengatakan bahwa Ichal adalah teman lama. Ia membawa Ichal pulang karena lelaki itu sebatangkara hidup di negara orang. Ia ingin memberi Ichal pekerjaan di sini.
Mama mulai curiga dengan kelakuan Papa dan Ichal. Sampai kecurigaannya terbukti, Mama memergoki Papa dan Ichal sedang berciuman.
Mulai saat itulah, rumah ini tak pernah sepi dari pertengkaran setiap harinya.
Kal El ingin membela Mama. Sayang, yang dibela sama sekali tak memiliki rasa terima kasih. Kal El sama sekali tak pernah dianggap.
Mama pernah pulang membawa lelaki muda seusia Kal El. Tujuannya ingin membuat Papa cemburu dan menghentikan hubungannya dengan Ichal. Meskipun usaha itu sia-sia.
Kal El sudah muak. Kal El memutuskan untuk pergi dari rumah.
Kal El berhenti kuliah. Ia sengaja mencari kost di tempat terpencil supaya Papa dan Mama tak bisa menemukan dirinya—itu juga kalau mereka mau repot-repot mencarinya.
Kal El juga mencari pekerjaan yang pastinya tak akan pernah bisa ditebak oleh mereka.
“Yakin kamu mau bekerja seperti ini?” tanya sang Calon Bos.
“Ya, saya yakin. Saya sedang butuh pekerjaan.”
Lelaki itu sekali lagi mengamati penampilan Kal El. “Pekerjaan ini tidak mudah untuk anak muda seperti kamu.”
“Saya tahu. Tapi saya akan berusaha.”
“Apa konsekuensinya jika pada suatu hari kamu tiba-tiba berhenti dan membuat saya rugi? Maaf sebelumnya, saya hanya orang kecil. Usaha ini baru jalan dua tahun, karyawan saya juga baru tiga. Saya nggak mau mengambil resiko.”
“Sebagai konsekuensi, Bapak bisa melakukan apapun termasuk memenjarakan saya. Tapi yakinlah, saya nggak akan mengecewakan anda.”
“Baiklah kalau begitu. Kamu resmi menjadi salah satu karyawan saya mulai hari ini.”
“Terima kasih, Pak.” Kal El tersenyum, menunjukkan lesung pipitnya.
“Kamu bekerja mulai besok. Ambil cilok harus selalu tepat waktu, setiap pagi jam enam tepat, atau kamu akan kehabisan, karena keduluan sama yang lain.”
“Iya, saya mengerti, Pak. Sekali lagi terima kasih.”
***
Namira tumbuh menjadi gadis belia yang cantik jelita. Tahun ini, usianya akan genap dua belas tahun. Ia baru saja naik ke kelas delapan.
Saat kelas tujuh, rata-rata murid masih takut untuk melanggar peraturan, karena mereka masih junior. Saat kelas sembilan, murid-murid sudah menjadi senior sejati, namun pikiran selalu dihantui oleh ujian nasional. Jadi, tak ada waktu lagi untuk melanggar aturan. Untuk itulah kelas delapan adalah masa terindah dalam kurun waktu tiga tahun SMP.
Namira tergolong cukup tinggi dibanding teman-temannya. Meski ia sudah tidak gemuk, namun julukan Tahu Bulat sudah terlanjur melekat padanya. Membuat dendam Namira pada Theo dan Elang semakin terpupuk dan menggunung. Karena merekalah biang kerok pencipta julukan Tahu Bulat terhadap dirinya.
Seorang siswa dari kelas sebelah, yang konon katanya bernama Narendra Bagus Hidayatullah—biasa dipanggil Jalu oleh teman-temannya—tiba-tiba masuk ke kelas 8-G ini. Ia menuju ke bangku Namira, kemudian berlutut di hadapan gadis itu.
Jalu mengeluarkan bunga yang sedari tadi ia sembunyikan di punggung. Bunga itu … adalah bunga terompet warna oranye. Jalu pasti mengambilnya dari taman sekolah. Dasar tidak modal!
“Oh, Tahu Bulat! Engkau bagaikan matahari di siang hari. Bagaikan rembulan di malam hari.”
“EAAAAAAA!” sorak seluruh murid di kelas. Mereka sudah hapal benar dengan kelakuan si Jalu. Makanya mereka sangat kombak menyorakinya.
“Oh, Tahu Bulat! Kaulah cahayaku, penerangku, penunjuk jalanku.”
“EAAAAAAA!”
“Apalah artinya aku tanpa dirimu, Bulat?”
Murid-murid tertawa, kecuali Namira yang sudah terlanjur muntab. Wajahnya merah padam.
“Tanpamu, aku akan tersesat, tak tahu arah jalan pulang. Kaulah pujaanku, Oh, Tahu Bulat!”
“EAAAAAAA!”
Jalu mengulurkan bunga terompet pada Namira. Gadis itu mengambilnya dengan kasar, kemudian melemparkannya pada Wahyuni—sang teman sekelas yang katanya naksir berat pada Jalu.
Wahyuni menerima bunga terompet itu dengan senang hati. Wajahnya sampai menyemu merah.
“Nami, kenapa bunganya selalu dikasih ke Wahyuni, sih?” protes Jalu.
“Nami nggak suka tiap kali Jalu manggil Nami Tahu Bulat.”
“Itu, kan, panggilang sayang, Nam.”
“Nami nggak suka sama bunganya!”
“Besok Jalu ambil bunga yang lebih bagus, deh!”
“Jalu nggak modal!”
“Yaudah, besok Jalu minta uang Umi buat beli buket bunga ke pasar Setono Bethek, deh!”
Namira mendengkus kesal. Tak tahu lagi bagaimana harus menghadapi si Jalu. Setiap hari Namira sudah menolaknya secara halus, tapi Jalu tak pernah sadar. Mungkin sudah saatnya Namira bersikap tegas sekarang.
“Nami nggak suka sama Jalu!”
Jalu seakan baru saja terkena sambaran petir. Kata-kata Namira barusan, seakan melepaskan jiwa dari raga Jalu. Ingin rasanya Jalu terkapar, pura-pura mati sekarang juga.
“J-jadi Nami nolak ….”
“Maafin Nami, Jalu. Tapi, perasaan nggak bisa dipaksain. Jalu ngerti, kan?” Namira mengadaptasi kutipan penolakan dari sinetron.
“J-Jalu ngerti.” Perlahan Jalu mulai bangkit dari posisi berlututnya.
Namira cukup lega dengan aksi Jalu itu. Syukurlah, kalau Jalu akhirnya mau mengerti. Tapi ternyata, Jalu belum selesai.
“Untuk itu, Jalu nggak akan pernah berhenti berusaha. Jalu akan terus berupaya supaya Nami akhirnya memiliki rasa yang tulus pada Jalu.” Jalu mengepalkan tangan kanannya, tanda sebuah semangat yang membara. “Tunggu bunga dari Jalu besok, ya, Nam!”
Namira tak bisa berkata apa-apa lagi. Kasihan Wahyuni yang barusaja berlari keluar kelas sambil menangis sesenggukan.
Jalu melangkah keluar dari kelas ini. Namun, ia berhenti di ambang pintu, dan mengatakan, “Jalu cintaaaaa sama Nami.”
Namira menutup kedua telinganya sambil menggeleng-geleng. Sebelum sorakan kembali terdengar bersahutan. “EAAAAAA!”
***
Namira bukannya tidak mau membuka hati untuk Jalu. Hanya saja, ia sudah bertemu dengan cinta pertamanya. Seorang pedagang cilok keliling yang tampan nan rupawan. Tiap kali sang Pujaan Hati berhenti di perempatan dekat LUAlounge, Namira selalu memborong cilok dagangannya.
Sayang, Kang Cilok—begitu Namira biasa memanggil pemuda itu—sepertinya sedang tertimpa masalah. Setiap hari ia selalu bersembunyi karena dikejar-kejar oleh beberapa lelaki tinggi besar, berpakaian serba hitam.
Saat ini Namira sedang berada di depan parkiran LUAlounge, menunggu pemuda itu datang.
Tak terlalu lama, ia benar-benar datang. Namun tidak dengan gerobak ciloknya. Melainkan hanya dirinya sendiri yang berlari, kemudian bersembunyi di balik semak belukar. Pasti orang-orang berpakaian serba hitam itu sedang mengejarnya lagi, kan?
Awalnya Namira hanya mengamati dari jauh. Tapi saat pemuda itu mulai mengeluarkan botol obat dari dalam tas pinggang, Namira segera mengendap menghampirinya.
Ia tak terlalu terkejut dengan kedatangan Namira yang tiba-tiba. Karena sudah biasa seperti itu. Apalagi sekarang ia sedang berada di area sekitar rumah gadis itu.
“Kang Cilok dikejar sama mereka lagi?”
Lelaki itu hanya mengangguk, sembari meminum beberapa butir tablet putihnya.
“Kenapa Kang Cilok selalu minum obat?”
“Kenapa Nami selalu manggil aku Kang Cilok?” Ia bertanya balik di tengah napasnya yang terengah.
“Habisnya, Nami nggak tahu siapa nama Kang Cilok.”
“Kal El.”
“Kal El?”
“Namaku Kal El.”
“Ebuset, kayak Superman aja!”
Ia tertawa lepas. Sebuah hal yang jarang Namira lihat darinya. Namun hanya sebentar, sebelum tawanya berganti menjadi sebuah senyuman miris. “Bukan aku yang Superman, tapi papaku.”
“Maksudnya?”
“Papa nikah sama Mama, tapi pacaran sama cowok lain.”
“Cowok?”
Ia mengangguk. “Papaku gay.”
“Gay?” Sesungguhnya Namira tak tahu apa itu gay. Tapi melihat betapa sedihnya sang Pujaan Hati, pastilah hal itu memiliki konotasi yang negatif.
Saat pulang nanti, Namira harus segera melakukan wawancara dengan Theo, Elang dan Chico tentang gay itu. Harus!
***
TBC