2. Gadis Cupu

1741 Words
Gadis Cupu Fadia Leticia Wibisono, memulai karirnya di perusahaan keluarganya. Namun, dia tak menjadi direksi melainkan staff biasa. Dia tak memakai nama Wibisono di belakang namanya pada id card yang menggantung dengan lanyard di lehernya. Dia memang tampak sederhana meski ayahnya pemilik perusahaan ini, Warren Wibisono, pemilik WW group yang sah. Perusahaan di bidang perhotelan dan travel yang belakangan ini menambah perluasan bisnis ke beberapa bidang lainnya. Tidak seperti kedua kakak laki-lakinya yang langsung menjadi direksi setelah lulus kuliah, Fadia yang seperti anak buangan di rumahnya justru menjadi staf administrasi di bagian advertising. Wajahnya cukup cantik meski tanpa make up. Namun, dia tak pernah berhasil menjalin cinta. Bahkan sejak dulu. Tadinya dia pikir pria yang ditaksirnya terlalu takut dengan nama besar keluarganya, namun dia salah. Setelah dua tahun bekerja di perusahaan ini sebagai admin, dan juga berangkat dan pulang kerja menaiki angkutan umum dia tak juga mendapat pacar. Pria yang dekat dengannya selalu tak pernah betah, dia dighosting, diberi harapan palsu atau hanya menjalin hubungan tanpa status. Ciumannya sangat kaku, satu kata yang pernah didengar dari orang yang pernah dekat dengannya dua bulan lalu. Dia memang selalu tegang ketika berdekatan dengan pria hingga membuatnya ceroboh dan terkadang melakukan hal yang tak seharusnya dilakukan, seperti terpleset, menjatuhkan gelas, atau menabrak orang lain. Sejak kecil dia hampir tak pernah diperhatikan kedua orang tuanya yang hanya mengagungkan dua kakak laki-lakinya. Dia hanya bermain dengan pengasuhnya, dan ketika dia masuk sekolah SMA swasta itu pengasuhnya pun resign. Dia selalu saja pulang ke rumah setelah sekolah usai. Memilih bermain game di ponsel atau komputer khususnya. Orang tuanya tak pernah mengirim pesan bertanya dia di mana? Sedang apa? Dia seolah hidup seorang diri. Jika kedua kakaknya dibekali keterampilan sejak kecil, namun dia tidak. Tidak ada les tambahan kecuali dia yang meminta. Membuatnya lebih senang mengurung diri di kamar seolah kehadirannya memang tak diinginkan di keluarga itu. Dia pernah berpikir apakah dia anak angkat? Namun dia salah, dia bahkan melakukan test DNA dan hasilnya dia adalah anak kandung kedua orang tuanya. Hanya saja, meskipun dia seolah tak dianggap namun rekeningnya tak pernah kosong. Ayahnya selalu mengirim uang ke rekening itu sejak dulu, uang yang sangat banyak, puluhan kali lipat dari gajinya sekarang. Katanya dia pun memiliki sedikit saham di perusahan ini sehingga keuntungan perusahaan akan masuk juga ke rekeningnya. Dia tak terlalu suka menghamburkan uang, dia hanya memakai untuk keperluan pribadinya. Dia tak suka ke coffe shop atau berbelanja pakaian. “Fadia, kerja terus sudah jam pulang,” ujar salah satu teman kerjanya membuat Fadia menoleh ke arah jam dinding. Dia tersenyum tipis dan mengangguk. Selama dua tahun bekerja dia tak memiliki teman dekat, dia hanya berpikir bahwa dia cukup menjalin hubungan kerja saja. Padahal teman-teman kerjanya cukup sering mengajaknya hang out namun dia selalu menolak dengan berbagai alasan. Fadia membuka ponselnya, tak biasanya ibunya menelepon. Dia pun menerima panggilan itu dengan hati cemas. “Ya, Mah?” ucap Fadia sambil menenteng tasnya. Dan berjalan meninggalkan meja kerja. “Mama sedang di mall, belanja dengan tante Pinkan, kamu nyusul ke sini, pakaian kamu lusuh semua mama lihat, sopir sudah menunggu di lobby, langsung naik saja,” tukas mamanya seperti tak bisa dibantah. Fadia bahkan tak bisa menolaknya, dia melihat pakaiannya, kemeja biru yang memang warnanya tak cerah, juga celana cokelat muda. Mungkin bagi ibunya pakaiannya cukup lusuh, dia sempat berpapasan dengan ibunya sebelum kerja pagi tadi. Fadia turun dari lift staff biasa, ketika pintu lift terbuka, lift VIP di hadapannya pun terbuka, dia ragu apakah dia harus mundur. Ayahnya selalu menatapnya dengan pandangan tidak suka. Namun yang keluar adalah dua kakaknya, pria berparas tampan dan bertubuh tinggi dengan beberapa direksi lainnya. Keduanya menatap Fadia lalu saling tatap dan mengangguk pelan. Fadia mundur satu langkah menuju dinding. Kedua kakak Fadia memberinya senyum tipis, sementara para wanita tampak memasang wajah kagum dengan mulut ditutup tangan karena takut mengganggu para petinggi itu. Fadia mendengar notifikasi ponselnya, “kenapa mundur? Masih pura-pura enggak kenal?” tulis pesan dari Lucky Wibisono kakak kedua Fadia yang usianya baru dua puluh tujuh tahun. Fadia hanya mengirim emot senyum saja. Kakak pertamanya Erlan Wibisono didaulat sebagai penerus ayahnya, sejak kecil dia memang sangat pintar dan handal dalam berbagai hal. Dia bahkan sering ikut olimpiade yang disertakan dari sekolahnya membuat kedua orang tuanya sangat bangga. Jika Erlan pandai dalam beberapa hal, Lucky sangat pandai membangun relasi. Dia memang ramah dan senang bergaul, public speakingnya sangat bagus, dia pun sering mengikuti perlombaan debat bahasa Inggris, dia bisa beberapa bahasa sekaligus. Terlebih ketika SMA dia sudah sekolah di luar negeri. See, sangat berbeda dengan Fadia yang anak rumahan. Meskipun begitu, kedua kakaknya sangat menyayang Fadia, hanya saja karena kesibukan membuat mereka jarang berkomunikasi. Kedua kakaknya naik mobil terpisah di depan lobby, sementara mobil ketiga adalah mobil ibu Fadia. Dengan mengendap-endap Fadia memutari mobil itu menuju pintu belakang yang tak terlihat dari gedung. Di saat pandangan mata orang-orang ke arah kedua kakaknya, dia pun bersembunyi dan masuk mobil. “Non! Bikin kaget mamang aja,” ujar sopir pribadi ibunya membuat Fadia nyengir kuda. “Sssst,” bisik Fadia lalu dia mengenakan seat beltnya. Ponselnya berdering, panggilan masuk dari kakak pertamanya. “Ya, Mas?” sapa Fadia. “Kamu mau kemana? Sama mamah?” tanyanya, sepertinya kakaknya melihat dia yang masuk ke mobil itu dengan mengendap-endap. “Mama minta aku ikut ke mall,” jawab Fadia, dua mobil di depannya sudah melaju hingga mobil ketiga ikut ikut melaju. “Enggak biasanya,” ucap Erlan. “Yah aku juga enggak tahu, Mas. Tapi katanya mama kesal lihat baju aku lusuh,” kekeh Fadia membuat Erlan ikut tertawa. “Kamu tuh, Dek. Kenapa enggak seperti cewek lainnya, jaga penampilan gitu.” “Cewek lainnya maksudnya cewek-cewek pacar Mas? Yang dandanannya heboh dan pakai pakaian seksi?” gurau Fadia lagi-lagi sang kakak hanya tertawa. “Ya enggak harus seksi juga. Tapi mas senang mama mau ajak kamu jalan, kayaknya bisa dihitung pakai jari ya mama ajak kamu keluar,” tutur Erlan. “Ya ini karena ada tante Pinkan aja, mungkin tante yang nyaranin,” ujar Fadia. “Tante Pinkan yang penampilannya pink semua?” tanya Erlan. “Yup.” “Oke mas matiin, have fun ya, shhhh,” ucapnya dari seberang sana membuat Fadia tertawa dan melihat ponselnya itu. Bisa dibilang kedua kakaknya sangat tidak suka dengan sabahat ibunya yang berpenampilan nyentrik dengan semua benda yang dipakainya berwarna pink. Padahal tantenya itu sangat baik, namun mereka takut karena tante pinkan sangat vulgar jika berbicara dengan mereka. Sesampai di mall, Fadia segera menuju restoran tempat ibunya dan sahabatnya makan bersama. Dia pun menghampiri mereka, dari kejauhan dia sudah tahu bahwa itu adalah Pinkan karena topi besar berwarna pinknya yang tampak mencolok. “Tante,” sapa Fadia. Wanita berpakaian serba pink itu berdiri dan memeluk anak dari sahabatnya. Sementara, Sophia, ibu dari Fadia hanya mendengus melihat putrinya yang seperti upik abu di matanya. “Mah,” sapa Fadia menyalami ibunya, dibalas salaman itu dengan malas. “Makan,” tutur ibunya memesankan Fadia makan tanpa bertanya apa yang dia mau. Pinkan hanya menggeleng pedih. Mereka makan sambil berbincang, lebih banyak Pinkan menanyakan kegiatan Fadia yang sebenarnya tak ada yang menarik. “Duh perut aku sakit, ini dressingnya dari apa sih?” gerutu Sophia, wanita yang usianya sudah lebih dari lima puluh tahun namun penampilannya masih sangat menarik itu mengusap perutnya lalu meninggalkan mereka berdua untuk ke toilet. “Fadia belum punya pacar?” tanya Pinkan. “Belum Tan, terakhir ada yang dekat tapi dia kabur,” tutur Fadia sambil menunduk, padahal Fadia menyukainya. “Kenapa?” “Enggak tahu, apa mulut Fadia bau ya? Dia pergi setelah kami berciuman,” rutuk Fadia membuat Pinkan tertawa. “Enggak bau kok, ini tante dekat kamu saja enggak kebauan. Mungkin cara ciuman kamu enggak enak,” kekeh Pinkan. “Bisa jadi, padahal aku juga pengen ngerasain punya pacar.” Melihat keresahan Fadia membuat Pinkan menoleh ke semua arah, memastikan Sophia belum datang. “Kamu mau ikut tante ke club eksklusif. Di sana kamu bisa belajar kencan, tapi ingat ya jangan sampai kalian melakukan hubungan seksual karena tante yakin kamu belum pernah lakukan itu. Ya tarifnya cukup mahal tapi anggap saja ini traktiran tante untuk kamu,” kekeh Pinkan sambil mengedipkan matanya. “Club apa Tan?” “Club khusus cowok ganteng dan hot, tante sering ke sana kalau om enggak pulang-pulang dari rumah istri keduanya,” bisik Pinkan. “Ih tante,” gerutu Fadia. “Nanti juga kamu tahu rasanya kalau sudah pernah itu,” kekeh Pinkan. “Bicara apa kalian bisik-bisik?” tanya Sophia. “Aku mau ajak Fadia menginap di rumah, kebetulan besok libur kerja kan?” ajak Pinkan sambil mengedipkan sebelah matanya. “Terserahlah, ayo kita belanja Fadia, mata mama sakit lihat pakaian kamu!” seloroh ibunya. Mereka pun berbelanja banyak pakaian hingga Fadia tak mampu membawa kantung belanja itu, beruntung Pinkan mau membantunya. Sudah banyak tentengan di tangannya sepertinya semua pakaian, tas dan sepatu dia sudah beli. Hingga ibunya mendapat telepon dari ayahnya. “Kenapa Pah? Iya aku lagi sama Fadia.” Fadia memperhatikan ibunya yang meliriknya. “Kenapa kamu ajak anak itu?” terdengar suara berat dari seberang sana dengan nada yang tinggi. “Pah, biar bagaimana pun dia anak kita,” ujar Sophia, Pinkan merangkul bahu Fadia yang terlihat gusar dengan ucapan ibunya, sepertinya kedua orang tuanya bertengkar lagi karenanya. “Kamu harus ingat, karena ulah anak itu yang hampir membunuh anak pertama kita!! Erlan! Kebanggaan kita!” Pupil mata Sophia bergetar, lalu dia melirik ke arah Fadia yang kemudian menunduk ketika ditatap olehnya. Sophia meletakkan ponsel ke tas mahalnya lalu menyerahkan tas belanja ke tangan Fadia. “Sebaiknya kamu menginap saja beberapa hari. Papah sedang marah.” “Mah, kenapa sih papah benci banget sama aku?” tanya Fadia dengan sorot mata terluka. “Karena ... karena mama juga enggak tahu, Pinkan titip Fadia ya,” tutur Sophia sambil meninggalkan putrinya itu dan berjalan sangat cepat. Pinkan merengkuh Fadia dan memeluknya erat, membiarkan Fadia menumpahkan tangisannya. “Kenapa sih Tan? Mereka sangat membenci aku?” isak Fadia. “Mereka mungkin hanya sedang emosi, sudahlah ayo kita bersenang-senang saja,” ajak Pinkan yang disetujui oleh Fadia. Fadia tak pernah tahu bahwa ajakan Pinkan ke tempat yang sangat asing itu bisa merubah hidupnya, dia yang tak pernah mengerti alasan orang tuanya membencinya padahal dia tak melakukan kesalahan apa pun selama hidupnya, kini dia merasa ingin memberontak, lebih baik dia membuat malu orang tuanya sekalian, setidaknya dia memiliki alasan untuk dibenci orang tuanya, Kan? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD