Erlan yang baru tiba di rumah itu, beristirahat sebentar sebelum menceburkan diri ke kolam renang yang berada indoor, rumah itu sangatlah besar seperti istana, pilar yang kokoh di setiap sudut. Lantai marmer yang bisa dibilang ditata dengan sangat khusus.
Salah satu asisten rumah tangga berdiri di dekat kolam dengan posisi siap, memegang handuk di tangannya, bersiap jika anak sulung keluarga konglomerat ini naik ke atas untuk mengeringkan diri.
Erlan melakukan beberapa putaran di sekitar kolam, ayahnya yang melintas pun sengaja menghentikan langkah ketika Erlan naik ke atas kolam dengan tubuh bagian atas yang terbuka, dia tersenyum pada salah satu asisten yang sudah senior itu dan mengambil handuk, handuk itu diusapkan ke belakang tubuhnya.
Sorot mata Warren Wibisono menajam ketika melihat punggung itu, ada bekas luka yang sangat besar yang membuat tubuh putranya menjadi cacat, bekas luka yang tak pernah hilang yang diakibatkan oleh putri yang dulu sangat disayanginya itu.
Kehadiran Erlan adalah hadiah terindah dari Tuhan karena mereka telah menikah cukup lama dan tak dikaruniai anak, ketika mengandung Erlan, Sophia bahkan tidak diizinkan turun dari kasur agar kandungannya baik-baik saja.
Karenanya, ketika Erlan lahir keluarga itu mengadakan pesta besar-besaran dan dilangsungkan selama beberapa hari. Lalu menyusul kelahiran Lucky dan Fadia.
Kelahiran Fadia menambah bahagia keluarga itu yang merasa sudah lengkap dengan anak laki-laki dan perempuan. Namun, mereka tak menyangka Fadia kecil justru menjadi bencana bagi keluarganya terutama bagi kakak pertama yang sangat menyayangi adiknya itu.
“Lho Pa? Sudah pulang?” tanya Erlan melihat ke arah ayahnya yang langsung tersenyum menatapnya, menghampirinya dengan langkah yang pasti.
“Bagaimana kantor setelah papa tinggal?” tanya ayahnya.
“Masih seperti biasa,” jawab Erlan sambil mengusapkan handuk ke rambutnya yang basah.
“Malam ini kita makan malam bersama,” tutur ayahnya.
“Minus Fadia dan mamah, mereka sedang shopping,” tutur Erlan sambil tersenyum, namun air muka ayahnya berubah mengeras, dia tampak membuka ponsel dan menelepon istrinya sambil jalan. Erlan menghela napas panjang. Dia tak tahu mengapa ayahnya masih sangat membenci adiknya? Padahal dia masih baik-baik saja sampai sekarang. Meski, punggungnya sedikit cacat.
Warren Wibisono terkenal dengan ketegasannya, dia hampir tak pernah tersenyum kecuali pada keluarga dan kerabat yang dinilai menguntungkannya. Itu sebabnya atmosfer di sekitarnya selalu terlihat suram. Sorot mata tajam dan bibirnya yang sering sinis membuatnya terlihat semakin kejam.
Lucky yang telah rapih hendak pergi pun mengurungkan niat, ketika ayahnya sudah bertitah untuk makan malam keluarga. Ibunya yang telah hadir dan langsung duduk di kursi meja makan, beraneka makanan terhidang di meja.
Warren duduk di kursi khusus kepala keluarga, sementara Lucky dan Erlan duduk berdampingan menghadap ibunya. Biasanya Fadia duduk di samping ibunya, kini bangku itu dibiarkan kosong.
“Usia kamu sudah tiga puluh tiga, Erlan. Kapan kamu siap menikah?” tanya ayahnya pada pria yang terlihat menikmati makanan dengan santai. Seperti tak pernah ada yang dicemaskan dalam hidupnya.
“Menikah? Untuk apa?” tanya Erlan.
“Untuk berkeluarga, memiliki anak, meneruskan keturunan,” ujar ayahnya yang sedikit naik pitam.
Erlan berdecih, “belum siap,” jawabnya kemudian. Ayahnya selalu mengenalkannya pada para wanita yang menurut ayahnya cocok dengan Erlan, cocok dari segi keluarga dan finansial, rata-rata mereka anak pengusaha, bahkan ada juga anak presiden yang pernah didekatkannya, namun Erlan tak pernah setuju dengan calon dari ayahnya.
“Lucky? Kamu jangan gonta ganti pacar terus, menghamburkan uang untuk para wanita kelas rendahan seperti itu, kamu bukan badan amal!” geram sang ayah. Lucky yang tengah menyuap makanan hanya tersenyum lebar dan mengangguk.
“Apa kamu yang mau menikah lebih dulu?” tanya sang ayah.
“Fadia saja dulu Pah, dia juga sudah di usia yang cukup untuk menikah,” jawab Lucky.
“Kecualikan dia,” geram ayahnya sambil menghela napas panjang, dan melanjutkan makannya.
“Dia kan juga anak papa, kenapa?”
“Stop Lucky! Jangan bahas anak itu,” seloroh sang ayah dengan suara berat yang penuh penekanan. Istrinya hanya terdiam, dia masih ingat kejadian belasan tahun lalu. Masih terlihat jelas di matanya, betapa kalutnya keluarga itu dengan kejadian yang hampir menewaskan putra pertamanya.
Di setiap keluarga konglomerat mereka terbiasa memelihara anjing penjaga, anjing sebelumnya sudah terlalu tua sehingga harus disuntik mati karenya penyakitnya. Itu sebabnya mereka mengadopsi anjing baru yang katanya sudah terlatih.
Anjing itu sangat buas sehingga harus selalu dikandangi, secara fisik memang sangat mirip dengan anjing kesayangan Fadia sebelumnya, meski merupakan anjing penjaga, namun Fadia cukup dekat dengan anjing itu.
Dia yang kala itu masih berusia tiga tahun berjalan menuju kandang besar, pengasuhnya sudah menariknya untuk tidak mendekati anjing yang ada di kandang khusus itu, Fadia pergi namun setelah pengasuhnya pergi untuk sesuatu dia kembali berlari menuju kandang. Petugas keamanan yang memegang anjing sedang bergantian untuk jaga, biasanya mereka membicarakan laporan keseharian sebelum berganti shift.
Erlan yang berusia dua belas tahun tengah bermain dengan Lucky yang baru berusia enam tahun, mereka main lempar tangkap bola di taman belakang rumah.
Entah di mana pengasuh Fadia kala itu sehingga meninggalkan Fadia yang berjalan menuju kandang anjing yang terus menyalak? Erlan mengambil bola di semak-semak lalu melihat Fadia yang tersenyum lebar menatap kandang anjing.
“Kamu pulang? Guguk sudah sembuh?” tanya Fadia dengan suara cadelnya.
“Fadia!! Jangan!!” teriak Erlan. Fadia memegang pintu kandang tersebut, lalu dengan tangkas membuka slot kuncinya. Anjing itu keluar dan mengeram, memamerkan taringnya sambil menatap Fadia yang hendak memeluknya.
Hanya sekejap saja anjing itu menyerang dan menggigit kaki Fadia, Erlan berlari melindungi adiknya, memeluknya hingga punggungnya menjadi sasaran gigitan anjing yang mengoyak bajunya.
“TOLONG!!!! SIAPA PUN TOLONG!!!” teriak sang pengasuh yang ternyata sedang mengambilkan makanan untuk Fadia. Dia berteriak sambil menangis, namun tak berani melerai, tubuh Erlan sudah berdarah-darah, petugas keamanan berlari dan segera menarik anjing itu.
Erlan tersenyum pada adiknya yang menangis, “Fadia enggak apa-apa?” tanyanya. Fadia menangis dan mencengkram baju sang kakak yang sudah koyak.
“Guguk jadi jahat,” isak Fadia. Ayahnya yang baru pulang kerja pun melihat kejadian itu bersama ibunya yang keluar dari rumah. Lucky terjatuh duduk melihat kakaknya bersimbah darah.
Untuk pertama kali Warren Wibisono berlari ke arah Erlan, berteriak dengan putus asa ketika putranya pingsan karena kekurangan darah. Mereka membawa Erlan dan Fadia ke rumah sakit. Anak remaja berusia dua belas tahun itu harus menjalani operasi untuk menutup luka menganga di punggungnya yang hingga kini membuatnya cacat. Sejak itu Warren melimpahkan kesalahan pada Fadia meski gadis cilik seusianya tak tahu apa-apa.
Teringat ketika Fadia lahir, seorang pria tua pernah menyapanya dan berkata, “awasi putrimu, dia bisa membuat kakaknya terbunuh.” Namun Warren tak pernah mengindahkannya karena dia pikir pria tua itu hanya orang dengan gangguan jiwa yang asal bicara, lalu setelah kejadian ini dia menyadari bahwa pria itu sedang melihat masa depan tentang hari ini. Hari di mana anaknya kritis dan berada di ICU selama sepuluh hari lamanya.
Setelah makan malam keluarga itu selesai, Erlan dan Lucky seperti biasa berdiri dan mempersilakan ayahnya pergi lebih dulu seraya membungkuk kecil dengan tujuan menghormatinya, mereka tahu ayahnya adalah pria kaku yang tak hangat seperti ayah kebanyakan. Mereka bahkan merasa hubungan dengan ayahnya sangat jauh dan ada rasa takut membangkang.
“Ke mana Fadia?” tanya Lucky pada kakak pertamanya itu.
“Pergi sama tante Pinkan,” jawab Erlan sambil meninggalkan meja makan. Lucky mengangkat bahu acuh dan meninggalkan ruangan itu, dia sudah janji untuk kumpul dengan teman-temannya.
***
Fadia menatap ke sekeliling, dia pernah masuk club malam, namun club ini sangat berbeda, tak cukup ramai. Banyak para pria berseragam hitam-hitam dengan wajah yang bisa dibilang menarik, apakah ini club khusus model?
Semua pria menatapnya dengan mata berbinar dan memuja yang tak pernah dia dapatkan sebelumnya, dia merasa menjadi seorang wanita yang sangat cantik.
“Hello Sayang, sama siapa nih?” ujar seorang pria kemayu yang membawa tas pouchnya sambil memeluk Pinkan.
“Anak sahabatku, namanya Fadia,” ucap Pinkan memperkenalkan Fadia pada pria yang merupakan manager tempat ini.
“Hallo anak cantik,” sapa Harold, Fadia hanya tersenyum tak enak, terlebih ketika seorang pria yang cukup manis menghampiri Pinkan dan merengkuh pinggangnya.
“Baru tiba Miss?” sapa pria itu.
“Fadia, ini Zevan pacar tante di sini,” tutur Pinkan mengedipkan matanya genit. Fadia hanya tersenyum tak enak dan menyalami Zevan.
“So, Fadia mau lihat-lihat dulu? Semua pria di sini available, dan bersedia melakukan apa pun untuk memuaskan kamu Baby,” tutur Harold memegang bahu Fadia yang langsung tegang hingga Harold melepas rangkulan bahunya dan mendesiskan kata maaf.
“Memuaskan? Dia hanya mau belajar sedikit saja agar enggak kaku,” celetuk Pinkan.
“Oh jika mau belajar hmmm bagaimana kalau dengan Afsheen, dia terkenal paling lembut meski tetap bisa ganas bersamaan dan dia sangat bisa mengontrol dirinya, sepertinya kalian cocok,” ucap Harold.
“Afsheen? Boleh lah, tetapi bukannya dia biasanya full booked?” tanya Pinkan sambil meremas b****g Zevan dengan genit, Zevan terlihat senang walaupun dalam hatinya dia mengumpat.
“Sedang kosong dia malam ini,” tutur Harold yang kemudian mengangkat tangannya pada seorang pria yang sudah menatap mereka.
Pria tinggi berkulit putih dengan kemeja hitam yang rapih itu menghampirinya, sekilas melihatnya dia lebih mirip seperti eksekutif muda dibanding pria penghibur.
“Afsheen mau temani Fadia malam ini?” tanya Harold.
“Dengan senang hati,” jawab Afsheen dengan senyum memukaunya memandang Fadia yang merasa jantungnya berdebar lebih kencang, tak pernah dia ditatap seintens ini.
“VIP Room?” tanya Harold pada Pinkan.
“Yah apa pun yang terbaik untuknya, kami ke tempat biasa ya,” tutur Pinkan pada Harold yang memanggil karyawannya dan menyerahkan kunci kamar.
Di gedung ini bahkan sudah disediakan kamar-kamar seperti kamar hotel pada umumnya.
“Tante mau ke mana?” tanya Fadia pada Pinkan yang terlihat bergelung nyaman di pelukan Zevan.
“Bersenang-senang, ah iya Afsheen jangan berlebihan ya, dia masih perawan,” seloroh Pinkan pada Afsheen yang hanya mengangguk, lalu matanya terlihat berkedip geli melihat Zevan yang seperti memberi kode meminta pertolongan!
Afsheen sudah mendapat kunci kamar dan mengajak Fadia yang melangkah dengan ragu.
“Bagaimana kalau kita berteman? Mengobrol saja enggak apa-apa, dan kamu bisa belajar apa pun yang kamu mau pelajari,” ucap Afsheen dengan suara beratnya yang khas, yang entah mengapa membuat Fadia tersipu? Sepertinya dia sudah menyukainya pada pandangan pertama.
***