Mesin Tik Berhantu
“MAAF, Pak... sepertinya saya mau cari rumah kontrakan yang baru,” ucap Bu Sri ketika menelepon Haji Jajuli sekitar pukul sembilan pagi. Ia tengah berada di sekolah dan kebetulan lagi tak ada jam mengajar. Hingga, ia menyendiri berdiri tak jauh dari perpustakaan. “Kenapa, Bu?” tanya Haji Jajuli kaget.
“Hmmm, saya mau pindah saja, Pak Haji,” ucap Bu Sri. Ia tak mau menuturkan ihwal apa yang dialaminya di rumah Haji Jafar. Raibnya tomat yang tiba-tiba serta ketemu di dalam gudang, menunjukkan di rumah Haji Jafar itu ada penghuninya. Bu Sri tahu dan acap mendengar mengenai jin penunggu rumah yang bernama si Gembel yang menghuni rumah Haji Jajuli dan juga suka berpindah ke rumah Haji Jafar. Bukan dua jin. Satu jin. Dan itu makhluk yang sama. Awalnya, Bu Sri bertahan, tapi semenjak kejadian hilang tomat itu, ia jadi terusik dan khawatir terjadi lagi. Apalagi ia tengah hamil muda. Suaminya pun merajuk minta pindah. Tak masalah jika telah membayar dua tahun di muka pada Haji Jajuli. Yang penting, ia tak mau tinggal sementara di rumah haji Jafar atau kembali lagi ke rumah Haji Jajuli. Mencari rumah kontrakan baru meski harus mengeluarkan lagi uang, baginya tak masalah. Tersebab, Haji Jajuli tak mengembalikan uang kontrakan yang sudah dibayar penuh pun, ia tak peduli.
“Jangan, Bu... saya mohon, Ibu dan Bapak Guru jangan cari kontrakan lain. Tetap di rumah Haji Jafar sampai nanti kembali ke rumah saya yang lama itu,” jelas Haji Jajuli. Lalu laki-lai tua itu pun membujuk Bu Sri agar bertahan. Namun, Bu Sri pun tetap bersikeras. Haji Jajuli menutup telepon. Ia bicara dengan Wak Dulah yang kebetulan berada di rumahnya. Di kota. Wak Dulah melarang Haji Jajuli membiarkan pasangan suami istri itu pergi dari rumah Haji Jajuli atau rumah Haji Jafar. Apalagi sampai mencari rumah kontrakan lain. Pasangan suami istri sasaran empuk Wak Dulah demi meluluskan ilmu-ilmu yang diturunkan pada Haji Jajuli. Wak Dulah pun perlu orang-orang yang bisa diganggu oleh jin-jin piaraannya. Bukan hanya Ray dan teman-temannya. Juga Bu Sri dan suaminya. Di samping Cika, Indah, dan Bunda Dewi.
“Atau... kalau Pak Haji Jajuli punya rumah lain, di kota itu, misal rumah saudara, nah... bisa ditempatkan dulu di sana tuh Bu Sri dan suaminya,” Wak Dulah memberi saran.
Haji Jajuli berpikir sejenak. Ia baru ingat ada rumah saudaranya yang kosong selama satu tahun karena tugas ke luar kota. Rumah itu ada perabotnya sedikit. Tidak terawat. Jika saja ada yang bersedia menghuni di sana, meski tak bayar, pemilik rumah akan senang. Begitu yang terpikir di benak Haji Jajuli.
“Baca sedikit mantera agar Bu Sri mengurungkan niatnya mencari rumah kontrakan yang baru.”
“Siap, Wak...” ucap Haji Jajuli serius. Malamnya, ia langsung menelepon Bu Sri. Itu pun setelah yakin, rumah saudaranya benar-benar kosong dan pemiliknya mengizinkan dengan suka hati. Bu Sri menyepakatinya tanpa meminta izin suaminya terlebih dahulu.
Esoknya, Bu Sri dan suaminya pindah ke rumah saudara Haji Jajuli. Rumah itu tak kuno seperti rumah Haji Jafar atau rumah Haji Jajuli. Malah terkesan modern. Sedap dipandang mata terlebih memiliki halaman yang tak luas tapi ditumbuhi banyak bunga-bunga cantik. Ada kolam ikannya pula. Bu Sri langsung jatuh hati. Ia jadi enggan kembali ke rumah Haji Jajuli.
***
Tubuh Bu Sri seperti ada yang menarik dan matanya terkuak di gelapnya kamar. Terdengar menembus telinga, dari kamar tengah yang berada tepat di kamar yang ditempatinya. Kamar yang setahun dibiarkan kosong. Tentu. Seperti juga rumah ini. Bunyi tuts-tuts mesin tik. Seperti ada yang tengah mengetik. Siapakah? Tangannya menelusuri tubuh suaminya yang tak bergeming.
Tik tok tik tok tik tok tik tok….
Bulu kuduk berdiri seiring suara menghilang. Tubuhnya setengah gemetaran memeluk erat suami yang memunggunginya. Terdengar dengkur halusnya, pulas.
Beberapa menit mencari celah kantuk namun sulit. Kedua lengan masih erat memeluknya. Tak berani membangunkan, padahal sangat ingin memberitahukannya tadi ada yang mengetik di kamar tengah. Sudah lewat pukul dua belas. Angin bertiup kencang di luar dari pepohonan. Rumah ini jauh dari rumah lainnya, terhalang kebun dan lapangan bola.
Matanya terpejam, terasa berat, tak berapa lama terbangun lagi. Suara itu terdengar lagi malah cukup lama, sekitar beberapa menit. Tik tok tik tok tik tok tik tok….
Keringat dingin mulai keluar dari bagian-bagian tubuh yang dibalut kimono satin. Tak mungkin ada manusia di kamar itu, lantaran di rumah hanya ia dan suaminya. Setiap hari pergi mengajar. Di rumah hanya ada asisten rumah tangga. Untuk persiapan menjelang melahirkan. Merangkak malam, asisten rumah tangganya kembali ke rumahnya yang tak jauh dari sini. Bu Sri sendirian karena lebih sering pulang duluan hingga suami pulang ketika langit diselimuti hitam. Terkadang lewat Isya setelah ikut kuliah lagi di kota.
Bu Sri menghela napas dalam-dalam. Suara t****k masih tedengar. Kuduk meremang. Siapa yang mengetik di situ? Batinnya nelangsa. Tak mungkin ada orang, sudah jelas hanya berdua. Ia dan suami. Ia ingin membangunkan suami, rasa tidak tega lebih kuat ketimbang rasa takut yang mulai merambati. Kerap sendirian di rumah, terlebih jika suami masih di kota. Tak pernah terjadi apa-apa. Tak pernah mendengar suara aneh. Angin mendesis dari pepohonan sekeliling rumah sudah biasa. Namun suara yang mengetik baru terdengar malam ini.
Matanya terpejam lagi, lengannya tetap melingkar di punggung suami. Hingga suara itu menghilang, seiring dengan matanya yang mulai tak mampu menahan kantuk. Terbangun saat terasa suaminya mengusap bahunya, lengan dan pahanya.
“Sudah Subuh, solat dulu.” Pak Rahman menatapnya. Ruangan kamar terang.
“Mas sudah solat?” Tanya Bu Sri memerhatikan suaminya yang sudah rapi dengan baju koko cokelat muda dan bawahan sarung, peci hitam di atas kepalanya. Pak Rahman mengangguk sembari tersenyum. Tubuh Bu Sri beranjak, menuju ke luar kamar, melirik pintu kamar tengah yang tertutup. Bulu kuduknya meremang, langkahnya bergegas menuju kamar mandi. Menggosok gigi, wudlu lalu solat di mushola.
“Kang… waktu itu beli mesin tik di mana?” pancing Bu Sri ketika sarapan bersama di ruang makan. Ia sudah mengenakan pakaian dinasnya.
“Kenapa baru sekarang tanya itu… bukankah sudah sebulan membelinya?” suaminya tampak heran.
“Mau tahu saja…” Bu Sri menyerahkan gelas berisi air putih hangat ke hadapan suami. Lalu satu gelas cokelat panas.
“Ada orang yang menawariku dekat kampus.”
“Siapa?” Bu Sri penasaran.
“Tak kenal. Buat apa beli mesin tik hari gini. Ah, tak tega saja pada yang menjualnya, sudah berkeliling ke sana-kemari menawarkannya tapi tak ada yang mau beli.”
“Ya, siapa yang mau, kecuali buat koleksi barang antik.”
“Kenapa jadi membahas mesin tik? Tak apa, tidak bermanfaat buat kita, tapi bagi yang menjual sangat bermanfaat. Bisa menolong orang yang terbelit kebutuhan mendesak. Itung-itung ibadah. Benar tidak?”
Bu Sri tak mengomentarinya lalu mengambil lagi nasi goreng dan dipindahin ke piring. Telur mata sapi, perkedel kentang, dan kerupuk udang. Suaminya sudah beres makannya, tengah menyeruput s**u cokelat yang masih panas.
“Akang pulang malam, ya?”
Pak Rahman mencium kening istrinya sembari sebelah tangannya mengelus perut Bu Sri, lalu Pak Rahman pun ke luar. Tak berapa lama, terdengar suara motornya. Hari itu, Bu Sri tak ke sekolah lantaran tak ada jadwal mengajar. Hingga pukul sepuluh, asisten rumah tangga belum juga datang, tadinya mau disuruhnya membersihkan kamar tengah. Ya, kamar tengah. Ingat ke sana, bulu kuduk Bu Sri berdiri. Pintunya tertutup seperti biasa. Sengaja mesin tik disimpannya di situ bersama barang-barang lain yang kurang berguna. Jarang sekali masuk ruangan itu. Namun tetiba melintas di benaknya, mesin tik di situ di atas meja. Buat pajangan saja. Toh tak mungkin digunakan. Sekarang komputer pun, orang jarang memakai. Diganti laptop yang bisa dibawa ke tempat tidur.
Hingga langit didekap malam, asisiten rumah tangga tidak juga menampakkan batang hidungnya. Entah mengapa, Bu Sri pun heran, kemarin asisten rumah tangganya itu tak bilang apa-apa. Selepas solat Isya, ia memilih mengunci diri di kamar. Sembari menunggu suaminya. Lampu kamar dipadamkan. Tubuh rebahan berselimut. Rasa kantuk sulit diundang. Ingin lekas tidur. Suaminya entah masih di mana. Tempo hari pernah tak memberi kabar ketika ada kendala yang membuatnya harus menginap. Alasan, tugas kuliah. Jika begitu, istrinya harus mampu melewati malam Jumat ini. Biasanya malam-malam sebelumnya, tidak pernah mengalami rasa takut seperti sekarang. Namun semenjak kemarin malam ia mendengar suara yang mengetik di kamar tengah, ia mendadak jadi penakut lagi. Pindah ke rumah ini, demi menghindari si Gembel. Namun malah mendengar suara mesin tik misterius. Matanya mulai terasa berat. Tak bisa dihindari. Pulas. Tik tok tik tok. Dadanya berdegup, matanya terkuak menatap gelapnya kamar. Rasa takut menghinggapinya, suara mesin tik membelah sunyinya malam. Lolongan anjing dari kejauhan. Desir angin menambah suasan mencekam, ibarat orkestra yang menakutkan. Tubuhnya gemetaran. Suara mesin tik tak juga bisa dihindarinya, malah menjadi-jadi. Tuts-tutsnya berbunyi cepat layaknya seorang penulis profesional yang tengah mengetik naskah mengejar deadline. Bunyinya mengeras. Malah teras dekat di telinganya. Tik tok tik tok tik tok.
Bulu kuduknya meremang. Bibirnya ingin melafalkan doa namun sulit bergerak seperti terkunci rapat, malah bergetar tak karuan. Tubuhnya bergerak hebat seperti terkena penyakit ayan. Keringat membasahi tubuh. Tik tok tik tok tik tok tik tok….
Rasa takut kian merayapinya, ia tak mampu bertahan. Suara itu kembali terdengar. Tak sadar mulutnya teriak keras. Bersamaan dengan bunyi pintu kamar yang diketuk berkali-kali. Bu Sri menjerit lagi lalu menangis seperti anak kecil.
“Buka pintunyaaaa!” suara yang berteriak dari luar kamar. Bu Sri terperanjat. Dadanya berdegup kencang. Jantung dirasanya hampir lepas. Ia gegas menubruk tubuh suaminya setelah membuka pintu.
“Untung Akang bawa kunci cadangan,” suaminya merebahkan tubuh Bu Sri di tempat tidur.
“Kaaaang… buang mesin tik itu, menerorkuuu!” telunjuk Bu Sri mengarah ke kamar sebelah. Setelah sirna keterkejutannya, mulut Bu Sri minum air putih yang diberikan suaminya dari dispenser di sudut kamar. Sesaat, Bu Sri termenung sembari menguatkan hati. Lalu menuturkan pengalaman pada suaminya itu, selama dua malam mendengar bunyi mesin tik. Pak Rahman tampak kaget. Lalu mengajak istrinya ke luar kamar, membuka pintu kamar tengah. Lampu dinyalakan dari stop kontak. Tampak mesin tik di atas meja. Rapi. Tak ada tanda-tanda bekas ada yang memakai.
“Jangan membayangkan hal menakutkan!” ucap Pak Rahman setelah kami berada di kamar. “Tak membayangkan, tapi aku benar-benar mendengar suara mesin tik!” jelas Bu Sri karena memerhatikan suami yang sedikit ragu.
“Makanya jangan suka nonton film horor jadi kepikiran terus!”
“Heeyyy… lagian siapa yang suka nonton film horor!” Bu Sri balik kesal. “Pokoknya besok tak mau ada mesin tik di rumah ini!”
“Harus dikemanakan?”
“Mau dibuang, diberikan pada orang, terserah… yang penting jangan ada di sini!” Bu Sri mendengus. Suaminya tak bicara. Besoknya ia memasukkan mesin tik ke dalam dus.
Selama seminggu Bu Sri tenang melewati malam dan tidur pulas, tak pernah lagi mendengar suara mesin tik. Malah kamar tengah sudah dibersihkan. Mau dijadikan perpustakaan biar tidak suntuk sepulang mengajar jika suaminya belum pulang, bisa membaca majalah atau buku-buku. Apalagi jika suaminya ke kota untuk kuliah.
Pukul dua siang ketika matahari sangat garang, Bu Sri duduk di kursi depan di beranda. Asisten rumah tangganya yang bernama Tini itu sudah pamit pulang karena ibunya tengah sakit.
Setelah satu jam duduk, ia pun beranjak. Pintu depan ditutupnya. Tubuhnya mendadak gemetaran. Masih terngiang-ngiang ucapan suami dua hari lalu mengenai mesin tik itu ternyata dulunya milik seorang pengarang yang bunuh diri setelah mendapati suaminya berselingkuh. Tik tok tok tok. Dadanya terperanjat. Bunyi mesin tik di kamar tengah. Matanya melirik. Pintunya tertutup rapat. ***