Misteri Tomat

1971 Words
Misteri Tomat HAJI Jajuli menelepon Bu Sri dan Pak Rahman pagi itu. Ketika pasangan muda itu baru usai menikmati sarapan pagi. Haji Jajuli mendapat perintah dari Wak Dulah agar mengosongkan rumah yang tengah dikontrak itu selama beberapa bulan. Termasuk Mak Inoh, penjaga setia yang sudah mengabdi selama puluhan tahun pun wajib angkat kaki. Dengan alasan sementara. Sebab, nanti jika waktu yang telah ditentukan, maka Bu Sri dan Pak Rahman juga Mak Inoh, boleh kembali. Bu Sri dan suaminya pun mau tak mau, suka tau suka, menyanggupi permintaan sang pemilik rumah, meski sebenarnya enggan, lantaran yang namanya pindah tempat tetap, membuat berabe dan sibuk. Apalagi kalau hanya untuk sementara. Namun, Bu Sri dan Pak Rahman tak punya nyali untuk menawar apalagi menolak. Seorang tetangga menyarankan pasangan itu pindah ke tempat lain saja. Bu Sri pun niatnya begitu. Namun, Haji Jajuli memintanya dengan sangat, agar pindah ke rumah Haji Jafar dan Hajah Maemunah. Mereka berdua adik mendiang kedua orang tua Haji Jajuli. Sudah tua tapi masih tampak sehat. Bu Sri dan Pak Rahman membawa barang seadanya. Perabotan yang berat-berat seperti lemari dan kursi, mereka tingalkan saja di rumah Haji Jajuli lantaran akan kembali lagi sesuai instruksi nanti dari sang pemilik rumah. Akhirnya, Bu Sri dan Pak Rahman pindah ke rumah yang ditunjuk Haji Jajuli. Rumah tua juga. Tak jauh dnegan rumah Haji Jajuli. Malah, ukurannya lebih luas. Penghuninya hanya Haji Jafar dan istrinya. Sesekali, datang anak-anaknya. Juga cucu-cunya. Hanya kalau Haji Jajuli, jarang berkunjung tersesab lebih banyak tinggal di kota. Bu Sri dan suaminya sempat bingung untuk pindah karena tak ada yang membantunya. Ray dan Dani sudah tak bisa diminta bantuan karena memang tak ada di kota ini. Pada Dirga, apalagi, kedua gurunya itu pun tak pernah bersua lagi dengan Dirga semenjak Dirga tamat dari SMK. Dan Fian, yang jelas-jelas tetangganya, rumahnya pun dekat dengan rumah Haji Jajuli, malah tidak ada.s Seperti sengaja menghindar untuk tak mau membantu, begitu yang terpikir di benak Bu Sri. Ia sempat ke rumah Fian. Namun tak ada. Mencoba meneleponnya, nomor ponselnya sudah tak aktif. Hingga suatu sore, Bu Sri bersua dengan Fian depan penjual gorengan. Rumah Haji Jafar dan rumah Haji Jajuli itu masih satu RW, meski beda RT. Tentu saja, masih memungkinkan Bu Sri bersua Fian. Fian mencium punggung tangan Bu Sri dengan takjim. Ia pun memohon maaf lantaran tempo hari tak membantu kepindahan gurunya semasa di SMK itu. Bu Sri tersenyum bijak. “Tak apa-apa, lagipula... pindahan sementara,” ucap Bu Sri. “O ya?” tanya Fian heran. “Kenapa?” “Haji Jajuli minta seperti itu. Nanti, Ibu dan Bapak pindah lagi ko ke rumah kontrakan yang biasa itu, yang dekat dengan rumahmu. Dan kita tetanggaan lagi. Kamu ko jarang berkunjung ke rumah padahal dekat. Apa kamu sudah kerja?” Fian menggeleng. “Belum lagi, Bu. Sekembali dari Kalimantan, Fian menganggur. Pernah coba cari lagi kerja di sini, tapi susah...” “Mmmm, tak ada niat kuliah seperti Ray dan Dani?” Fian pun menuturkan rencananya. Minggu depan, ia akan menyusul kedua sahabatnya itu ke Jatinangor dan ia pun akan kuliah di sana meski di kampus yang berbeda. “Bukan kawasan Jatinangornya kalau rencana Fian, maksudnya... kampus yang Fian mau kuliah, bukan di situ, tapi nggak jauh dari situ. Jadi, bisa kos bareng-bareng sama Dani dan Fian,” jelas Fian. Bu Sri sangat mendukung rencana Fian. Lalu, ia mentraktir Fian gorengan. Dan membekali Fian, satu plastik gorengan. Fian pun berterima kasih. Besoknya, mereka bersua lagi. Kali ini di tempat yang jualan aneka jus. Bu Sri menawarinya lagi. Fian tak bisa menolak. Apalagi, ia paling suka ditraktir orang meski oleh gurunya sendiri. Mereka berdua minum jus sembari ngobrol-ngobrol santai. “Bu... apa Ibu betah tinggal di rumah Haji Jafar?” tanya Fian penasaran. Ia mendengar jika di rumah itu pun terkadang ada gangguan makhluk halus. Dan konon, pengganggunya sama dengan yang di rumah Haji Jajuli yaitu si Gembel, jin penunggu rumah yang suka usil. Melempar pasir atau melempar batu dari atas atap. Dan ulah lainnya lagi dari makhluk menyeramkan yang satu itu. *** Tatkala matahari terik menyengat, Bu Sri tiba di rumah Haji Jafar. Tanpa duduk, tangan kanannya menaruh di atas meja tamu--bungkusan berisi tomat sebanyak empat buah. Ia membeli seperempat kilogram tomat dari warung Ceu Adah. Lidahnya ngiller melihat tomat yang bulat dan berwarna merah menggiurkan. Rumah sepi. Ia beserta suami tercinta; telah dua bulan di rumah besar ini, sejak pagi sudah terbang ke tempat kerja yang sama di sebuah SMK. Namun, siang itu, Bu Sri pulang duluan. Pertama tak ada jadwal mengajar lagi. Kedua, karena tiba-tiba ingin segera istirahat, merebahkan badan. Dan suaminya, berjanji akan segera menyusulnya pulang setelah memberikan tugas pada murid-muridnya. Ingin menemani sang istri yang tengah ngidam. Pintu yang telah tertutup beberapa menit lalu terkuak lagi. Kepalanya menoleh. Pak Rahman, dengan masih berseragam guru, melempar senyum. “Ko tak denger suara motormu?” tanya Bu Sri. “Bengkel,” jawab Pak Rahman lalu mendekat pada Bu Sri yang masih berdiri. Matanya melirik bungkusan yang tergeletak di atas meja tamu. Keningnya terlipat. “Tomat, dari warung Ceu Adah,” jelas Bu Sri. “Kau mau makan tomat ini atau buat membuat sambal?” Pak Rahman menatapnya. Ia sangat hapal jika istrinya penyuka tomat. Meski tak hanya tomat buah tapi tomat sayur pun suka. Bu Sri mengangguk. Katanya, akan dimakan nanti sore saja. Kaki Bu Sri yang masih bersepatu masuk ke kamarnya yang letaknya di kamar utama. Pak Rahman mengikuti. Tidak ada lagi yang dilakukan setelah mengganti pakaian dinas dengan pakaian kebesaran khusus di rumah. Keduanya sudah sholat zuhur di mushala sekolah. Tak lama, dengkur halus keduanya terdengar. Pulas. Bu Sri ngidam anak pertama. “Kenapa tidak cari rumah kontrakan yang kosong? Kan rumah itu ditempati pemiliknya?” kata rekan guru Bu Sri di sekolah. “Tidak enak sama Haji Jajuli.” “Itu kan hak Bu Sri. Pindah ke mana pun, bebas. Dia tak punya wewenang melarang.” “Tidak apa-apa. Biar saja.” “Rumah yang sekarang ditempati Bu Sri tak jauh dengan yang pertama. Tua, kuno, dan agak angker.” “Ah, bagiku tak masalah…” “Masih banyak rumah kontrakan yang lebih bagus dari itu meskipun tidak luas. Dan terlebih… bisa ditempati berdua saja.” “Sudah kepalang dibayar dua tahun sama Haji Jajuli... dan kami tak ada waktu mencari lagi.” “Mendingan tinggal berdua agar lebih bebas…’ “Mak Hajah dan Pak Haji yang sekarang juga memberi kebebasan…” Bu Sri memang tak keberatan harus tinggal di rumah kontrakan meski bersama pemiliknya. Apalagi pemilik rumah yang sekarang, meskipun sudah tua namun tak rewel. Rumah itu ukurannya terlampau besar. Ditempati berempat saja masih terasa luas. Lalu setelah itu ada yang suka membicarakan hal yang aneh. “Eh, Bu Sri... apa tak takut tinggal di rumah tua itu? Rumah itu ada penghuninya, lho…” “Emang ada. Penghuninya Mak Hajah dan Pak Haji…” Bu Sri mengulum senyum. “Uh…” tampak sedikit kesal orang yang ingin membuat Bu Sri ketakutan sebab sepertinya Bu Sri tak mempan ditakut-takuti. Ia sebenarnya mendengar dari obrolan tetangga atau orang-orang yang hobi ngerumpi di warung sekitarnya, bahwa di rumah yang kini ditempatinya itu ada penghuninya dengan kata lain ‘penunggu’ dari bangsa selain manusia. Tak seperti di rumah Haji Jajuli, ia tak pernah mengalami kejadian aneh-aneh. Namun kini, ia kerap merasakan kehadiran makhluk lain di rumah itu. Ketika malam di atas pukul dua belas, sering mendengar seperti ada yang melempar pasir ke atas genting rumah. Tetangga yang hobi ngerumpi menjelaskan itu ulah si Gembel, jin penghuni rumah. “Yang penting tidak mengganggu...” begitu tegas Pak Rahman yang diiyakan Bu Sri. Malam-malam dilalui dengan perasaan nyaman saja meski suara si Gembel melempar pasir di atas atap rumah menjadi rutinitas hampir di saban malam Jumat. Nyatanya, mereka betah tinggal di rumah ini. Menempati kamar utama yang cukup luas, di dalamnya ada TV sehingga bisa menepis rasa suntuk jika hari di luar mulai gelap. Meski, untuk ke kamar mandi harus tetap melewati ruang tamu lalu ruang tengah yang luas, setelah itu ruang belakang yang sama luas, baru tiba di kamar mandi yang bersebelahan dengan dapur juga gudang. Memang, terkadang Bu Sri merasa takut juga jika harus ke belakang terlebih jika melewati gudang yang selalu tertutup. Sementara pemilik rumah menempati kamar kesekian, mereka berdua pun jarang bersua Bu Sri dan Pak Rahman. Bu Sri terbangun dari tidur siang tepat pukul enam belas. Tubuhnya segera bangkit, udara di dalam kamar terasa panas. Dilihatnya Pak Rahman masih tergolek. Bu Sri membangunkannya namun lelaki itu nampak masih enggan membuka matanya. Ia lalu keluar kamar bermaksud ke kamar mandi mengambil air wudlu. Lalu tiba-tiba ingatannya pada…. tomat! Matanya mengarah pada meja tamu namun bungkusan itu, tak ada. Kepalanya memutar, rasanya ia tak lupa, tadi menaruhnya di situ. “Kau cari plastik tomat?” tiba-tiba Pak Rahman sudah berdiri di dekatnya. “Kau yang memindahkannya? Tadi ada di meja.” “Tidak. Bukankah kita sama-sama masuk kamar, lalu tidur dan baru sekarang terbangun?” “Di mana ya, plastik tomat? “Kau tanya Mak Hajah atau Pak Haji…” “Mereka jarang ke ruang tamu. Jika ada keperluan ke luar rumah pun, selalu memakai pintu samping atau belakang rumah. Jarang bahkan tak pernah lewat sini. Mereka sangat menghargai kita dan tak mau mengusik ketenangan kita. Aku paham watak mereka.” “Sebaiknya kau tanyakan dulu demi membuat rasa penasaranmu terjawab. Jika tidak, abaikan saja.” Bu Sri bergegas ke ruang belakang. Di ruang TV, pemilik rumah tersenyum lalu Bu Sri menanyakan perihal plastik tomat. Mereka berdua mengatakan tidak tahu dan menegaskan sudah lama tidak masuk ke ruang tamu. Selepas sholat asar, Bu Sri terus memikirkannya. Jika ada yang memindahkannya, namun siapa pelakunya? pikirnya. Ia bersikeras menaruhnya di atas meja tamu. “Sudahlan, jangan dipikirin terus. Mau aku belikan?” Pak Rahman membujuk Bu Sri meski ia pun tak yakin menemukan penjual tomat. Namun Bu Sri, lagi-lagi menggeleng. Bukan perkara hilangnya, namun bingung mengapa tidak ada di tempat sementara pemilik rumah mengaku dengan tegas tidak pernah melihat apalagi sampai memindahkan dari posisi semula. “Atau… mungkin ada cucu-cucu Mak Hajah main kemari tadi sewaktu kita terlena tidur siang… lalu mereka mengambil tomat itu, dan memakannya,” Pak Rahman berseloroh namun alhasil selorohnya tak membuat bibir Bu Sri tersenyum. Semua cucu pemilik rumah tinggal di tempat jauh, jika sesekali pun berkunjung ke sini, tak pernah masuk ke ruang tamu. Lagipula sudah jelas, hari tadi tak ada yang berkunjung ke rumah besar ini. Berhari-hari tomat yang raib masih mengganggu pikiran Bu Sri. Pak Rahman sudah berusaha membujuk dan menghibur bahkan membawakan satu kilogram tomat apel untuk istrinya yang ngidam, namun tak membuat Bu Sri tertarik. Hingga suatu pagi di hari Minggu, Mak Hajah dan Pak Haji membuka gudang dekat dapur. Gudang yang selalu tertutup dan terkunci. Di dalamnya berisi perabotan lama. Kotor dan berdebu karena tak pernah dirawat. Bahkan dibuka kuncinya, setahun sekali pun tidak. Pagi itu tidak biasanya kedua pemilik rumah ingin bersih-bersih. Lalu berteriak memanggil Bu Sri dan Pak Rahman yang tengah bersantai menonton TV di kamar. Teriakan yang samar-samar tertangkap ke ruang depan. Sontak keduanya setengah berlari menuju ruang belakang. Mak Hajah meminta mengikutinya masuk ke dalam gudang. Hidung Bu Sri bersin-bersin kena debu yang memuakkan. Ruangan itu terang karena Mak Hajah menghidupkan lampu sejak awal bersih-bersih. Tangan perempuan tua itu menarik lengan Bu Sri menuju meja panjang tua yang terbuat dari kayu jati kualitas nomor satu. Bu Sri terkesiap mendapati apa yang berada di atas meja itu. Satu, dua, tiga, dan empat. Berjajar. Tomat. Berwarna merah segar. Entah siapa yang mengatur posisi jaraknya karena bisa sedemikian rapi. Plastiknya entah kemana dan Bu Sri yakin tomat yang dilihatnya sekarang itu pernah ditaruhnya di atas meja tamu tempo hari. Mendadak bulu kuduknya berdiri pagi itu. Terbayang pelakunya. Yang juga sering melempar pasir di atas atap rumah.***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD