POCONG

1830 Words
POCONG LANGKAH Fian tergesa-gesa menuju Pondok Surya Gemilang. Ia sengaja tak mengendarai motor. Dan motornya ditinggalkan di pelataran halaman pondokannya sepulang dari kampus siang tadi. Lalu, ia menuju Pondok Kurcaci sekalian makan siang di sana. Senja ini baru kembali dari tempat kos temannya itu, usai mengerjakan tugas kelompok bersama. Hari mulai gelap. Dilewatinya kamar demi kamar yang berada di bawah. “Baru pulang dari kampus?” seseorang mengagetkannya dari teras kamar yang ada di atas. Tanpa menoleh, Fian mengenal suara itu. Dani, sahabatnya. Tersenyum. Tampak segar usai mandi. Mengenakan celana jins hitam dan atasan kaus berwarna merah kesukaannya. Fian nyengir, tak menyahutnya lantaran tak tahan ingin segera buang air kecil. Selama di perjalanan pulang tadi, ia menahannya. Dan menahan buang air kecil itu tak baik, ia ingat ucapan itu. “Hati-hati, Fian. ‘Ntar di air ada…” ucap Dani terpotong. Fian menghentikan langkah. Kepalanya melongok ke atas. Dani tengah menatapnya sembari cengengesan. “Ada apa?” tanya Fian. “Hantu kamar mandi!” seru Dani lalu tertawa lebar. “Kamar mandi bawah nggak ada, kalau kamar mandi yang ada di dalam kamarmu... nah di situ ada! Lantaran, hantu itu bersemayam di situ! Hihihi!” Fian tak kalah mencandai Dani. “Sudah lenyap!” “Di mana ada hantu lenyap?” Fian masih menyahut. “Lenyap dan singgah di kamar mandi yang sekarang mau kamu masukin!” “Solat magrib!” suara Fian sedikit keras mengingatkan kendati dadanya mendadak berdegup. Kamarnya di atas. Satu deret dengan kamar Dani dan tak ada kamar mandi di dalam. Fian pun lebih suka ke kamar mandi yang berada di bawah. Ada beberapa ruang, jadi banyak pilihan. “Hehe... ya iya lah!” sahut Dani lalu berlalu menuju kamarnya. “Sekarang malam Jumat… baca Yassien, ya?” Fian masih berteriak. Kakinya gegas melangkah masuk kamar mandi yang kosong. Pintunya langsung terbuka. Kamar mandi di sebelah kanan juga sebelah kiri, pintuya tertutup rapat. Ia menduga, di dalamnya tentu sudah ada yang mengisi. Entah mau buang air kecil, buang air besar, mandi, atau sekadar mencuci sesuatu. Kalau yang hendak berwudlu, ada ruang khusus. Fian menelan ludah. Ya, ia tak akan lupa, usai buang air kecil, ia harus berwudlu dan solat Magrib. Tubuhnya tegak. Baru saja ditutupnya daun pintu dengan sebelah tangannya, Fian dikejutkan dengan suara dari kamar mandi yang ada di sebelahnya. Kamar mandi yang satu itu selalu dibiarkan lampunya padam oleh pemilik pondokan. Kalaupun mati, tak segera memasang lampu baru. Makanya penghuni pondokan malas masuk ke sana bila malam. “Hihihihihihihihih…” tiba-tiba ada suara tawa kecil. Serupa suara perempuan. Fian memasang kupingnya baik-baik. Lalu tersenyum kecut. Di pondokan ini, ada beberapa kamar yang disi oleh penghuni baru berjenis kelamin perempuan. Namun, Fian belum mengenal semuanya. Kalau pas tiba di pondokan, tak sempat bertemu. Dan kalau malam, banyak mengurung diri di kamar masing-masing usai makan malam di luar maupun dibawa ke dalam kamar. Baru saja Fian buang air kecil, membasuh daerah terlarangnya, dan menutup ristluiting celana jins-nya, suara perempuan itu terdengar lagi. Serupa tadi. Tawa kecil. Hihihi. Benarkah suara perempuan? Tiba-tiba Fian meragukan itu suara perempuan asli lantaran Dani terkadang bisa menyerupai suara perempuan. Jika tengah bercanda yang kelewatan. Ia tahu karakter Dani yang hobi berkelakar. Dan terkadang suka menakut-nakuti teman. Bisa saja Dani turun dan masuk kamar mandi sebelah lalu mengganggunya, pikir Fian lagi. “Dani, jangan usil!” seru Fian kesal. Tak ada sahutan. Fian mengerutkan kening. Sedang apakah Dani di kamar mandi sebelah? Tak ada suara air. Pintunya pun tadi tak sempat terdengar. Tak ada langkah. Ia menelan ludah. Masa bodohlah, pikirnya. Namun beberapa detik kemudian…. “Hihihihihihihihihihhh…” suara itu terdengar lagi, lebih panjang. Fian tersentak. Suara itu bukan suara Dani. Ia yakin sekarang. Kalau tadi, ya mirip suara Dani yang dimirip-miripkan suara perempuan. Kalau sekarang, serupa suara perempuan asli. Namun seperti suara perempuan asing dan terdengar menyeramkan. Bulu kuduk Fian pun terangkat. Segera ke luar. Namun rasa penasaran menyelusup dalam hatinya. Dilirik dengan ekor matanya pintu kamar mandi yang tadi terdengar suara perempuan, tertutup. Tak ada tanda-tanda ada orang di dalam. Bulu kuduknya merinding. Ia pun menuju tempat khusus berwudlu. Sudah tak ada orang di sana. Ia sendirian. Membasuh tangan, wajah, dan bagian tubuh lainnya dengan perasaan tak karuan. Agak-agak takut. Masih terngiang-ngiang suara perempuan tadi. “Weeeeeyyy!!!” Jantung Fian nyaris copot. Tahu-tahu Dani berdiri di hadapannya ketika baru saja membalikkan tubuhnya. “Hahahaha… kaget, ya?” Dani tertawa nikmat. Fian melotot. “Ngapain sih kamu ko pake nyusul aku kemari?” “Buat mastiin, kamu keluar dari kamar mandi dengan selamat apa nggak,” kalimat Dani membuat dua alis Fian terangkat. Ia tak mengerti maksud Dani. Belum dua bulan Pondok Surya Gemilang dihuninya. Jadi, ia tidak tahu ada apa di sini. Baginya, pondokan ini cukup bersih, terdiri dari empat kamar, dimana banyak kamar kosong dan membuat penghuni yang kesemuanya mahasiswa merasa betah, dan induk semangnya sangat baik dan ramah. Biaya sewa per bulan pun cukup murah malah ada tawaran diturunkan hingga banyak penghuni enggan pindah. Meski di pondokan ini pun masih banyak kamar yang kosong. “Siapa yang tadi cekikikan di kamar mandi sebelah?” pancing Fian disergap penasaran yang sangat. Dani mengulum senyum. “Yang pasti bukan aku,” jelas Dani. Fian menghela napas pendek. Dani mengendikkan bahu. Fian melangkahkan kaki meninggalkan Dani yang melongo, merasa heran menyaksikan Fian yang seperti sudah bertemu dengan ‘makhluk menyeramkan’. Namun, ia pun curiga. Ataukah… Ah, Dani menggelengkan kepala. Jangan sampai Fian tahu, Dani berharap. Kalau sampai tahu, yang rugi Dani. Ia tak bakalan punya teman dekat yang mudah diatur seperti Fian.Sementara Ray, susah diajak kerja sama. Ray acap pergi ke tempat kos teman-teman yang lain. Meninggalkan Dani bahkan tak mau mengajak. Itu yang bikin Dani terkadang kesal pada Ray, padahal mereka bukan hanya satu kampus, tapi satu fakultas, satu jurusan, bahkan satu kelas. Ray tak peduli ketika Dani menuturkan kejadian-kejadian menyeramkan di kamar Dani. Ray cukup bilang, ‘abaikan saja’, hantu itu emang ada di sekitar kita’. Ah, Dani jadi resah khawatir Fian pindah jika tahu di pondokan ini ada hnatunya. Setelah berada di kamar, Fian menghidupkan lampu. Dihelanya napas. Gara-gara mendengar suara hihihi itu, ia jadi kepikiran terus dan dihantui suara menakutkan itu. Apalagi kalau sampai menunjukkan wujudnya, hiiiiii... bahunya bergidik. Fian menitip sebungkus nasi lengkap lauk pauknya pada Dani yang ke luar pondokan. Ia menolak ikut. Dan memilih menunggu di dalam kamarnya. Hanya berselang dua puluh menit, Dani muncul dan memberikan sebungkus nasi dan ikan goreng plus sambal tomat. Dani berlalu tanpa berkata apa-apa. Sementara Fian makan malam sendiri, Menikmatinya meski terngiang-ngiang lagi suara tawa perempuan di kamar mandi sebelah, Ia menyesal ke kamar mandi itu tadi. Biasanya menjelang malam, ia ke kamar mandi yang di atas. Kamarnya memang di atas. Usai makan, ia termenung sesaat. Ia akan menghabiskan malam Jumat ini dengan bermain game di laptop saja. Sampai jam delapan, Fian asyik bermain game. Malam Jumat yang tak sepi. Para penghuni banyak yang menghabiskan waktu di ruangan TV. Bercengkrama diselingi tawa ngakak entah apa yang ditertawakan. Fian tak berniat berbaur. Lagi malas. Perutnya benar-benar kenyang, tak minta diisi lagi. Main game sendirian di kamar makin seru. Suara tawa masih menggema di ruang TV yang tak jauh dari letak kamarnya, hanya terhalang empat kamar. Angin dingin menyelusup lewat jendela yang masih terbuka. Meniup kuduk Fian. Dingin. Fian tiba-tiba merasakan sesuatu. Seperti ada seseorang yang hadir di kamarnya. Diedarkan pandangannya ke penjuru kamar. Entahlah, ia semakin merasakan sesuatu. Angin yang meniupnya terasa lain. Bukan tiupan biasa. Segera bangkit, lalu menutup jendela, rapat. Jarum jam pendek yang nemplok di beker yang ada di samping laptop, mengarah ke angka sebelas. Suara teman-teman penghuni pondokan semakin berkurang. Satu persatu dari mereka mulai beranjak dari sana dan menuju kamar masing-masing, untuk sekedar merebahkan diri. Sebagian mulai merajut mimpi. Akhirnya, tak terdengar suara satu manusia pun. Hening. Dingin kembali menggigit kulitnya. Dimatikan laptop yang sudah berjam-jam menemaninya. Setelah mematikan lampu, direbahkan tubuhnya di atas kasur busa. Mulai dipejamkan mata, tetapi kantuk tak mau menyergapnya. Namun dipaksakan. Ia ingin melewati malam yang rada menyeramkan ini dengan mimpi indah, bukan mimpi bertemu setan seperti yang disaksikan di film-film horor. Kamar sepi. Hanya detak jarum yang terdengar. Pondokan sepi. Tak ada suara apapun kecuali daun-daun yang tertiup angin. Fian membuka mata setelah dirasa tak juga mengantuk. Gelap. Hanya hitam pekat yang terlihat di kamar. Ia tak biasa tidur dengan cahaya lampu walaupun sedikit. Dan cahaya lampu di teras kamarnya kadang mengganggu. Biasanya ia memadamkannya kalau semua penghuni di deretan kamarnya dipastikan tertidur lelap, agar tak diprotes. Namun malam ini, tubuhnya enggan beranjak. Tiba-tiba matanya menangkap sesuatu di pintu. Berwarna putih, panjang. Dibelalakkan lagi matanya. Sebuah kemeja berlengan pajang berwarna putih memang dibiarkannya sengaja tergantung di kapsok di belakang pintu. Mungkin, besok akan dicucinya sepulang dari kampus. Namun hei…. Ia merasa ada yang aneh dengan penglihatan matanya kali ini. Dikuceknya kedua matanya lalu menatap yang tergantung itu. Dahi Fian mengernyit lagi Menatap saksama lagi. Pada kemeja putih. Mengapa seperti bergerak? Angin? Tak mungkin. Kepalanya sesaat mengeleng. Jendela sudah tertutup rapat sejak tadi. Fentilasi pun tak memungkinkan angin menyelusup. Tatapannya samar. Kemeja itu pun kurang jelas terlihat karena ruangan gelap. Itu pun terbantu oleh cahaya lampu dari teras. Kain putih itu semakin bergerak. Bulu kuduk Fian mendadak terangkat. Rasa kantuk menghilang. Perasaan takut mulai menjamahnya. Ingin dipalingkan kepalanya, namun terasa susah digerakkan. Matanya pun tak bisa dipejamkan. Untuk sekadar mengalihkan pandangan saja, susahnya luar biasa. Matanya terus terpusat pada kain panjang yang bergerak-gerak lagi. Tiba-tiba tersentak. Ia baru ingat, bukankah kemeja putihnya yang itu ada di lemarinya, terlipat rapi bersma kemeja-kemeja yang lainnya. Lalu, kain putih apa yang tergantung di belakang pintu dan sekarang tengah bergerak? Apa? Apa? Apa? Dadanya mendadak berdegup keras. Keringat dingin mulai bercucuran membasahi wajah, leher, dan bagian tubuh lainnya. Berselimut untuk menghindari? Ups, selimut masih terlipat rapi di dekat kakinya dan tangannya tak mungkin menggapai, tak ada kekuatan. Kakinya pun kaku. Ingin berteriak, mulutnya terkunci rapat. Ingin menangis, suara tak keluar juga. Ia juga sadar dirinya seorang laki-laki, masa menangis, cengeng amat, pikirnya lagi. Suasana hening. Di luar, tak ada tanda-tanda orang masih melek. Sepi seperti di kuburan. Di dalam kamar, suasana semakin mencekam. Akhirnya mulut Fian bisa bergerak, namun suaranya masih belum bisa keluar. Dicoba lagi. Dipaksakan. Mulailah melafalkan doa, namun masih sulit. Tatapannya belum bisa lepas dari kain putih yang bergerak. Kain itu semakin jelas terlihat walau gelap. Tinggi, setinggi tubuh manusia. Terbungkus seperti guling. Fian menatap ke bagian atasnya. Kepala yang di atasnya ada talinya. Tubuhnya tak bergeming tak bisa digerakkan. Mulutnya terkunci lagi. Rasa takut kian menguasainya. Makhluk yang berbentuk menyerupai guling di balik pintu itu mengawasinya. Menatap Fian yang terbujur kaku seperti mau menelannya. Malam semakin beranjak. Fian menembus detik demi detik dengan lambat. Terpasung dengan ketakutan yang maha sangat. Hingga akhirnya mulutnya pun terbuka dan ayat-ayat suci Al- Qur’an mulai dilantunkan dengan suara bergetar. Ketika terdengar sayup-sayup dari masjid yang jauh, suara orang Tahrim, makhluk itu pun tiba-tiba menghilang. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD