Liburan yang Sebenarnya, Meski Masih Ada Suara-suara Aneh

2019 Words
Liburan yang Sebenarnya, Meski Masih Ada Suara-suara Aneh PERJALANAN wisata yang begitu menyenangkan bagi mereka. Apalagi itu pengalaman pertama berwisata ke tempat-tempat yang sebelumnya hanya menjadi bayangan atau mimpi mereka semata. Kala di Wonosobo, mereka puas menghabiskan seharian penuh di Candi Dieng. Menghalau udara yang sangat dingin dengan membalut tubuh mereka dengan jaket tebal, celana jins, berkaus kaki dan sepatu. Tak lupa penutup kepala. Makan jagung rebus, berkunjung ke rumah salah satu keluarga pasien Wak Dulah. Bu Bagyo, seorang janda setengah baya, perempuan bertubuh gemuk dan pendek yang menyambut hangat kedatangan mereka. “Bu Bagyo meminta kita menginap di sini,” ucap Ray seraya melirik pergelangan kirinya. Pukul lima sore. Terbayang perjalanan pulang turun ke kota Wonosobo tentu harus melintasi jalanan sempit yang di kanan kiri jurang juga panjang. Berkabut. Ah, Ray sesaat membayangkan kengerian. Bagaimana jika tiba-tiba mobil yang mereka tumpangi jatuh ke dalam jurang? Namun, segera ditepis bayangan buruk demikian, melihat senyum Bu Bagyo dan perempuan itu menghampiri Ray di ruang keluarga. Aneka makanan khas tersaji di meja berbentuk segiempat. Salah satunya, kentang berukuran sebesar kelereng yang digoreng dan dibaluri bumbu merah. “Bagaimana, mau ya?” tanya Bu Bagyo sekali lagi. Ray menatap perapian di sudut ruangan. Alangkah asyiknya jika menghangatkan badan di depan situ. “Biar semalaman kalian bisa merasakan sensasi dingin di daerah ini,” kata Bagyo. “Kalau dingin, berselimut kan… atau duduk dekat perapian.” “Kalau Ray… gimana teman-teman saja… juga gimana Pak Sopir,” Ray melirik ketiga temannya satu per satu lalu beralih pada Dirman, salah satu sopir Wak Dulah yang tak terlalu banyak bicara lantaran letih. “Aku… mau, Ray,” Dani yang pertama menjawab. Fian tampak berpikir dulu tapi lalu menganggukkan kepalanya yang mengenakan kupluk hitam. “Aku juga mau, kapan lagi kita bisa berkunjung ke sini kalau tidak sekarang?” “Aku ikut kalian saja,” Dirga buka mulut. “Pak Sopir… gimana?” Ray menatap Dirman. “Saya sih… oke-oke saja, Ray,” jawab Dirman sembari tersenyum. Lalu tangannya mengambil gelas yang berisi wedang ronde. Diseruputnya pelan-pelan. “Bu Bagyo… makasih wedang rondenya, uenak tenaaaan…” “Silakan, silakan… kalau begitu, saya mau suruh si Bibi beresin tempat tidur kalian,” Bu Bagyo beranjak lalu masuk ke ruangan lain. Hanya Dirman yang tidur di kamar berbeda, sedangkan Ray dan ketiga temannya di kamar yang sama. Ranjang tua yang berukuran besar hingga bisa memuat tidur empat orang. Apalagi tubuh Ray dan teman-temannya hampir sama, kurus dan tinggi. Hanya Dirga yang tubuhnya agak subur di antara mereka. Ranjang itu berkelambu seperti ranjang-ranajang model jaman dulu yang suka dilihat dalam film jaman dulu. Atau film masa kini tapi berlatar masa silam. Selepas makan malam dan solat isya, mereka berempat sudah merebahkan tubuh di atas ranjang. Berhimpitan. Semua berpakaian tebal, tak lupa kaus kaki membungkus kedua kaki untuk menghalau dingin. Bu Bagyo pun memberikan dua selimut besar berbulu panjang yang bisa membuat nyaman tidur lantaran tubuh akan merasa hangat. Rumah Bu Bagyo juga bukan rumah model sekarang. Namun rumah kuno yang terawat apik. Jendelanya tampak model lama sekali. Berkaca dan rangkap dengan jendela luar yang seluruh permukaannya dilapisi kayu jati dan sebagian dibuat sela-sela hingga bisa keluar masuk udara. Pukul dua puluh satu tepat, mereka berempat sudah terlelap. Letih selama seharian penuh menghabiskan waktu juga lantaran cuaca dingin yang berpotensi membuat mata cepat mengantuk. Ponsel mereka pun sengaja dimatikan. Lagipula, sinyal daerah situ terkadang jelek hingga komunikasi dengan orang di luar jangkaun, sulit terdeteksi. Akhirnya mereka pun memutuskan untuk beristirahat, tak sibuk memainkan jari-jari di atas layar ponsel. Tepat pukul dua belas malam, mata Fian sontak terbangun. Telinganya menangkap suara di jendela. Serupa kuku-kuku tajam tengah mencakar-cakar kaca jendela. Dahinya berkerut. Ruangan kamar tak terang juga tak gelap. Namun, lampunya sangat redup. Mata Fian tak bisa menangkap untuk memastikan suara apa yang terdengar. Namun, ia yakin, suara itu datangnya dari jendela kamar. Kaca jendelanya. Bukan jendela bagian luar yang terbuat dari kayu. Bukan. Bukan itu. Namun kacanya. Trek. Trek. Trek. Dadanya berdegup. Jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Ia tidur paling pinggir dari arah kiri hingga langsung bersisian dengan ranjang bagian depan. Dan berhadapan dengan jendela kamar kendati ada jarak dua meter dari ranjang ke batas jendela. Namun, matanya jelas melihat kaca jendela yang bergetar. Seolah ada yang tengah menggetarkannya. Lalu digaruk-garuk. Seperti kuku-kuku panjang yang tengah menggaruk-garuk kulit yang gatal. Matanya terus mengawasi meski dengan perasaaan tak karuan. Tetap tak berhasil. Ia tak melihat apa-apa selain kaca yang sedikit bergetar. Tak ada wujud yang menyeramkan seperti cerita teman-temannya tempo hari. Dadanya masih berdegup. Suara getaran kaca jedela masih ada. Matanya baralih. Melirik ke arah teman-temannya. Mereka bertiga tergolek pulas di bawah selimut tebal. Tampak olehnya, semua temannya tengah bahagia dibuai mimpi yang mungkin sangat indah dan menyenangkan. Mengapa selalu ia yang melewati malam menyeramkan? pikirnya nelangsa. Malam-malam lalu, ia pun mengalami malam tak menyenangkan. Malah menakutkan. Tatkala telinganya menangkap suara perempuan yang tengah bersenandung lalu memanggil-manggil namanya. Malam berikutnya, dialaminya hal serupa. Ia masih tak bisa lelap tidur karena selalu terusik dengan makhluk-makhluk yang doyan mengusik jiwa manusia. Sementara, teman-temannya tampak anteng, lelap, mimpi, kemudian terbangun dengan tenang di saat yang wajar. Kenapa ia yang harus mengalami semua? Kenapa harus dirinya sendiri? Tidak dialami bersama teman-temannya? Apakah indah melewati malam di samping nisan yang entah nisan siapa? Di mana sekeliling ruangan disekat kain kafan. Lalu kini, setelah ia terlepas dari kamar mengerikan itu dan mencoba menikmati liburan yang sebenarnya, ia pun ingin menikmati malam dalam ranjang berkelambu. Tanpa gangguan apa pun. Namun, tiba-tiba kaca jendela bergetar. Digaruk-garuk. Digetar-getarkan. Entah siapa yang melakukannya yang pasti ia kian yakin, itu perbuatan hantu atau sejenisnya. Yang doyan mengganggu ketenangan manusia. Yang suka sekali membuat manusia seperti dirinya merana dalam ketakutan yang panjang. Dalam ketakutan yang nyata, Fian masih menggerutu kendati sebatas dalam hati. *** “Ini masih kota Wonosobo, Pak?” tanya Ray pada Dirman, sesaat setelah mobil bergerak meninggalkan pusat kota. “Ya… nanti kita akan lewat kota Temanggung.” “Belum sampai ke Magelang?” “Habis Temanggung baru masuk kota Magelang.” “Di Magelang… ada candi apa saja, Pak?” tanya Ray antusias. “Ada Candi Umbul di kotanya. Terus ke sananya ada Candi Borobudur itu kan…” “Oh, Candi Borobudur itu masuk kota Yogya ‘kan?” Ray melirik Dirman. Sementara teman-temannya duduk di belakang. Malah Dirga tampak tertidur. “Borobudur itu kota kecamatan yang masuk Magelang,” jelas Dirman. “Ouh… baru Ray tahu,” ucap Ray. Tangan kanannya membuka botol air mineral. Lalu meneguknya. Terasa segar melewati kerongkongan yang sebelumnya agak kering karena gerah berada dalam mobil selama perjalanan dari Batur hingga meninggalkan Wonosobo. Mobil melewati Temanggung tapi tak berhenti di kota itu. Ray ingin segera sampai di kota Magelang dan melihat Candi Umbul. Akhirnya, mobil yang membawa mereka pun sampai di tempat yang dituju. Tak lama di situ, lantaran perut mereka mulai minta diisi. Lalu mencari rumah makan Kapau, atas permintaan Dani yang doyan banget masakan Sumatera Barat terutama rendang dan balado terung ungu. “Kita cari masjid dulu untuk solat zuhur,” Ray mengomando. Mereka pun beristirahat di masjid selama satu jam. Setelah Dirman kembali siap mengemudikan mobil kembali, mobil pun meluncur menuju kawasa Borobudur. Ray takjub dengan situasi di jalan Syailendra Raya. Baru pertama kali, ia menginjakkan kaki di situ. Ray mengajak Dani dan yang lainnya turun. Udara panas tak dirasanya. Keringat yang mengucur pun tak membuatnya berhenti berjalan-jalan mengitari. ”Mobil… saya titip saja di rumah Pak Haji Dulah,” kata Dirman. “Rumah Abah?” Ray mengerutkan kening heran. Setahunya, rumah Wak Dulah itu di Banjarnegara dan satu lagi di Wonosobo yang sekaligus tempat praktik pengobatan segala jenis penyakit luar dan dalam. Dirman, laki-laki berusia tiga puluh tahun itu mengangguk. “Rumah Abahmu.” “Ray baru tahu ternyata rumah Abah lebih dari dua, ya?” “Lebih dari tiga. Empat. Lima. Enam. Mungkin lebih,” jelas Dirman. “Waaaah, Ray banyak ketinggalan info,” sesal Ray. Dirman tersenyum. “Nanti sehabis kita jalan-jalan di Candi Borobudur, kita singgah di rumah Abah. Tak jauh juga ko dari terminal. Sekarang, saya pamit simpan mobil dulu, ya?” “Oke,” balas Ray. Ia pun berbaur lagi dengan Dani, Fian, dan Dirga. Berjalan-jalan sekitar situ. Hanya lima belas menit, Dirman sudah kembali. Mereka berlima berangkat ke candi terbesar di dunia, menyusuri jalanan yang cukup ramai. Tiba di candi, sudah sangat ramai. Udara pun terasa sangat panas. Keringat mengucur tubuh masing-masing. Tenggorokan terasa haus terus. Sedikit-sedikit menenggak air mineral hingga isinya tandas. Dani membeli lima minuman dingin dari penjual asongan. Lalu mereka pun naik candi, berkeliling, hingga tiba di puncak. Sesekali berfoto. Terik mentari yang kian menyengat tak dirasanya. Sangat puas bisa mengunjungi salah satu keajaiban dunia. Tak terasa, menjelang sore. Mereka pun berjalan kaki meninggalkan pelataran candi. Tetap berjalan kaki hingga tiba depan sebuah rumah tua yang dibilang Dirman, itu rumah Wak Dulah. Dirman membuka pintu depan. Terbuka. Lalu memersilakan Ray dan ketiga temannya masuk. Ruangan yang adem. Sanggup menghilangkan lelah selama berjalan-jalan di bawah terik mentari siang. Mereka pun duduk berkeliling di kursi yang berada di ruang tengah. “Pak Dirman dapat kunci rumah ini dari siapa?” tanya Dani. “Tadi ketika simpan mobil di garasi, ya sekalian minta kunci dari penjaga rumah ini. Bi Nyai. Rumahnya di samping rumah ini. Dia yang menjaga dan merawat rumah ini. Nanti, dia akan ke sini menyiapkan makan malam untuk kita semua.” “Kita menginap di sini?” tanya Ray. “Ya, Ray. Sekarang sudah sore. Ketimbang kita menginap di losmen, kan butuh biaya,” jelas Dirman. “Tapi… itu juga kalau kalian mau. Kalau tidak, ya di losmen juga, ayo…” “Duh, kalau losmen bukannya nggak mau, Pak,” Dani mencoba menyanggah. “Tapi takutnya uangnya nggak cukup.” Ray tersenyum. “Oke, kalau begitu, kita setuju malam ini menginap di sini. Lagian ini rumah Wak Dulah juga. Besok pagi, kita melanjutkan perjalanan wisata kita.” “Sip…” “Sepakat.” “Siap.” “Cuaca di Borobudur panas banget, ya?” ucap Ray seraya melepas jaketnya. “Kita mandi yu?” Teman-temannya mengiyakan. Tubuh terasa segar setelah mandi dengan air dingin. Langit terpasung malam. Bi Nyai sudah menggelar makanan untuk disantap di atas tikar yang cukup lebar. Nasi putih, pindang telor, gudeg, ati ampela, pelecing kangkung, dan tempe bacem. Ray berbisik pada Dirman, Bi Nyai sanggup menyiapkan makan malam yang banyak itu uangnya bagaimana, apakah Ray dan teman-temannya harus iuran atau memberikan uang yang diberikan Wak Dulah pada Dani. Dirman tersenyum bijak. Katanya, Bi Nyai suka ditransfer uang bulanan dari Wak Dulah sekaligus untuk menjamu jika kedatangan tamu ke rumah itu. Barulah Ray paham. Betapa ia merasa beruntung bisa mengajak teman-temannya berlibur dengan serba gratis. Ia merasa sangat berterima kasih pada Wak Dulah yang sudah begitu baik. Bukan hanya padanya tapi pada teman-temannya. Yang diberi kesempatan menikmati liburan dengan fasilitas yang memuaskan. Tak ada uang sedikit pun keluar dari kantong pribadi. Semua dibiayai Wak Dulah. Teringat itu, Ray sangat ingin membalas budi baik Wak Dulah. Namun, ia tak tahu harus dengan cara bagaimana. Malam itu, mereka kembali tertidur lelap meski udara gerah. Temasuk Fian baru merasakan lelap setelah malam-malam sebelumnya acap terusik oleh suara-suara menyeramkan. Yang sanggup membuat bulu kuduknya merinding. Namun, malam ini, giliran Dirga. Tatkala, matanya terpejam dan dibuai mimpi, telinganya mendengar suara langkah sepatu dari ruang atas. Rumah ini memiliki ruang atas yang tak luas. Ruang yang tentu saja kosong. Dan ia yakin, dari ruang atas suara langkah bersepatu itu. Namun, siapa yang melangkahkan kaki di ruangan itu? Pikirnya, lantaran Dirman dengan tegas mengatakan jika di rumah ini tak ada siapa pun kecuali mereka berlima. Bahkan, Bi Nyai pun tak pernah menginap. Apalagi sampai masuk ruangan atas pada malam hari. Toktaktoktaktoktak. Langkah itu. Bersepatu. Tertangkap telinga Dirga. Matanya kembali terpejam seraya menahan rasa takut yang kian menyerangnya. Toktaktoktaktotak. Masih melangkah. Langkah yang bersepatu. Entah siapa. Yang pasti bukan manuisa. Tak mungkin manusia. Lantaran tak ada manusia di rumah ini selain mereka berlima. Apalagi di ruang atas. Ya, ya, ya. Itu langkah bukan langkah manusia. Namun, langkah hantu.***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD