Orang Pilihan

1988 Words
Orang Pilihan MALAM bergerak lamban. Fian tengah dilanda gelisah dalam sekian jam. Kendati matanya terpejam. Sementara semua temannya sudah terlelap dalam buaian mimpi. Malah terdengar dengkur halusnya. Bunyi cecak di dinding saling berkejaran. Dari luar rumah, suara angin mendesau, daun-daun saling bergesekan. Hewan-hewan malam berbincang memecah sunyi. Lagi-lagi, Fian mendesah. Matanya dipaksakan terpejam. Rasa kantuk tak juga bisa dijamahnya. Padahal, sudah lewat pukul nol-nol. Fian kian gelisah. Sesaat, matanya terkuak. Lalu melirik teman-temannya. Ray terbaring di samping kiri nisan, lalu dirinya. Di samping kanan nisan, terbaring Dani lalu Dirga. Lampu ruangan kamar menyala tapi redup. Mereka berempat tidur di ruang yang disekat kain putih semua. Sebenarnya, Fian ingin berontak agar tak tidur di ruangan ini terutama dalam ruang bersekat. Namun, ia takut menolak perintah Wak Dulah. Sementara, ketiga temannya tampak tak mempermasalahkan. Terlebih, mereka bertiga ingin menguji nyalinya sendiri. Sejauh mana keberaniannya. Selain itu, untuk mengikis sifat penakut yang ada pada mereka bertiga lantaran Ray pun mengakui, jika rasa takut itu pun sesekali dirasakannya. Terlebih, jika godaan makhlus halus itu datang. Mata Fian kembali dipejamkan lalu mencoba menjemput kantuk. Namun tak bisa. Dicoba sekali lagi. Dikosongkan pikirannya. Tetap tak bisa. Ia kembali mendesah resah. Teringat tengah berada dekat nisan. Nisan siapakah? pikirnya dengan rasa takut yang mulai membalurinya. Apa yang ada dalam benak Wak Dulah hingga di dalam kamar saja ada sebuah nisan? pikirnya lagi dengan rasa kesal. Kenapa bukan Ray saja yang disuruh tidur di sini sendirian tanpa harus melibatkan teman-teman lainnya termasuk dirinya? Pertanyaan memberondongnya dan menyalahkan Wak Dulah. Ia ingin menolaknya. Ingin menegaskan tidak. Tak mau tidur di kamar ini apalagi dalam ruang bersekat putih. Kain putih mengelilingi ruangan yang ada nisannya. Hiiiih, bahunya bergidik ingat kain putih itu kain yang sama dan biasa digunakan untuk membungkus jenazah. Kain kafan. Hiiiiiiiiii, lagi-lagi bahunya bergidik. Sarung yang membungkus tubuhnya, ditarik ke atas agar menutupi kepalanya. Kedua kakinya sengaja digulungkan dan untuk menghindari rasa dingin yang menggigit kulitnya. Sayup-sayup, menyelusup pada telinganya. Suara perempuan tengah bersenandung. Entah tembang apa. Namun, berhasil membuat bulu kuduk Fian terangkat. Semakin suara itu terdengar, semakin kuduknya merinding. Siapa perempuan yang bersenandung tengah malam? Kalau bukan perempuan tak waras tentu saja hantu. Ya, hantu, siapa lagi, masa ada manusia bernyanyi malam-malam. Pasti hantu, ya hantu, seperti yang pernah dilihatnya dalam film-film horor. Hiiiiiiiiiii, tubuh Fian gemetaran. Keringat mulai membasahi bagian-bagian tubuhnya. Suara perempuan yang tengah bersenandung masih terdengar kendati sayup-sayup. Lalu, berubah sengau. Dan memanggil nama Fian. Tubuh Fian kian gemetaran. Keringat mengucur. Membasahi kaus merah hati yang membungkus tubuhnya. Ingin rasanya meminta tolong pada siapa saja. Namun lidahnya sulit digerakkan. Bahkan mulutnya tak sanggup memanggil nama Ray, Dani, atau Dirga. Kedua tangannya pun mendadak sulit digerakkan untuk menyentuh tubuh Ray. Membangunkannya. Kedua tangannya benar-benar seolah berhenti berfungsi. Senandung itu terdengar lagi. Malah kian terdengar dekat di telinga. Bukan hanya sayup-sayup. Diselingi memanggil nama Fian lagi. Fiaaaaaaaannnn…. Tubuh Fian bergoyang-goyang. Namun, kedua tangan terasa dingin membeku dan kian sulit digerakkan. Bibir bergerak tapi mulut sulit mengeluarkan kalimat meski hanya satu kata. Keringat mengucur lagi. Fian gelisah. Fian ketakutan. Suara itu. Suara perempuan. Suara senandung. Membuat bulu kuduknya merinding. Ia kian yakin, itu suara hantu. Hantu perempuan. Rasa takut menggulungnya. Malam dirasa mencekam. Ia menyesal mau tidur di kamar ini. Dekat dengan nisan yang entah nisan siapa. Yang pasti, dalam nisan ini terbujur mayat. Aaaaaah, tubuhnya berusaha menelungkup. Namun malah resah. Ketakutan menyergapnya dengan sangat. Suara itu masih terdengar. Bersenandung. Lalu menyebut nama Fian. Bersenandung lagi. Menyebut lagi nama Fian. Begitu seterusnya. Nyaris tanpa jeda. Telinganya nyaris bolong lantaran suara-suara itu yang dirasanya memekakkan telinga. Entah pukul berapa, ia baru bisa tidur. Tentunya, setelah suara-suara itu berkurang hingga lenyap sama sekali. *** “Sudah tiga malam kita menginap di tempat ini, tidur di kamar ini, dalam ruangan bersekat kain kafan dan di samping nisan, Ray… kapan kita bisa menikmati liburan dengan mengunjungi tempat wisata?” ucap Fian dengan nada setengah kesal. “Fian benar, Ray. Kalau begini terus, ini bukan menikmati liburan. Tapi berlatih menahan diri melawan rasa takut,” Dirga menambahkan. “Aku sepakat dengan Fian dan Dirga,” ucap Dani. “Meski kita berniat uji nyali, itu hanya sesekali… kan nggak harus tiap saat. Ini… kita malah terkurung di tempat ini. Sepanjang hari, kita ikut sibuk melayani para tamu yang rata-rata pasien kakekmu. Kapan waktunya kita berliburan?” Ray menghela napas. “Aku mengerti perasaan kalian juga kekesalan kalian. Kalau mau jujur, aku pun merasaka hal yang sama seperti kalian. Aku juga sama… ingin berlibur yang menyenangkan.” “Ya, namanya berlibur itu harus menyenangkan. Main ke pantai, ke tempat-tempat wisata lainya. Kita ke sini… untuk menikmati liburan bukan untuk ditakut-takuti!” ucap Fian lagi. “Aku paham, Fian,” ucap Ray pelan. “Kalau kamu paham, seharusnya kamu bicara sama Wak Dulah! Bilang kalau kita mau berlibur!” Dani tampak kesal. Raut mukanya keruh. “Ya, nanti aku bicara,” ucap Ray. “Jangan nanti-nanti, tapi sekarang!” kata Dani. “Sebagaimana janji kakekmu yang akan mengajak kita berlibur ke banyak tempat wisata. Ke candi-candi yang tersebar di beberapa kota. Semisal tak bisa berlibur seperti itu, aku lebih suka tetap di Cipanas. Di sana, banyak tempat wisata yang murah bahkan gratis. Banyak tempat yang belum kita kunjungi,” jelas Dirga. Ray terdiam. Ia menyadari kekesalan teman-temannya. Ia tak marah apalagi merasa tersinggung dengan semua ucapan teman-temannya. Toh, memang benar. Tiga hari melewati hari-hari yang monoton. Sementara, Wak Dulah tampak anteng saja. Menghadapi pasien-pasiennya. Padahal menurut Ray, Wak Dulah bisa saja menyuruh sopirnya untuk mengantar Ray dan ketiga temannya mengunjungi beberapa tempat wisata. Apalagi sopir Wak Dulah bukan hanya satu orang. Ada tiga orang. Semua tak banyak pekerjaan selain melayani Wak Dulah. Itu pun hanya sesekali. Lantaran selama tiga hari di dusun ini pun, Wak Dulah tak banyak bepergian. Terkecuali malam-malam bersama Pak Guru dan Pak Agus, mereka bertiga terkadang pergi ritual di sebuah gunung yang tak jauh dari kawasan sini. Sekitar pukul satu, ketika Wak Dulah sudah makan siang dan istirahat tak melayani pasien-pasiennya lagi dan dialihkan penanganannya oleh murid-murid kepercayaannya, Ray menemui Wak Dulah di ruangan lain. Ruangan khusus Wak Dulah untuk menerima tamu dari kalangan atas atau yang hendak punya maksud berat. “Ray mau bicara sama Wak Dulah, apa Ray ganggu?” tanya Ray dan masih berdiri di ambang pintu. “Sini, Ray… duduk dekat Abah,” tangan Wak Dulah melambai meminta Ray mendekat. Ray duduk di sebelahnya. “Wak… kapan kita ke rumah Wak yang di Banjarnegara?” “Tenang, Abah masih ingin di sini. Banyak pasien yang ingin ditangani Abah.” “Tapi, Wak…” Ray mendadak gugup. Entah mengapa. Ia pun teringat ucapan ibunya mengenai Wak Dulah yang memiliki ilmu menaklukkan lawan bicara, hingga terkadang orang yang hendak membicarakan atau mengemukakan keinginan, lidahnya mendadak sulit digerakkan. Atau bisa juga jadi kehilangan kata-kata. “Oh ya, Ray… Abah punya sesuatu untukmu,” tubuh Wak Dulah bangkit dari sofa biru tua, lalu menuju lemari jati pendek. Ia mengambil kaleng biskuit merk terkenal yang berada di atas lemari itu. Ray mengira itu kue kaleng karena ia pun mengenal kaleng itu. Ratna suka membeli saban menjelang lebaran. Apa mungkin Wak Dulah akan memberikan kue kaleng? pikirnya. Namun, tak mungkin, sanggahnya kemudian. “Coba buka,” ucap Wak Dulah setelah duduk kembali di samping Ray. Diberikannya kaleng kue itu pada Ray. Ray menerimanya lalu membuka tutupnya. Matanya menyipit. Dilihatnya uang kertas yang memenuhi isi kaleng itu. Dadanya terperanjat ketika Wak Dulah minta menghitungnya. Namun diturutinya. Dikeluarkan semua isinya. Mulai pecahan dua puluh ribuan, lima puluh ribuan hingga seratus ribuan. Tak ada pecahan lebih kecil dari dua puluh ribu. Apalagi uang koin. Tangan Ray sedikit bergetar ketika menghitungnya. Merapikannya. Usai menghitung dengan teliti, diberikan semua itu pada Wak Dulah. Namun laki-laki tua itu menolak dan menggelengkan kepala. Ia bilang, semua uang itu buat Ray. Tentu saja Ray kaget. Bukannya senang. Ia baru pertama kali menghitung uang sebanyak itu. Apalagi memilikinya. “Itu uang penghasilan hari ini sampai pukul sepuluh pagi. Dari para pasien.” “Banyak sekali,” ucap Ray. “Ya, itu buatmu, Ray.” “Tapi Ray nggak pernah punya uang sebanyak itu.” “Kali ini, kamu sudah punya. Sudahlah, tidak usah kamu pikirkan. Bagi Abah, uang segitu tak seberapa,” jelas Wak Dulah dan Ray kian tahu sifat Wak Dulah yang suka berbangga diri. Ternyata ucapan ibunya itu bisa dibuktikan. Wak Dulah orangnya suka disanjung. Sekali ia sayang pada seseorang, maka ia akan mudah memberikan apa saja. Itulah kuncinya. Namun, jika sekali saja ia tak suka dengan seseorang, maka jangan harap ia mau berbaik hati apalagi berbagi rezeki. Kendati orang itu layak diberi rezeki. Ray merasa punya jalan demi mengabulkan keinginan teman-temannya. Ia pun tak mau dianggap ingkar janji. Termasuk menjaga reputasi Wak Dulah di mata teman-temannya. “Makasih, ya Wak…” “Ada permintaan Abah…” “Apa?” “Abah mau kamu jangan memanggil ‘Wak’ tapi Abah. Biar enak kedengarannya. Masa kamu panggil ‘Wak’ terus sementara Abah tetap menyebut diri Abah, ya Abah saja padamu.” Ray tersenyum simpul. “Baiklah, Wak… eh, Bah.” “Nah, kan enak kedengarannya. Sekali lagi!” “Ya, Abah,” Ray mencoba meyakinkan Wak Dulah demi laki-laki tua itu senang. “Abah tahu maksudmu menemui Abah… kamu mau minta izin Abah agar kamu dan teman-temanmu bisa berlibur ke tempat-tempat wisata kan?” Ray kaget. Wak Dulah acap tahu keinginannya sebelum Ray mengatakan. Meski, itu hanya sesekali. Karena ada yang Maha Mengetahui yaitu Allah. Sang Kholik. Yang mengetahui apa yang ada pada diri manusia. Tanpa terkecuali. “Benar begitu?” Wak Dulah menatap mata Ray. Ray mengangguk. “Karena mereka bertujuan berlibur, Bah. Dan liburannya… katanya… liburan yang menyenangkan.” “Baiklah, kalau sekarang kan sudah mau sore. Jadi, besok pagi-pagi... kalian bisa pergi sesuka hati, ke mana saja. Soal mobil, tinggal kalian pilih mau pakai mobil Abah yang mana. Mobil Abah ada dua belas, silakan… yang paling kalian suka. Sopir pun ada tiga orang, kalian bebas ingin sopir yang mana. Nanti Abah titip uang sama Dani untuk bayar masuk lokasi wisata sekaligus buat jajan kalian.” “Alhamdulillah, Abah baik sekali… makasih, Abah…” tak sadar, Ray memeluk tubuh Wak Dulah. “Abah sayang kamu, Ray. Abah ingin kamu jadi anak Abah. Dan memang Abah sudah anggap kamu anak Abah sendiri meski orang tuamu bersikeras mempertahankanmu dan tak mengizinkan kamu tinggal bersama Abah.” “Karena mereka tak mau kehilangan Ray, Bah… mohon mengertilah.” “Ya, Abah mengerti tapi Abah tetap berharap.” Lalu mereka berbincang hal lain. Hingga Wak Dulah kembali beranjak dari tempat duduknya. Membelakangi Ray sembari mulutnya komat-kamit lalu kembali duduk. Tangan kanannya menggenggam sesuatu. “Ray… coba tebak, ada apa dalam genggaman tangan Abah?” Ray menggeleng. “Ray nggak tahu.” Lalu tangan kanan Wak Dulah terbuka. Mata Ray rasanya silau dan takjub dengan benda yang berada dalam telapak tangan Wak Dulah. Kecil, lonjong, dan berwarna merah menyala. Begitu indah. Sebuah batu yang bukan batu biasa. Ray benar-benar terkesima. Hatinya begitu tertarik. “Dengar Ray, ini namanya merah delima atau mirah delima. Di atas jagat raya ini, ada empat puluh buah merah delima seperti ini. Tersebar di beberapa negeri termasuk di Indonesia, negeri kita… lalu salah satunya jatuh d tangan Abahmu ini,” ucap Wak Dulah dengan nada bangga. “Abah benar-benar orang pilihan,” ucap Ray seraya menatap wajah laki-laki di sampingnya lalu tatapannya kembali beralih pada batu merah delima itu. Benar-benar indah, gumamnya. “Dan… merah delima ini… Abah akan persembahkan padamu, Ray…” “Maksud Abah?” Ray belum mengerti. “Merah delima ini untukmu, Ray. Jadi milik kamu. Kamu orang pilihan yang mendapatkan batu bertuah ini.” “Ta-ta-ta-piii…” Ray nyaris tak percaya. Wak Dulah menempelkan batu itu di telapak tangan kanan Ray. “Simpanlah dengan baik. Bungkus dengan kain putih, jangan lupa.”***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD