Di mana Mirah Delima Itu?

2170 Words
Di mana Mirah Delima Itu? “INI rumah Wak Dulah juga?” tanya Ray pada Dirman ketika mereka tiba depan sebuah rumah tua dengan halaman yang sangat luas. Ditumbuhi pepohonan yang rindang. Halamannya bersih terawat. Namun, rumahnya tampak angker. “Ya,” jawab Dirman. “Mau menginap di sini atau cari losmen?” “Candi Mendut ada dekat rumah ini, kan?” tanya Dani. “Ya, sebaiknya untuk malam ini, kita menginap di rumah ini ketimbang menginap di losmen. Azas manfaat hehe dan salah satu untuk mengamalkan sila kelima, tetap bersikap hemat.” “Pelit!” cibir Fian. “Katamu waktu di Bandung, mau bayarin sewa losmen.” “Itu kan ketika Wak Dulah belum menjanjikan akan menanggung semua akomodasi,” Dani berusaha membela dirinya. “Sudah, jangan ribut! Gerah! Mending kita cari minuman dingin yang banyak es batunya!” seru Ray. “Langsung ke Candi Mendut sekarang, Ray?” tanya Dirga antusias. “Kita baru saja dari Candi Pawon yang dekat rumah Abah dimana semalam kita menginap. Menurutku, kita jangan langsung ke Candi Mendut sekarang, toh dekat ini… gimana kalau kita istirahat dulu di dalam rumah, lalu beli makanan dan minuman.” “Setuju. Kita beli makanan dan minuman tapi dibawa ke rumah, ya? Jadi kita makan di dalam sembari bersantai. Urusan ke Candi Mendut, bisa agak siangan lagi, toh candinya tampak juga dari sini,” ucap Dani. “Saya pinjam dulu kunci rumah sama penjaganya,” Dirman pamit pergi ke arah selatan. Mobil sudah terparkir dekat rumah. Sepuluh menit kemudian, Dirman datang dengan tangan memegang kunci. Lalu membuka pintu rumah. Beku. Dingin. Sepi. Semua aura itu menyambut kedatangan mereka. Aura mencekam mulai dirasakan Fian yang semalam sempat terusik dengan suara-suara di atas loteng rumah Wak Dulah yang berada di Borobudur. Hingga, ia baru bisa tidur sekitar pukul tiga pagi. Ia pun belum bercerita pada teman-temannya. Takut menambah ketakutan, jadinya, ia memilih bungkam saja. Kecuali jika ada temannya yang menyoal mengenai pengalaman serupa. “Ini rumah… dibiarkan kosong?” tanya Dani. “Tampaknya, banyak rumah Abah yang dibiarkan kosong,” ucap Ray lalu menatap Dirman. “Bukan begitu, Pak Dirman?” Dirman mengangguk. Mereka berkumpul di ruang depan yang luas. Duduk di atas tikar yang lebar tergelar. Tak ada kursi di dalamnya. Perabotan lain juga tak ada. Kecuali beberapa kasur lipat ada di kamar, begitu kata Dirman. “Paling sesekali, beliau berkunjung. Dan rumah-rumah kosong miliknya, terkadang digunakan bermalam oleh kenalan atau saudaranya.” “Atau pasiennya… atau keluarga pasiennya, begitu juga kan?” tanya Ray. “Benar, Ray.” “Wak Dulah itu bisa mengobati penyakit batin sekaligus penyakit lahir, ya?” tanya Dirga pada Ray. “Penyakit jasmani, ko lahir sih…” Dani melirik. “Lawan batin itu kan lahir, Dan. Kalau lawan jasmani… harusnya rohani,” jelas Dirga. “Entahlah, mungkin begitu, Dir,” Ray membalas pertanyaan Dirga tadi. “Aku juga baru tahu sekarang kalau Abah bisa juga mengobati penyakit dalam. Mama dan Papa tak pernah cerita. Atau mungkin saja kalau mengobati penyakit jasmani, Abah… baru belakangan ini.” “Memang,” jawab Dirman. “Sekitar dua tahun. Tapi langsung meledak.” “Meledak… maksudnya?” “Banyak orang datang minta diobati dan alhamdulillah… rata-rata sembuh total. Bahkan, yang sebelumnya tak tertangani dokter di rumah sakit.” “Ck ck ck,” Dirga berdecak kagum. “Pantas tempat prakteknya sudah mirip rumah sakit.” “Rumah sakit sih nggak. Seperti di puskesmas.” “Ya, tapi kalau di puskesmas kan bayarannya murah. Kalau di tempat Wak Dulah… orang-orang membayar mahal padahal tidak dikenakan tarif seperti di tempat-tempat yang biasa digunakan bila dokter buka praktek.” “Uangnya banyak,” Dirman tersenyum. “Uang Abah?” “Iya,” tegas Dirman. “Tapi beliau orang yang royal dan suka berbagi… makanya banyak orang menyukainya. Rezekinya makin berlimpah lantaran sikap baiknya itu. Cukup dermawan.” “Salut,” desis Dani. “Oh ya, bukankah kita mau makan siang?” ucap Ray. Lalu melirik jam tangannya. “Sudah mau pukul satu. Kita juga belum solat zuhur.” “Solat zuhurnya abis makan saja, Ray,” Fian memegang perut. “Utamakan yang wajib, Fian, solat dulu,” kata Dani. “Ketika tengah solat, kepikiran terus makan… tuh nggak bakal konsentrasi penuh menghadap Allah,” bela Fian. “Oke, kita makan siang dulu saja. Siapa yang mau keluar beli makan untuk semua? Sekaligus minuman,” kata Ray. “Kebetulan… penjaga rumah ini tak punya tugas menyajikan makanan untuk tamu, Pak Haji Dulah tak memberi uang khusus untuk menjamu tamu yang datang dan menginap… seperti pada penjaga rumah yang di Borobudur. Jadinya, kita harus beli sendiri dan pakai uang sendiri,” jelas Dirman. “Abah kasih uang buat keperluan makan dan beli oleh-oleh. Tapi tidak buat menyewa losmen. Mungkin karena ada rumah-rumah Abah yang bisa kita singgahi,” kata Ray. “Kalau untuk biaya bensin dan parkir, beliau juga kasih sama saya,” tambah Dirman. “Uang dari Abah ada di aku,” ucap Dani. “Karena beliau langsung titipnya ke aku, nggak sama Ray.” “Ya, Abah ingin beri kepercayaan sama kamu, Dan,” kata Ray. “Alhamdulillah…” Dani mengusapkan telapak tangan pada wajahnya yang putih. “Sekarang, siap melaksanakan tugas membeli makan siang dan minumannya.” “Biar aku dan Fian saja yang pergi cari makan dan minum. Kalian di sini saja,” tubuh Dirga bangkit. Dani pun menyerahkan dua lembar uang pecahan seratus ribu pada Dirga. Dirga dan Fian pun ke luar rumah. Setengah jam kemudian, baru kembali. Dani sedikit berang lantaran lama. Apalagi setelah Dirga bilang jalan-jalan dulu. “Ke Candi Mendut?” tanya Dani dengan kedua alis terangkat. “Ko ngeduluin sih? Tadi kan kita sudah sepakat, pergi ke situ bareng-bareng!” “Cuma liat-liat di luarnya saja, Dan. Nggak masuk ke dalam. Kan harus beli karcis juga. Lagian, kalau maksain ke dalam, kalian kan nunggu makanan,” jelas Fian. “Ya, sudah, ko gitu saja diributin. Lain kali, Fian… Dirga, kalau disuruh cari makanan jangan pake lama, orang di sini nunggu-nunggu karena sudah lapar, eh… kalian malah lupa pulang,” ucap Ray. “Sekarang, kita makan dulu. Aku dan Dani sudah cuci tangan dari tadi. Pak Dirman juga. Tinggal Fian dan Dirga yang harus cuci tangan dulu, sana! Di sini, air melimpah!” Usai makan dan menunggu makanan turun melalui proses pencernaan, lalu mereka semua melaksanakan solat zuhur di ruang tengah. Berjamaah. Setelah itu, mereka menuju Candi Mendut dengan berjalan kaki. Hari itu mereka mengunjungi dua buah candi. Yang pertama Candi Pawon dan yang sekarang Candi Mendut. Hanya, kalau di Candi Pawon sepi karena jarang sekali ada wisatawan berkunjung ke situ. Menjelang sore, mereka sudah tiba di rumah. Mandi dan solat asar. Mereka berencana esok pagi melanjutkan perjalanan wisata ke Yogyakarta. Ke Candi Prambanan, Keraton Yogya, dan berjalan-jalan di sepanjang jalanan Malioboro sembari membeli oleh-oleh yang bisa dibawa pulang. Ray dan Dani membawa bekal uang cukup dari rumah mereka. Sementara Fian dan Dirga hanya membawa uang seadanya. Wak Dulah memberikan uang khusus jika Ray dan teman-temannya mau membeli oleh-oleh yang bisa dibawa pulang ke Bandung. Jadi, Dirga dan Fian pun berhak membawa pulang oleh-oleh. Betapa senangnya mereka terutama Dirga dan Fian yang hidup dalam keterbatasan. Bisa melakukan perjalanan wisata dengan tak mengeluarkan uang sepeser pun. Itu semua karena kebaikan hati Wak Dulah. Malam menjemput. Usai makan malam, mereka berkumpul lagi. Berbincang. Sesekali memainkan gawai mereka. Namun, tak lama. Mereka lebih senang berbincang mengenai keindahan tempat-tempat wisata yag berada di Jawa Tengah. Terutama candi-candinya. Mereka tak sabar ingin segera esok hari untuk pergi ke Yogyakarta, kota impian mereka selama ini. Ray menelepon ibu dan kedua adiknya mengenai sukacita hatinya selama berada di Jawa Tengah. Hingga Mia dan Rayna sempat iri dan sedikit marah lantaran tak diajak serta. Ray bilang, acara khusus kaum adam. Namun, Ray berjanji untuk membujuk Wak Dulah agar suatu saat, mungkin di liburan lain kali, bisa mengajak kedua adiknya turut serta. Malah kalau bisa, bersama kedua orangtuanya. Ray pun ingin menikmati liburan panjang bersama keluarga yang jarang sekali dilakukan karena beragam keterbatasan. Begitu pun dengan Dani. Ia menelepon kedua orangtua juga adiknya. Tak ketinggalan neneknya, Bu Marsinah dan nenek yang berada di Cipanas berikut kakek Rahmat. Sementara Fian dan Dirga justru lebih seru lagi. Mengabarkan rasa sukahatinya pada keluarga dan tetangga mereka. Ray bahagia menyaksikan semua temannya bahagia. Ia mengucap syukur pada Tuhan. Jika saja liburan masih lama, tentu akan lebih menyenangkan. Namun, tinggal beberapa hari lagi. *** Ray dan teman-temannya sudah bersiap-siap. Mereka semua hendak kembali ke Bandung. Tengah menunggu mobil Wak Dulah yang satu lagi. Tersebab Wak Dulah tak bisa mengantar mereka pulang ke Bandung karena ada urusan mendadak. Kedatangan tamu penting. Seorang calon kepala daerah dari kabupaten lain. Bagi Wak Dulah, ini kesempatan emas lantaran akan menghasilkan pundi-pundi keuntungan. Ray mencoba memahami. “Saya yang akan mengantar kalian ke Bandung,” ucap Dirman. Tentu saja Ray dan ketiga temannya senang. Dengan Dirman sudah cukup akrab selama beberapa hari melakukan perjalanan wisata. “Tapi tanpa Pak Haji Dulah.” “Nggak apa-apa. Ray paham kesibukan Abah.” Mereka berada di rumah Wak Dulah yang di Banjarnegara. Di kaki gunung tapi ke pusat kota tak jauh, hanya makan waktu lima belas menit dengan naik kendaraan. Semalam mereka menginap di sini. Malah, Wak Dulah sempat mengajak Ray dan teman-temannya pergi ke gubuk dekat sungai yang airnya deras. Wak Dulah mengajak ritual. Lalu menunjukkan kehebatannya yang sanggup membuat gubuk terangkat dan melayang-layang di udara. Bagi Ray dan Dani, itu bukan kali pertama. Namun bagi Fian dan Drga, merupakan pengalaman yang menakjubkan. Mereka berdua nyaris tak percaya dengan kehebatan Wak Dulah. Kendati mereka semua penakut terkecuali Ray, tapi pengalaman demi pengalaman yang dilewati, sedikitnya mengajarkan mereka menjadi sosok-sosok yang lebih pemberani. Yang harus terbiasa ketika berhadapan dengan hal-hal mistis atau gaib. Yang harus kebal ketika mendengar suara-suara aneh yang acap mengusik atau pun penampakan yang bisa saja terjadi tanpa mereka duga sebelumnya. “Kalian… harus menjadi orang-orang yang kuat,” begitu ucapan Wak Dulah. Jika tak ingat liburan sudah usai, bahkan mereka terpaksa harus bolos beberapa hari di awal pembelajaran efektif semester genap karena terlampau asyik menikmati liburan—mereka ingin tetap berada di Jawa Tengah. Berkeliling dari satu kota ke kota lainnya. Mengunjungi tempat-tempat wisata. Menikmati aneka makanan khas masing-masing kota. Mendecak saban melihat hal-hal yang mereka anggap aneh atau baru dilihatnya. Dan juga… melewati malam-malam yang meski menegangkan dan membuat bulu kuduk merinding, tapi itu menguji nyali sejauh mana sikap berani mereka. Ray termenung sesaat. Ia teringat dengan batu bertuah pemberian Wak Dulah. Merah delima atau mirah delima. Sebuah batu berbentuk bulat lonjong berwarna merah menyala yang membuat mata silau siapa pun yang melihatnya. Batu yang hanya dimiliki orang-orang pilihan. Batu yang sudah Wak Dulah lisankan untuk Ray. Yang Wak Dulah nasihatkan agar Ray menjaga batu itu. Merawatnya dengan baik. Lantaran batu itu pun akan selalu menjaga Ray. Begitu yang diingatkan Wak Dulah padanya. Namun, batu itu tiba-tiba tak ada. Entah dimana dan entah ke mana. Pada saat Wak Dulah memberikannya, Ray pun melaksanakan perintah laki-laki tua itu. Membungkusnya dengan kain putih lalu menyimpan dalam sebuah lemari kayu. Lemari yang berada di kamar yang ada nisannya. Lemari tu dikunci dan kuncinya dipegang Ray. Lalu, kuncinya dibawa Ray pergi berwisata. Wak Dulah pun tahu jika Ray meninggalkan batu itu di lemari dan Wak Dulah bilang tak apa-apa sebab sepulang Ray berwisata, nanti harus singgah untuk mengambil batu itu. Kemudian, usai perjalanan wisata, Ray dan teman-temannya singgah. Ray singgah hanya untuk mengambil batu itu. Ketika itu, Wak Dulah tak berada di sana. Ray masuk ke kamar itu. Membuka lemari. Namun, batu yang terbungkus kain putih itu tak ada di tempat semula. Ia sempat mencari di seantero kamar. Malah di sekitar nisan. Namun, hasilnya nihil. Batu itu tak ditemukan. Ray resah. Ray ingin bertanya pada Wak Dulah tapi lidahnya mendadak kelu. Nyalinya ciut. Ia pun takut dengan laki-laki itu yang bisa saja menyangka jika Ray tak amanah. Akhirnya, Ray hanya memendam dalam hati. “Ray, maafkan Abah yang tak bisa mengantarmu, ya?” Wak Dulah menghampiri Ray. Lalu memeluknya. Diusapnya penuh kasih sayang, rambut Ray yang belum dicukur lantaran terhalang masa liburan. “Motor kamu dan motor temanmu sudah ada di rumah Pak Guru. Kalian mampir saja ke sana, ya? Pak Guru dan Pak Agus sudah pulang dua hari lalu.” Ray menyusup dalam pelukan laki-laki itu. Ada rasa sedih membuncah dalam dadanya. Tiba-tiba tak mau berpisah darinya. Tiba-tiba, ia ingin selalu dekat dengannya. Tiba-tiba tak mau meningalkannya. Tiba-tiba ingin selalu bersama dengannya. “Bah…” “Ray…” “Sebenarnya, Ray masih betah, Bah…” Wak Dulah tersenyum. Ditatapnya Ray dengan saksama. “Kalau kamu betah, kamu bisa tinggal lagi di sini. Biar saja teman-temanmu yang pulang. Kamu di sini saja. Temani Abah.” “Kan Abah sering bepergian jauh…” “Kalau kamu di sini, Abah tak akan sering bepergian…” “Tapi sekolah Ray…” “Sekolahmu bisa pindah ke sini. Biar Abah urus semua.”***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD