Kebersamaan Kembali Empat Sahabat
MOTOR Dirga baru saja terparkir depan halaman rumah Ray. Ia pun mengetuk pintu rumah yang tertutup rapat. Agak lama menunggu, hingga ada yang membuka dari dalam. Ibunya Ray. Tersenyum melihat Dirga yang pagi-pagi sekali sudah singgah. Pasti ingin ketemu Ray, pikir Ratna. Sudah tiga hari Ray kembali dari Kalimantan. Ia tak ke mana-mana, banyak mengurung diri di dalam rumah lantaran merasakan keletihan dan itung-itung istirahat. Hingga bada Subuh tadi, tubuh Ray tampak bugar. Ia ingin ke rumah Fian. Maka, pergilah Ray ke sana sekalian hendak mengajak Fian mencari makan pagi di warung yang tak jauh dari rumah mereka.
“Ouh,” ucap Dirga setelah Ratna mengatakan Ray belum kembali ke rumahnya.
“Coba ditelepon saja, Dir!” saran Ratna.
“Sudah, Bu.Tapi nomornya tak aktif.”
“Kalau nomor Fian?”
Dirga merogoh gawainya. Mencoba menelepon Fian. Namun sama, tak aktif. Ia mendesah. Dipijitnya nomor Dani. Sama. Tak aktif. Ia geleng-geleng kepala. Ketiga kontak temannya itu mendadak tak aktif dalam waktu bersamaan.
“Mungkin mereka pergi bertiga,” kata Ratna menyimpulkan. Lalu memersilakan Dirga untuk menunggu di dalam. Namun, Dirga menolak. Ia sangat kangen dengan ketiga temannya. Ia mendengar kabar mereka sudah pulang. Namun, belum sempat menelepon apalagi bertemu. Dan ketika ingin bertemu, mendadak semuanya sulit dihubungi.
“Mungin begitu, Tan,” Dirga tersenyum simpul dan siap-siap hendak pergi.
“Mau ke mana?” Ratna tetap berdiri depan pintu rumah. Dirga menghampiri motornya. Dirga bilang hendak menyusul Ray ke rumah Fian lantaran mungkin berada di sana. Ratna pun mengiyakan. Motor Dirga berlalu. Menuju rumah Fian. Ibunya mengatakan, Fian sudah pergi semenjak bada Subuh bersama Ray.
Dirga tetap penasaran. Ia tak mau pulang lagi ke rumahnya. Ia harus bersua teman-temannya itu. Akhirnya, motor dipercepat lajunya mengarah ke daerah dimana Dani tinggal. Tiba di sana, ia mendapat kabar yang tak jauh berbeda. Dani sudah pergi sekitar pukul enam pagi. Hendak bersua Ray dan Fian yang katanya menelepon, begitu kata ibunya. Dirga geleng-geleng kepala. Ray, Fian, dan Dani. Semua tak ada di rumahnya. Dan ibunya masing-masing yang mengabarkan itu. Hatinya sedikit geli meski agak kesal karena yang dicari tak ada. Bahkan ketiganya. Kenapa mereka tak meneleponku? Dirga membatin. Apa karena mereka sudah bekerja dan kembali ke kampung halaman dengan membawa uang hasil jerih payah mereka? Mendadak ada pikiran itu pada Dirga. Ia pun menyadari, dirinya tak seperti mereka. Tak bekerja setelah keluar dari sekolah. Hanya di rumah. Sesekali giliran dengan ayahnya, mencari penumpang. Ngojek. Hatinya miris kalau ingat itu. Teman-temannya bekerja dan punya pengalaman di luar pulau, sementara dirinya hanya menjadi ojek tembak.
Dengan lesu, ia melajukan motornya dengan pelan. Tak ada harapan. Tak ada semangat. Tak tahu hendak ke mana. Mencari mereka itu hanya pekerjaan sia-sia. Lantaran tak jelas harus dicari kemana dan dimana. Akhirnya, balik kanan. Pulang menuju rumahnya. Ia menjadi rendah diri teringat ketiga temannya. Mengapa mereka berubah? pikirnya lagi. Apa mereka tak mau berteman lagi denganku? Terus saja pertanyaan menggelayuti pikirannya.
Motornya berbelok masuk ke blok dimana ia dan keluarganya tinggal. Ketika motornya berhenti depan pagar rumahnya, ia sangat kaget lantaran di halaman yang tak luas, terparkir tiga motor. Bukan motor teman ayahnya. Atau motor saudaranya. Melainkan dua motor yang sangat dikenalnya. Motor Ray dan Dani. Sementara motor satunya, ia tak kenal. Motornya tampak baru. Motor matic merah keluaran terbaru.
Lantaran senang dan penasaran lantaran melihat ada dua motor temannya, usai memarkir motor dekat ketiga motor itu, kakinya pun melangkah. Mendorong pintu yang sudah terkuak sedikit. Dilihatnya Ray, Dani, dan Fian tengah duduk-duduk santai di atas karpet sembari menonton televisi.
Kala tahu Dirga yang datang, mereka berdiri lalu menghambur ke Dirga. Memeluk. Dirga kewalahan dipeluk tiga temannya itu. Ia pun meronta, ingin melepaskan diri. Membuatnya sesak dan sulit bernapas.
“Lepasiiiiin!” teriak Dirga. “Kalian mau memperkosaku, ya!”
“Husss! Sembarangan!” seru Dani dan Ray bersamaan. Lalu melepaskan pelukannya.
“Saking kangen kamu, Dirgaaaaaa!” seru Fian.
“Aku pun sama, kangen kalian. Mendingan, kalian bertiga selalu bersama di Kalimantan, lha aku... sendirian.”
“Ngomong-ngomong, ada yang kangen Indah, tidak?” Fian melirik Ray lalu beralih pada Dani. Ray cuek. Begitu pun dengan Dani. Malah bibirnya maju sedikit ke depan.
“Nggak penting mikirin cewek!” ucap Dani.
“Hem, tumben,” komentar Dirga.
“Jangan bahas dia!”
“Kenapa?”
“Malas.”
“Kalau bahas yang lain? Semisal Cika?”
Dani menggeleng. “Jangan bahas cewek mana pun.”
“Jangan-jangan, kamu sudah kepincut cewet seberang, Dan!” kata Dirga.
“Kita ketemu berempat untuk seneng-seneng, jangan bahas cewek, ya?” Ray mengingatkan.
“Siiiip!” Dani mengacungkan jempol.
“Oke!”
“Siaaaaap!”
Berempat, mereka duduk melingkar. Kata Ray, ayah Dirga baru saja pergi hendak mencari penumpang. Dan ibunya juga adiknya, pergi ke pasar. Ketiga teman baik Dirga sudah memberikan sedikit uang pada keluarga Dirga. Sebagai bentuk perhatian lantaran Dirga tak ikut serta pergi ke Kalimantan. Hati Dirga begitu terharu. Ia menyesal sempat berprasangka yang tak baik pada mereka. Ternyata mereka tak pernah berubah. Malah kepeduliannya begitu nyata ditunjukkan. Bukan hanya pada Dirga yang jelas-jelas sebagai teman baik. Malah pada keluarganya. Pada ayah, ibu, dan adiknya. Dirga merasa beruntung punya sahabat seperti mereka. Masa sekolah sudah berlalu. Kenangan manis selama sekolah tak mampu dilupakannya. Dan yang patut disyukurinya, ia tak kehilangan ketiga teman baiknya yang sudah lebih sebagai teman atau sahabat. Bahkan nyaris seperti saudara. Mengalami suka dan duka bersama. Tak pernah egois.
“Lantas... kenapa dengan nomor ponsel kalian yang seragaman tak aktif dalam waktu bersamaan?’ tanya Dirga heran.
“Ketika kamu telepon, aku dan yang lain, lagi di Gantole,” jelas Ray menyebut sebuah kawasan wisata lokal di atas puncak gunung. Di situ, terkadang sinyal sangat buruk.
“Ouh, pantesan,” ucap Dirga akhirnya.
“Waktu sinyal susah di atas sana, ya kami sepakat matiin ponsel saja. Malah sampai turun dari gunung. Malah juga, sampai sini, ya Dan?” Ray melirik Dani lalu Fian. Dani dan Fian mengiyakan.
“Kalian... bikin baper saja!” seru Dirga.
“Lebay banget kamu pake baper segala!” ledek Dani.
“Eh, di luar ada motor baru... punya siapa tuh?” tanya Dirga masih penasaran. Dani dan Ray melirik ke arah Fian. Yang dilirik tersenyum malu-malu.
“Wah, gayaaaa!” seru Dirga pada Fian. Lalu mencandainya. “Boleh aku pinjam?”
“Boleh tapi jangan kamu pake ngojek, ya?” kata Fian balas mencandai. Mereka pun tertawa bersama. Ray mengajak semua ke luar rumah. Jalan-jalan yang agak jauh, tapi jangan terlalu jauh, sekaligus cari makan siang kalau sudah menjelang pukul sebelas.
Usai makan siang di saung Apung, sebuah tempat makan lesehan yang berada di atas anak bendungan Saguling, perut mereka kekenyangan. Menikmati ikan bakar, ayam bakar, karedok leunca, karendok kacang, dan sambal kecap lengkap dengan lalapannya. Mereka baru beranjak meski belum puas duduk-duduk di sana. Menatap air yang tenang ditemani alunan musik lembut yang menghanyutkan hati.
Empat motor melaju dengan kecepatan sedang. Dani mengajak jalan-jalan ke tempat lain. Yang dituju sebuah curug yang pemandangannya sangat indah. Namun, di situ sepi. Mereka duduk-duduk saja sembari bercengkrama. Menjelang sore baru bersiap-siap hendak pulang.
“Menginap di rumah Nenekku, yu?” rajuk Dani pada ketiga temannya.
Ray setuju. Dirga bilang hendak minta izin dulu kedua orang tuanya. Dan Fian, tak masalah. Toh, rumahnya tak jauh dari rumah Bu Marsinah. Jadi, urusan minta izin bukan hal besar.
Tiba depan rumah Bu Marsinah. Ray pulang dulu, untuk mandi dan berganti pakaian. Sementara Dirga dan Fian mandi di rumah Bu Marsinah. Selepas Magrib, Ray baru muncul. Bu Marsinah senang sekali karena banyak teman Dani. Ia jadi tak kesepian. Meski runag kamarnya jauh dari kamar Dani, tapi suara berisik Dani dan teman-temannya cukup menghiburnya. Selama ini, perempuan tua ini acap menyendiri. Dani hanya sesekali mau menginap kala masih sekolah. Selepas sekolah, langsung pergi ke luar pulau. Dan baru beberapa hari ini pulang. Bu Marsinah pun baru bersua lagi dengan Dani. Semenjak cucunya itu pamit pergi mencari pengalaman.
“Ayo diminum nih...” Bu Marsinah datang ke kamar dengan membawa nampan berisi empat cawan ukuran sedang minuman hangat. Serupa wedang ronde. Fian tampak ngiller lidahnya. Cuaca tak begitu dingin. Namun, menyeruput wedang ronde sangat asyik. Apalagi minuman seperti itu jarang ditemukan di kota kecil ini. Tak ada penjual serupa minuman itu. Semisal sekoteng.
“Jadi teringat di puncak,” ucap Dani usai menyeruput dari cawannya langsung.
“Pake sendok, dong!” seru Ray.
“Biarin, toh cawan sendiri!”
Ray mendecak.
“Dan... kapan kamu ajak kita ke Cipanas lagi? Aku mau menginap lagi di rumah kakek Rahmat,” Dirga melirik Dani.
“Harusnya sekarang-sekarang, ya... mumpung banyak waktu!” kata Dani.
“Tapi kita nggak bisa sepuasnya main-main terus, Dan!” kata Ray. “Kita harus berpikir lagi, apa yang akan kita kerjakan selanjutnya! Mau cari kerja atau kuliah?”
“Kuliah... kan sudah lewat waktunya!” jawab Dani.
“Masih ada yang buka, Dan, kalau swasta! Kan banyak kampus butuh mahasiswa!” jelas Ray.
“Aku harus bilang dulu sama ortuku, apa aku kuliah saja atau cari kerja!” kata Fian.
“Menurutku, kalau kamu punya uang simpanan hasil kerja beberapa bulan itu, kamu bisa kuliah. Kita cari kelas karyawan, kenapa tidak? Jadi, bisa kuliah sambil kerja. Dan kita pun tak akan membebani ortu kita. Benar nggak, Dan?” Ray menatap Dani. Dirga diam saja. Ia jadi merasa minder lagi dan tak bisa ikut membahas seputar kuliah.
“Ide bagus!” ucap Dani serius. Lalu melirik pada Dirga yang terdiam. “Kamu... kenapa, Dir?”
Dirga menggeleng. Ia bilang tidak apa-apa. Dani pun mengajak ketiga temannya makan malam. Bu Marsinah sudah menyiapkan menu makan malam yang special, katanya. Persediaan bahan makanan di lemari pendingin, cukup melimpah. Sementara, yang makan hanya ia sendiri saban hari. Makanya, Bu Marsinah senang dengan kedatangan Dani dan teman-temannya. Ia tak peduli meski isi lemari pendinginnya itu terkuras habis.
Pukul dua puluh satu, mereka sudah pulas. Tidur berempat di atas ranjang. Berhimpitan karena ukuran tempat tidurnya kecil. Rasa letih selama seharian bermain-main, membuat mereka semua tak sadar jika lampu kamar tak dimatikan. Dibiarkan menyala. Namun, sekitar pukul sebelas, Fian yang merasakan lampu kamar yang tiba-tiba padam. Ia merasa sesak jika dalam kamar gelap dan tidur berhimpitan.
Tubuhnya beranjak. Ia pun merasakan gerah. Matanya beredar. Ia ingat, sebelumnya, lampu kamar menyala. Namun, kini mati. Siapakah yang sudah mematikan lampu kamar? Diliriknya Ray, Dani, dan Dirga, dalam gelap. Tapi, ia tahu temen-temannya tengah lelap. Jadi, mustahil, salah satu dari mereka yang mematikan lampu. Mungkinkah Bu Marsinah? Fian sibuk menduga-duga. Tubuhnya terduduk di tepi tempat tidur. Lalu bangkit. Menghampiri pintu kamar yang tak terkunci. Diyakininya, jika yang telah mematikan lampu itu memang Bu Marsinah. Perempuan itu bisa masuk kamar ini kalau pintu tak terkunci.
Fian mengunci pintu kamar dari dalam. Lalu tubuhnya berbalik. Menuju tenpat tidur. Rebahan lagi. Memejamkan mata meski sembari menahan gerah di tubuh. Ruangan kamar yang gelap, sedikit demi sedikit melenyapkan rasa gerah. Matanya pun mulai terkantuk-kantuk lagi, tapiiii... ia terperanjat lantaran merasakan ruangan yang berubah terang. Matanya melotot lantaran kaget dan heran. Diliriknya ke arah pintu. Terkunci. Dan, ia sendiri yang menguncinya tadi. Lalu siapa yang barusan telah berani masuk kamar dan menyalakan kembali lampu? Mustahil manusia bisa masuk kalau pintu terkunci terkecuali makhluk....
Suara pintu yang diketuk dengan perlahan dari luar kamar. Tubuh Fian gemetaran. Pintu itu kembali diketuk. Masih terdengar pelan dan beraturan. Fian gelisah. Tubuhnya berbalik. Ia ingin sekali mematikan lagi lampu. Namun untuk beranjak lagi dan menghampiri sakelar lampu yang tak jauh dari pintu, ia enggan sekali. Hingga tiba-tiba, lampu kamar kembali mati. Kamar gelap.***