Ancaman Wak Dulah

1949 Words
Ancaman Wak Dulah HARI-hari Ray menjadi tak tenang, setelah Wak Dulah menelepon dan mengungkapkan kalimat-kalimat yang membuat hati Ray tak nyaman dan enggan menanggapi. Tak seperti biasanya. Laki-laki tua itu seolah memojokkan Ray dan dilakukannya dengan berulangkali. Ray ingin menghindari agar laki-laki itu tak meneleponnya. Ia cemas. Namun, kecemasannya tak berujung, sebab Wak Dulah nyaris tiada henti. Menelepon sekian jam sekali. Bahkan, ketika gawai Ray sengaja dimatikan pun, atau kala ditinggalkan pemiliknya dan dibiarkan tergeletak begitu saja di kamar, banayak panggilan tak terjawab dari Wak Dulah yang tampak masih penasaran pada Ray. Untuk memburunya, menyudutkan, bahkan menuduhnya. Semua masih masalah yang sama. Masalah sebelumnya yang sebenarnya Ray pun ingin melupakannya. Tak mau memikirkannya lagi. Tersebab baginya, kini itu bukan hal penting. Perihal Indah. Wak Dulah tahu Indah tinggal bersama Bunda Dewi. Bahkan, diangkat anak dengan persetujuan kedua orang tua Indah di kampung. Wak Dulah masih menyimpan marah pada kedua orang tua Indah karena telah membatalkan rencana pernikahan secara sepihak, antara Indah dengan Wak Dulah. Dan Wak Duah menuding semua yang terjadi, lantaran Ray dan teman-temannya. Yang membuat Indah menjauh. Termasuk Bunda Dewi yang melibatkan diri. Jika saja Indah tak kenal Dani, maka tak akan terjadi gadis itu pergi ke kota kelahiran Dani, lalu Dani meminta bantuan pada Ray. Kemudian Ray berlanjut meminta bantuan pada Bunda Dewi. Menitipkan Indah sementara tinggal di rumah Bunda Dewi sekaligus menemani perempuan itu yang acap kesepian di rumahnya sendirian. Selain itu, Ray dan Dani dianggap penyebab utama Indah minggat meski berulangkali Ray menjelaskan, perginya Indah tempo hari dari rumah orang tuanya, itu murni keinginan Indah. Bukan bujukan Dani. Apalagi Ray yang awalnya sama sekali tak kenal Indah meski Indah sempat mengaku antara dirinya dengan Ray ada hubungan kelurga. Namun, penjelasan Ray tak membuat Wak Dulah percaya. Ray pun jadi meragukan laki-laki itu yang sebelumnya acap berikrar menyayangi Ray seperti anak kandungnya sendiri. Kenapa Wak Dulah berubah sikap hanya lantaran seorang perempuan? Pikir Ray heran. Gawainya berdering berulang kali. Nada panggilan. Ray malas mengangkatnya. Ia yakin, panggilan telepon itu dari Wak Dulah. Sebenarnya, pagi ini, ia hendak pergi ke luar rumah. Berjalan-jalan dengan Fian, singgah di rumah Dani lalu ke rumah Dirga. Ray pun tak berniat membawa gawainya demi menghindari telepon dari Wak Dulah. Namun, pagi itu, ibunya mendengar bunyi gawai Ray. “Ray! Itu ada yang meneleponmu... ko kamu nggak mau anagkat?” Ratna menatap heran Ray yang berdiri di luar kamar. “Nanti saja, Ma... Ray buru-buru!” ucap Ray. “Mama saja yang angkat, siapa tahu penting!” tiba-tiba Ratna menerobos ke dalam kamar Ray. Serta-merta, Ray pun masuk dan sigap mengambil gawai dengan terlebih dulu. Dipegang gawai barunya itu dan menatap ibunya sedemikian rupa. “Biar Ray saja.” “Hmmm,” Ratna membalikkan tubuhnya lalu keluar kamar. Menuju ruang belakang. Ray melirik panggilan yang memang dari Wak Dulah. Sesaat mendesah pelan. Lalu mengeluh pendek. Dengan malas, ditempelkan di telinga kirinya. Ia mengucap salam yang tak dijawab salamnya itu oleh sang penelepon. Wak Dulah langsung menanyakan Indah. “Kan sudah Ray bilang, Indah ada di rumah Bunda Dewi, Bah,” suara Ray lunak. Ia berusaha meredakan emosi Wak Dulah yang terkadang datang tiba-tiba. “Kamu sering bertemu dia ‘kan?” ucapan Wak Dulah yang terkesan menuduh. “Nggak sering, Bah. Hanya sesekali. Itu pun kalau Bunda Dewi yang minta Ray ke sana. Kalau nggak disuruh Bunda, Ray nggak ke sana ko, Bah!” “Kalau temanmu itu yang bernama si Dani?” dari suaranya tampak tak suka dengan Dani. Timbul rasa cemburu Wak Dulah pada Dani dimana ia pernah mendengar jika Dani itu pacaran sama Indah. “Apalagi Dani, Bah...” Ray berkilah. “Buat apa dia sering ke rumah Bunda Dewi?” “Katamu, si Dani itu bekerja di sekolah Dewi?” “Bukan bekerja. Tapi jadi pelatih marching band, itu juga waktu sekolah. Selepas sekolah, Dani dan Ray kan ke Kalimantan. Berbulan-bulan. Dan baru-baru pulang lagi ke sini. Ke rumah Bunda Dewi hanya beberapa kali, Bah.” “Kalau Dewi minta kamu ke sana... itu buat menemani Indah ‘kan?” Ray mendesah. Ia bingung harus bicara apa. Tersebab, Wak Dulah tetap selalu menaruh curiga bahkan mudah menyimpulkan. Membuat Ray jengah dan serba salah. Ingin rasanya mengakhiri perbincangan tapi tak enak, khawatir membuat laki-laki itu tambah marah dan merasa tak dihargai. Lalu buntutnya, bicara yang aneh-aneh atau tak masuk akal. Ray pusing, ia pun lagi ada yang dipikirkan. Mengenai masa depannya. Itu lebih penting. Sudah dua bulan sekembalinya dari Kalimantan, tak ada yang dilakukan selain berkumpul dengan ketiga sahabatnya atau teman-teman lainnya yang pernah satu sekolah ketika di SMK terutama jurusan Teknik Jaringan Komputer. Yang kebetulan, belum atau tak sedang bekerja atau kuliah. “Kenapa kamu nggak mau jawab?” desak Wak Dulah. “Ya, Bah...” “Ya apanya?’ Wak Dulah tak sabar. “Ya, Bunda minta Ray temani Indah,” ucap Ray jujur. “Kamu tahu hukumnya laki-laki dan perempuan yang belum menikah berduaan di rumah?” Wak Dulah mulai menyebutkan yang berhubungan dengan agama. Keringat dingin mulai membasahi leher Ray juga kuduk. Ucapan Wak Dulah benar-benar membuatnya tak nyaman. Sudah masuk ranah pribadi. Terlebih Ray tak punya pengalaman soal perempuan. Jangankan punya pacar, dekat dengan perempuan pun tidak pernah. Terkecuali dengan kedua adiknya. Atau dengan Cika, saudara sepupunya. Dan dengan Indah pun, tak dekat, ada batasan meski acap berbincang di hari-hari sebelumnya. “Bah, Ray nggak berduaan sama Indah. Lantaran, Ray suka langsung menelepon Dani atau teman lain biar di rumah Bunda nggak hanya berdua antara Ray dan Indah. Ray mengerti ko hukumnya meski ilmu agama Ray nggak seberapa,” Ray mencoba menjelaskan apa yang ia tahu. “Tuh, teman-temanmu... laki semua ‘kan? Berarti... Indah ditemani banyak laki-laki di rumah itu?” Wak Dulah terus menyudutkan. “Itu tak baik, Ray! Bagaimana kalau ayah ibumu tahu, mereka pasti marah padamu! Si Dewinya juga tak punya aturan! Seenaknya minta kamu dan teman-temanmu menemani Indah! Kalau orang tuamu juga tahu hal ini, pasti mereka marah sama kamu!” Ray terdiam sesaat. Ia mencari cara bagaimana menutup perbincangan yang dirasanya kian memanas meski ia berusaha meredam. Wak Dulah masih terus menumpahkan kekesalan hatinya semua yang berkaitan dengan Indah. Intinya, ia tetap berharap Indah pulang ke kampung halamannya dan menerima pinangannya. Lantaran, Wak Dulah mengakuinya jika ia sangat mencintai gadis itu. Mendengar kata-kata cinta dari laki-laki tua untuk Indah, tubuh Ray gemetaran. Bukan lantaran ia tak rela Indah menjadi milik laki-laki lain (karena Ray pun tak menaruh hati pada Indah), tapi ia tak tega jika gadis muda dan polos seperti Indah harus menjadi korban nafsu Wak Dulah, laki-laki yang selama ini dikaguminya. Di samping itu, Ray sudah menganggap sahabat pada Indah. Ia peduli gadis itu sebagaimana ia peduli dengan Dani, Fian, dan Dirga. Apalagi kini Indah tinggal bersama Bunda Dewi, kakak sulung Ratna, ibunya. Bunda Dewi sosok yang sangat dihormati Ray selama ini. Dan kini pun, Bunda Dewi menjadi sasaran kemarahan Wak Dulah. Lantaran menurutnya, gara-gara Bunda Dewi pula, Indah yang sudah kembali pada kedua orang tuanya di kampung halamannya itu, harus kembali ke rumah Bunda Dewi. Bahkan menetap. Itu yang membuat Wak Dulah kian gusar. Sementara, ia tak suka dengan penolakan Indah dan hendak merebut Indah kembali. Wak Dulah pantang gagal menaklukkan perempuan, secantik apapun. Ia akan terus mengejarnya dan mendapatkannya, meski aral rintangan menghadang. Pantang baginya menyerah. “Si Dewi telah memberi pengaruh buruk pada Indah!” ucap Wak Dulah keras. “Abah benci sama perempuan itu!” “Bah, Bunda nggak salah dalam hal ini!” Ray berusaha membela kakak ibunya. Namun, Wak Dulah mendebatnya dengan tegas. Ia tetap berkeyakinan, jika Bunda Dewi yang menghancurkan rencana menikahi Indah. Serta berhasil mempengaruhi orang tua Indah untuk mengizinkan Indah tinggal di rumah Bunda Dewi. “Kamu lebih membela perempuan itu ketimbang Abahmu ini?” suara Wak Dulah meninggi. “Bukan membela, Bah... tapi meluruskan!” seru Ray dengan suara dibuat sepelan mungkin khawatir suaranya yang agak meninggi, didengar ibunya. Ratna tak tahu apapun soal Indah hingga hari ini. Meski sekadar tahu jika Bunda Dewi ditemani seorang gadis. Ratna hanya tahu kalau Indah itu orang yang tak ada hubungannya dengan Wak Dulah. Ray berharap gawainya tiba-tiba mati. Dan harapannya terwujud. Gawainya mati lantaran habis batreinya setelah digunakan bertelepon bermenit-menit lamanya. Ray mengucap syukur. Perbincangan sengit dengan laki-laki iu berakhir. Ray segera men-charge gawainya di dalam kamar. Gegas, ia keluar rumah setelah pamit pada ibunya. Motor meraung lalu melintasi gang. Berhenti depan rumah Fian. Setelah Fian berada di luar rumahnya dan menghidupkan mesin motor, lalu mereka berdua pun pergi dengan motor berbeda. Dani menunggu depan rumahnya. Kala dua motor temannya tiba depan halaman rumahnya, ia pun segera menghidupkan motor. Lalu bertiga melajukan motor dengan santai dan kecepatan sedang. Menuju rumah Dirga. Tiba di sana, sepi. Hanya Dirga. “Kita di sini saja, ah... nyantai, ya?” ucap Ray. “Nanti suruh Dirga beli makanan saja ke warung terdekat!” “Siaaap!” seru Dirga. “Rumah makan Padang juga ada yang baru buka nggak jauh dari sini. Masih satu komplek. Tapi beda blok.” “Ya, nanti beli empat bungkus!” kata Ray. “Bayar sendiri-sendiri?” tanya Fian. Ray mendecak. “Aku yang bayar semua!” “Asyiiiik!” “Ray masih banyak uang simpanan hasil bekerja di Kalimantan! Kalau aku ditabung dulu... kalau-kalau mau ikut kuliah di tempat yang murah!” kata Fian. “Bukan uang dari Kalimantan yang kugunakan untuk traktir kalian!” kilah Ray. “Dari Wak Dulah, ya?” tanya Dirga. Ray menggeleng. Laki-laki tua itu sudah lama tak memberinya uang. Terhitung semenjak tahu Indah berada di rumah Bunda Dewi yang pertama kali itu, sebelum Indah sempat kembali ke kampung halaman. Namun, Ray tak pernah mempersoalkan hal itu, lantaran ia sekali pun tak pernah meminta uang pada adik mendiang kakeknya itu, melainkan Wak Dulah sendirilah yang suka memberinya. Bukannya Ray. “Dari Bunda Dewi?” Dani menatap Ray. “Ya!” Ray mengangguk. “Lebih tepat dari suaminya. Tapi titip sama Bunda. Kalau sama suami Bunda, aku jarang ketemu.” “Ray, Wak Dulah meneleponku tadi malam,” ucap Dani. “Mau apa?” “Bicara yang aneh-aneh.” “Contohnya?” “Menuduhku mempengaruhi Indah.” Ray menghela napas. Kepalanya cukup pening memikirkan laki-laki itu. Ia tak bisa menyimpannya sendiri. Bercerita pada semua sahabat yang selama ini dipercayainya, tentu mampu membuat pikirannya tak seruwet sebelumnya. Akhirnya, ia pun menumpahkannya. Tanpa ada yang terlewat. Usai bicara itu, pikirannya sedikit leluasa. Beragam tanggapan teman-temannya. Yang pasti, semua simpati dan mengecam sikap Wak Dulah. “Apa yang ingin kamu lakukan sekarang?” tanya Dani. “Sebab, Wak Dulah pun menekanku.” “Untuk sementara, kita abaikan saja dulu, toh kita juga punya kepentingan lain. Nggak melulu harus mikirin Wak Dulah,” putus Ray. “Oke, brow!” Dani menepuk bahu Ray. “Makan dulu, yu?” “Jam segini?” Ray melirik Dani. “Sudah jam sepuluh,” Dani melirik pergelangan kirinya. Melihat jam. “Oke!” tangan Ray merogoh saku celana jins bagian belakang. Mengambil dompet. Lalu menyerahkan uang seratus ribu rupiah pada Dirga. Ketika Dirga tengah pergi, gawai Ray Dani berdering. Ia berbicara dengan seseorang lalu tak lama menyerahkan gawainya itu pada Ray. “Ibumu,” kata Dani. Ray teringat gawainya yang sengaja ditinggalkan di rumahnya dan tak menyala. Pantas ibunya menelepon Dani. “Ada apa, Ma?” tanya Ray. “Bagus benar kelakuanmu, Ray!” “Apa maksud Mama?” Ray heran. Suara ibunya agak ketus seperti memendam marah. “Wak Dulah barusan mengancam Mama... dan itu gara-gara kelakuanmu!” “Apa yang sudah Abah bilang pada Mama?” “Kamu sudah merebut calon istrinya!” “Astaghfirullah... masa Abah bilang gitu, Maaaa!” “Ya!” seru ibunya. “Sekali lagi, Mama ingatkan padamu, jangan pernah main-main sama dia!”***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD