Alunan Musik dari Ruang Seni
“BUNDA harus tidur di sekolah,” ucap Bunda Dewi. “Besok ada pemeriksaan dari pusat. Akreditasi. Sekolah memang tengah betul-betul sibuk. Nanti malam, yang menginap di sekolah, ada operator dan pustakawan juga. Dan Bunda pun, harus menemani mereka ketimbang mereka terus menelepon kalau Bunda di rumah. Menanyakan ini dan itu. Jadi, lebih baik, Bunda menginap saja di sekolah.”
“Ya, Bun,” ucap Indah dengan perasaan tak karuan. Meski ia tak mau menjadikan dirinya sebagai sosok yang penakut, tapi untuk menjadi sosok yang pemberani pun, ia merasa belum bisa. Lantaran, rasa takut kadang mengusiknya. Ia pun sadar hanya manusia biasa. Dan ketakutan itu hal yang wajar. Manusiawi. Bisa menimpa siapa saja. Namun, ia acap mengalami hal-hal yang menyeramkan di rumah ini. Sekuat apapun bertahan, sesekali ia tak mampu menahannya. Terlebih, belakangan ini, Wak Dulah pun mulai acap lagi mengusiknya. Lewat makhluk-makhluk aneh yang dikirimkannya. Yang ditunjukkan pada Indah. Gadis itu pun tahu itu ulah Wak Dulah. Dani pernah menduganya. Dan ternyata bukan semata dugaan Dani, lantaran Ray pun menyatakan hal yang sama. Jika Wak Dulah pelakunya. Dan bukan hanya pada Indah, akan tetapi juga pada diri Ray, Dani, dan kedua temannya.
“Nah, sekarang kamu gimana, apa berani di rumah sendirian?” Bunda Dewi menatap Indah dengan saksama. Ia acap meninggalkan Indah sendirian di rumah besar ini, terkadang sepanjang hari lalu dilanjut malam. Namun, biasanya Bunda Dewi menelepon Ray, Dani, ataupun Cika jika gadis itu kebetulan tengah berada di kota ini. Untuk menemani Indah sampai Bunda Dewi kembali. Atau sampai hari siang. Akan tetapi, sudah beberapa bulan, Ray tidak ada di kota kelahirannya ini. Selepas mendapat ijazah, ia dan beberapa temannya pergi ke Kalimantan. Mencari pengalaman. Bekerja di sana. Bekerja sesuai dengan keahliannya ketika sekolah. Dan dari sekolah pulalah, Ray mendapat rekomendasi hingga bisa bekerja di perusahaan asing itu. Termasuk teman-temannya seperti Dani dan Fian. Hanya Dirga, Bunda Dewi mendengar jika anak itu tak turut serta lantaran kedua orangtuanya tak mengizinkan pergi bekerja di tempat yang jauh. Apalagi di luar pulau.
“Mmmm, Bun… Indah sih nggak apa-apa, karena udah biasa. Tapi… kalau Bunda Dewi menginap, berarti malam ini Indah tak ada teman di rumah, ya?” Indah tampak bingung. Ia pun tahu Ray dan Dani tak mungkin menemaninya. Mereka berdua sudah jauh darinya. Meski sesekali telepon pada Bunda Dewi. Namun pada Indah belum pernah menelepon. Padahal Indah pun berharap. Hanya, ia tak bisa menunaikan keinginannya. Lagi-lagi, ia hanya seorang gadis. Untuk memulai menelepon mereka, ia pun sungkan. Apalagi mendengar kabar jika Ray dan Dani bekerja di dalam hutan. Sinyal telepon sering sulit tersambung. Mereka baru bisa mendapat sinyal yang bagus jika sudah berada di luar hutan. Atau daerah yang sekiranya bisa mendapat sinyal yang bagus.
Bunda Dewi tersenyum, paham. “Kamu berharap Ray atau Dani ada dekat kamu ya, saat Bunda tidak ada di rumah?”
Pipi Indah memerah. “Bukan begitu, Bun. Tentu saja Indah inginnya Bunda selalu berada dekat Indah. Tapi Indah juga harus mengerti kesibukan Bunda. Apalagi Bunda juga punya tanggung jawab dengan rumah yang di Cibiru. Maaf Indah, Bun… jika Indah acapkali merepotkan Bunda.”
“Ko kamu jadi perasaan gitu sih?” Bunda Dewi menyentuh lengan Indah.
Indah tersenyum. “Nggak, Bun. Tapi Indah sadar betul.”
“Santai, Sayang,” Bunda Dewi menepuk bahu Indah. “Memang, Ray dan Dani nggak ada… Bunda juga kehilangan mereka. Karena Bunda sering tergantung juga sama mereka. Semoga cepat kembali ke sini, biar bisa berkumpul sama kita lagi. Katanya, tak lama mereka di sana. Itu proyek sementara. Paling beberapa bulan.”
“Oh ya?” Indah menatap Bunda Dewi. “Indah pikir, mereka kerja di sana lama. Semisal tahunan.”
“Tidak, kontraknya pendek.”
“Tidak akan diperpanjang?”
“Sepertinya tidak.”
“Syukurlah,” cetus Indah.
“Senang ya kalau mereka cepat kembali?” Bunda Dewi menggoda Indah.
Indah lagi-lagi tersenyum. “Tapi, Indah berharap mereka langsung mendapat pekerjaan lagi sesampainya di sini.”
“Ya, kita doakan mereka selalu dalam keadaan baik-baik saja, sehat… dan pekerjaan di sana lancar. Resikonya… kerjanya itu harus sering pergi ke hutan. Naik pohon-pohon tinggi…”
“Emang mereka bisa naik pohon tinggi gitu, Bun?” Indah tahunya, hanya remaja-remaja di desa yang bisa naik pohon yang tinggi lantaran terbiasa.
“Yaaa, mungkin terpaksa… yang akhirnya menjadi terbiasa, semoga senantiasa diberi keselamatan oleh Yang Kuasa.”
“Emang kerjaannya apa, Bun?”
“Katanya, mereka mendapat job memasang sambungan kabel-kebal… apa ya, Bunda juga kurang paham. Pokoknya, ada hubungannya dengan pemasanagn internet atau sejenis itu, ah… gimana jelasinnya ya… sama kamu. lantaran Bunda juga tak paham betul. Yang pasti, kerjaannya model gitu. Tapi gajinya lumayan, Alhamdulillah.”
“Semoga Ray dan Dani bisa melewati hari-hari, dan tak menemui kesulitan. Amiiin ya rabbal’alamiin.”
“Amiiiin…”
“Semoga teman-temannya juga seperti itu, kita doakan, ya Bun… oh ya, kan Fian juga ikut. Semoga dia juga baik-baik saja. Fian baik banget sama Indah. Suka bercanda dan bikin hati Indah terhibur.”
Bunda Dewi beranjak dari duduknya. Berdiri. Lalu bicara lagi pada Indah. “Indah, sebentar lagi Magrib. Bunda pergi bada Magrib, abis solat. Terus, kamu… gimana… berani malam sendirian di sini? Bunda baru pulang Subuh. Dan pagi-pagi harus pergi lagi ke sekolah. Harus menyiapkan ini-itu.”
Indah terdiam sesaat. Ia tak tahu harus bicara apa lagi. Hatinya tak ingin ia sendirian. Namun, ia pun tak bisa membantu pada Bunda Dewi. Apalagi menuntut. Lebih-lebih melarang Bunda Dewi pergi. Ah, Indah benar-benar bingung pun ada rasa cemas jika harus melewati malam sendirian. Tanpa ada yang menemani. Meski ketika Ray dan Dani pun menemani, tapi berada di ruangan yang berbeda. Yang penting, di rumah ini ada orang lain.
Bunda memahami apa yang membuat Indah terdiam. “Baiklah, Indah. Bagaimana… kalau kamu, ikut saja ke sekolah?”
Indah meliriknya. “Menginap di sana juga?”
Bunda Dewi mengangguk. “Kalau saja Fajar dan Nadya mau menemanimu di sini malam ini, tapi mereka banyak alasan jadinya, Bunda malas merajuk mereka lagi, suka banyak maunya.”
“Kalau Bunda nggak keberatan, mengajak serta Indah, tentu saja Indah senang ikut, Bun,” Indah mendadak girang.
Usai solat Magrib, mereka pun pergi berdua. Berjalan kaki hingga depan jalan besar. Di pertigaan, mencegat dua ojek yang kemudian membawa mereka tiba depan sekolah dasar. Jalanan sepi. Dua gedung sekolah yang berdampingan. Sekolah dimana Ray dulu mencari ilmu. Dan sekolah dasar dimana Bunda Dewi menjadi guru di sana. Tentu saja, jalanan depan sekolah di malam hari sangat sepi. Apalagi arah kedua sekolah itu menuju jalan buntu. Tak banyak lalu-lalang kendaraaan. Hanya beberapa ojeg yang kebetulan mencari penumpang. Sementara orang-orang yang rumahnya tak jauh dari sekolah, jarang sekali keluar rumah dna lebih memilih mengurung di dalam rumah-rumah mereka. Apalagi, bila banyak orang yang suka mengundang pembicaraan mistis mengenai kedua sekolah tersebut.
“Ko gelap gini, Bun?” tanya Indah ketika berdua berjalan menuju pintu gerbang.
Bunda Dewi tak menjawab. Sebelah tangannya masuk ke belakang pintu. Mencocokkan kunci dan alhasil pintu gerbang pun terkuak meski sebelumnya sulit dicari pasangannya. Bunda Dewi mendorong pintu gerbang dibantu Indah. Kemudian, jalan beriringan melewati ruang-ruang yang lampunya tak menyala. Bunda Dewi sedikit menggerutu ketika tiba depan sebuah ruangan. Ruang guru. Tangannya mencari-cari sakelar lampu. Beberapa menit, baru menyala. Lampu luar. Begitu pula koridor sekolah.
Dibukanya pintu ruang guru. Katanya, penjaga sekolah di sini sangat pemalas. Padahal menyalakan lampu menjelang malam itu tugasnya. Namun, jarang sekali ditunaikan. Rumahnya sekitar sini. Maunya gaji naik tapi kewajiban tak dipenuhi dan hanya menuntut hak bisanya.
“Kata Bunda, kita nggak berdua di sini…” ucap Indah sembari duduk di sofa. Tak jauh dari Bunda Dewi yang masih tampak kesal raut mukanya. Suara burung gagak bersahutan. Bulu kuduk Indah mendadak merinding. Ia acap mendengar suara burung serupa di luar rumah Bunda Dewi. Namun, yang didengar di sini, mengundang aura menakutkan.
“Sebentar lagi mereka datang. Kan sudah janjian tadi di telepon.”
“Oh ya,” cetus Indah. Tak berapa lama, azan Isya dari masjid terdekat berkumandang. Bunda Dewi mengajak Indah solat di musola yang tak jauh dari kamar. Indah senang karena kamar mandi berada dalam ruangan ini. Jadi ia tak harus pergi ke luar lagi. Terbayang, suasana di sekolah pada malam hari. Semua orang tahu, sekolah itu gudangnya para hantu. Sedikit sekali orang yang mau berkunjung ke sekolah pada malam hari. Dan dari yang sedikit itu diantaranya Bunda Dewi dan dirinya. Namun, ia harus mau ketimbang ditinggal di rumah sendirian dan diganggu makhluk-makhluk jahil seperti gadis berbaju merah.
Gawai Bunda Dewi berdering. Ia mengangkatnya. “Masih di mana?”
“Di jalan, Bu.”
“Cepetan ke sekolah.”
“Ibu sudah sampai di sekolah?’
“Sudah dari tadi!”
“Sendirian?”
“Sama anak.”
“Anak Ibu yang mana?”
“Jangan banyak tanya, cepat ke sekolah!” perintah Bunda Dewi tak sabar. Suara gagak hitam terdengar lagi. Lebih menakutkan dari sebelumnya. Bulu kuduk Indah pun kembali merinding. Angin berembus dari pohon-pohon yang saling bergesekan.
Kedua laki-laki berusia tiga puluh tahun dan tiga puluh dua tahun, muncul dengan motor mereka. Diparkirnya. Lalu mereka masuk. Mengucap salam dan menyapa ramah pada Bunda Dewi, guru yang paling dihormati di sekolah ini.
“Bawa pesanan Ibu?” tanya Bunda Dewi.
“Ini, Bu…” seorang laki-laki yang bertugas sebagai operator sekolah ini, mengacungkan kantong plastik hitam sedikit diangkat. Berisi empat bungkus nasi Padang.
“Makan malam dulu, yu… biar nanti kerjanya semangat!” kata Bunda Dewi. Berempat mengelilingi meja. Makan nasi bungkus yang nikmat tiada tara. Indah pun merasakan sensasi rasanya. Apalagi ia jarang sekali makan masakan kota Padang itu.
Sampai pukul 21.00, Bunda Dewi menemani dua rekannya. Memberi tahu ini-itu yang mereka tak mengerti. Pukul dua puluh dua masih berlangsung. Namun mata Bunda Dewi sudah tak tahan. Ingin segera tidur. Kantuk begitu kuat menyerangnya. Begtu pun dengan mata Indah. Ia pun ingin segera lelap tidur.
Bunda Dewi pun pamit pada kedua warga sekolah itu, untuk tidur di rumah dinas. Digamitnya lengan Indah, diajak keluar ruangan. Gelap. Indah merasakan aura yang berbeda. Merasa ada sosok yang tengah mengawasinya, kepalanya menoleh ke arah ruang kelas sebelah utara. Dadanya berdegup keras. Dilihatnya sosok putih tinggi. Langkahnya dipercepat mengikuti Bunda Dewi. Masuk ke dalam rumah dinas, setelah berada di dalam, ia mulai tenang.
“Indah tidur di kamar mana, Bun?” tanya Indah. Ruangan terasa dingin menyambutnya. Hatinya pun tak rela jika tidur di kamar yang berbeda dengan Bunda Dewi tersebab di rumah dinas ada tiga buah.
“Satu kamar saja. Kamu temani Bunda, ya? Bunda lagi tak mau tidur sendiri,” ucap Bunda Dewi. Lalu masuk ke kamar pertama. Indah gegas mengikuti. Bunda Dewi melepas jaketnya. Jilbabnya juga. Lalu merebahkan tubuh di atas tempat tidur yang tergelar di bawah. Dilapisi karpet plastik bergambar bunga dan buah.
“Lampunya dimatikan… atau biarkan menyala?” tanya Indah.
“Matikan saja!” seru Bunda Dewi dan terlihat mulai memejamkan kedua matanya. Indah menurut. Mematikan lampu lewat sakelar. Lalu berbaring di samping Bunda Dewi. Berselimut yang berbeda. Dipejamkan matanya. Kantuk memasungnya dalam dekapan mimpi. Sekitar pukul dua belas lebih, matanya terkuak karena kupingnya mendengar suara aneh. Serupa alunan musik tradisional. Dicoba menebak-nebak suara apa, sembari tubuhnya menelungkup. Ya, ya, ya. Ia bisa memastikan. Itu memang suara alunan musik tradisional, gamelan Sunda. Dan datangnya, dari sebelah barat. Dari ruangan sebelah rumah dinas. Ruang seni. Namun, ia tak tahu persis datang suara itu darimana. Ia pun tak tahu di sebelah rumah dinas, ada ruang seni. Ia benar-benar tak tahu. Berkunjung ke sekolah Bunda Dewi pun baru kali ini. Baru satu kali. Apalagi sampai menginap. Ya, baru kali pertama. Alunan musik itu terus terdengar. Beraturan. Seperti ada yang tengah memainkan alat-alat musik itu. ***