Kisah Si Gembel Tak Ada Habisnya
RAY baru saja tiba di depan Pondok Surga Gemilang, pukul sebelas. Ia memarkir motor maticnya di pelataran halaman pondokan. Dekat pohon jambu batu yang daunnya rimbun. Dilihatnya motor Fian yang juga terparkir di sana. Dahinya mengernyit. Ia menduga, Fian akan kembali ke pondokan paling telat siang selepas Zuhur. Pagi-pagi sekali, tampak temannya itu semangat pergi ke kampusnya. Bahkan, sempat makan pagi bersamaan. Namun setelah itu, menuju kampus yang berbeda.
Langkah Ray menuju kamarnya. Membuka pintu kamar yang sebelumnya terkunci. Lalu masuk usai melepas kedua sepatunya. Juga kaus kakinya. Dimasukkan ke dalam lubang sepatu barunya itu. Ia pun masuk kamar mandi. Membasuh mukanya. Segar. Lalu dikeringkan dengan handuk kecil berwarna biru muda yang tergantung di kapstok belakang pintu kamar mandi. Tubuhnya bergerak lagi. Menutup pintu kamar mandi. Lalu duduk di kursi depan meja belajarnya. Sejenak, ia membuka catatan tadi ketika di dalam ruangan kuliah. Ada beberapa materi yang belum dipahaminya. Ia ingin membuka bukunya, mencermati lebih lama agar benar-benar paham tanpa mendiskusikan lagi dengan teman sekelasnya, tapi dirungkan karena mendadak ingin bersua Fian. Selama di pondokan pun, terkadang mereka jarang bersua disebabkan jadwal kuliah yang berbeda. Juga kampus yang berbeda. Bahkan, Ray lebih banyak meninggalkan pondokannya apalagi di malam hari. Terkadang, ia menginap.
Beberapa detik kemudian, tubuhnya beranjak dari tempat duduk. Lalu melangkah melewati beberapa kamar. Tiba depan kamar Fian yang tertutup, tak ada suara musik dari dalam kamar Fian seperti biasa. Ray pun menduga temannya tidur. Ia tak berani mengganggu. Tubuhnya hendak berbalik, tapi pintu kamar terkuak. Wajah Fian menyembul.
“Lho, ko malah mau balik lagi?” tanya Fian heran.
“Aku kira, kamu tidur.”
“Masa jam segini tidur, Ray. Semalam, aku tidur masih siang dan cukup nyenyak. Nggak ada apapun, kalau semalam...” jelas Fian.
“Nggak ada apapun kalau semalam?” Ray mengerutkan kening. “Maksudmu? Kalau malam-malam sebelumnya... gimana?”
Fian menghela napas berat. Wajahnya datar. “Ya, biasa, Ray. Kamu kayak nggak tahu saja.”
“Tahu apa?” desak Ray.
Fian mendesah. “Yaaaa, biasa. Gangguan makhluk tak kasat mata.”
“Oh,” Ray melipat kedua tangannya di depan dadanya. “Kamu pulang jam berapa dari kampus? Ko cepet banget?”
“Kuliah dua SKS, jam sepuluh aku sudah di sini. Malas berkumpul, nongkrong-nongkrong di kampus. Toh, hari ini nggak ada lagi jadwal kuliah. Teman-temanku sih tadi mengajakku ke pondokannya. Tapi, aku menolaknya.”
“Cieee, gaya... menolak, biasanya juga kagak!” ucap Ray. “Tumben, kenapa?”
“Lagi malas, tadi kan aku bilang gitu.”
“Ya, tapi malasnya kamu pasti ada alasannya. Kenapa? Berantem sama teman sebangkumu?” Ray mencandainya.
Fian tersenyum kecut. “Ko teman sebangku sih kayak kita di SMK saja. Ray, masuk yu? Aku butuh teman ngobrol.”
“Kalau kamu butuh teman ngobrol, kenapa langsung pulang ke pondokan? Lebih asyik kan di kampus, atau di pondokan teman. Sudah tahu kan, di pondokan ini sepi. Penghuninya jika tak tengah kuliah, paling mengurung diri di kamar masing-masing. Nggak ada orang luar yang mau bermain ke sini, sekadar mengerjakan tugas atau urusan apa kek layaknya mahasiswa...”
“Kamu sendiri, ngapain pulang ke pondokan? Nggak di kampus saja atau di pondokan teman-temanmu?” Fian balas bertanya terkesan memojokkan lawan bicara. Ray tertawa lebar. Fian kembali tersenyum kecut. Wajahnya memang agak kusam lantaran tengah ada yang dipikirkannya, makanya ia butuh teman ngobrol yang bisa diajak bicara serta mengerti apa yang akan dibicarakannya. Tidak sembarang teman.
“Kalau aku... masih ada jadwal, tapi nanti jam dua siang. Jadi, aku pulang mau istirahat dulu dan menyendiri, tadinya. Lantaran teringat kamu, aku penasaran ke sini.”
Fian masuk ke dalam diikuti Ray. Lalu mereka duduk bersisian agak jauh di tepi tempat tidur. Sebuah kasur busa yang tergelar di atas divan pendek, nyaris tanpa kolong.
“Aku kepikiran terus Bu Sri, Ray,” Fian memulai bertutur.
“Bu Sri guru kita di SMK?” Ray meliriknya.
“Emang, ada berapa orang bernama Bu Sri yang kamu kenal?” Fian balik bertanya.
Ray mendecak. “Satu orang!”
“Kalau satu orang, ngapain kamu tanya?”
“Basa-basi lah, Fian... untuk lebih memastikan, ko yang gitu saja harus kamu permasalahkan?” tubuh Ray hendak beranjak tapi lengan Fian segera menahannya.
“Oke, hehehe...” Fian tertawa menyeringai. “Kamu nggak pernah kontak lagi sama Bu Sri dan Pak Rahman?”
Ray mengangguk setelah tubuhnya kembali duduk di tempat semula. “Ketemu terakhir ketika aku baru pulang dari Kalimantan. Itu pun tak lama. Karena waktu itu, Bu Sri dan Pak Rahman terburu-buru mau pergi ke sekolah, mau mengajar. Setelah itu, aku tak pernah ketemu lagi mereka. Bahkan nggak pernah menerima telepon dari mereka. Untuk memulai menelepon mereka, selain aku sungkan... juga terlupakan karena aku kan sibuk ngurusin kuliah di sini. Jangankan sama mereka, sama saudara pun kini aku jarang kontak. Kecuali Papa dan Mama,” jelas Ray panjang lebar.
“Aku sempat ketemu beberapa kali sebelum tinggal di sini. Malah, kami kadang berteleponan. Bu Sri suka menanyakan keadaan rumah Haji Jajuli. Tapi sekarang, tidak lagi. Dan terakhir berteleponan, Bu Sri menanyakan nomor kontak Dirga yang baru, terus aku kasih. Nah, aku sekarang suka tahu kabar mengenai guru kita itu, ya dari Dirga,” Fian pun panjang lebar menjelaskan. Semenjak beberapa hari lalu, ia bersua Dirga ketika pulang kampung, hatinya pun mendadak resah. Ia ingin sekali menemui gurunya itu tapi waktu tak memungkinkan lantaran ia harus buru-buru kembali ke Jatinangor. Namun, cerita Dirga mengenai Bu Sri membuat hati Fian gelisah dan terus memikirkannya. Bagaimana pun, Bu Sri itu sangat perhatian pada murid-muridnya. Dan Fian, salah satu murid yang diperhatikannya bahkan setelah Fian lulus sekolah. Bukan hanya pada Fian. Akan tetapi Ray, Dani, dan Dirga.
“Waktu Bu Sri tinggal di rumah Haji Jajuli... kan nggak pernah sekalipun mengalami kejadian-kejadian mistis. Bu Sri pernah ko cerita sama aku, dan dia percaya jika di rumah Haji Jajuli nggak ada apa-apa. Dia selalu meyakinkan padaku juga pada Dani,” ucap Ray.
“Ya, sama aku dan Dirga juga suka meyakinkan. Meski aku bilang, aku sering melihat wujud si Gembel!” Fian kembali menegaskan mengenai si Gembel pada Ray. Makhluk menyeramkan, jin penunggu rumah Haji Jajuli. Jin yang suka iseng, melempari orang-orang yang ditakutinya itu dengan lemparan pasir atau batu ke atas atap rumahnya. Atau kepala orang yang melintasi rumah tua itu. Bahkan, Fian kembali bercerita, jika wujud si Gembel acap berdiri di balik jendela ruang atas rumah angker itu. Tengah mengawasi ke bawah, seolah menatap Fian. Tubuhnya tinggi, besar, dan hitam.
“Jadi... ketika Bu Sri dan Pak Rahman menghuni rumah Haji Jafar, mereka diganggu si Gembel juga?”
“Ya, Ray!”
“Si Gembel itu ada banyak rupanya, ya?”
“Menurutku, nggak. Si Gembel ya tetap satu. Hanya pindah-pindah tempat. Sepertinya si Gembel mengikuti kepindahan Bu Sri.”
“Mengikuti gimana? Bukankah di rumah Haji Jafar pun... si Gembel sudah ada dari sebelumnya? Sebelum Bu Sri dan Pak Rahman tiba di rumah itu. Katamu, kan... Bu Sri dengar cerita dari orang-orang sekitar mengenai si Gembel yang menghuni rumah Haji Jafar.”
“Oh, iya.. ya, hehehe, aku lupa, tapi kalau menurutmu... itu jin di kedua rumah itu... jin yang sama? Atau beda? Bisa saja kan di rumah Haji Jajuli ada, di rumah Haji Jafar juga ada...”
“Kalau beda... kenapa harus sama namanya ya, si Gembel... nggak dibedakan, misal yang satu si Gembel... yang satunya lagi si Gombal, ahahahahaha!” ucap Ray diiringi tawa lebar. Fian pun tertawa.
“Ya... sudahlah, kita jangan terlalu mikirin apa itu si Gembel jin yang sama atau beda... yang penting, kita harus memikirkan Bu Sri, guru tercinta kita. Dia ketakutan dengan si Gembel. Apalagi ketika tomatnya hilang secara misterius. Dan ditemukan di gudang, apa itu bukan kejadian yang sangat luar biasa?” Fian melirik Ray.
“Tomatnya masih utuh, ya... padahal hilangnya sudah beberapa hari.”
“Iya, masih merah, segar... sama seperti ketika hilang. Harusnya kan sudah busuk, ya? Terus... itu si Gembel.... mengatur posisi keempat tomat dengan tertib, hehehehe. Jaraknya, sekitar 5 centimeter. Dari satu tomat ke tomat lainnya.”
“Hahahahaha! Kayak peserta marching band anak SD yang tengah dikomando oleh Dani!”
“Iya, ya... rajin amat si Gembel.”
“Bu Sri mau makan itu tomat setelah ditemukan?”
“Ya, nggak laaaah, Ray... meski dia lagi ngidam juga nggak makan sembarangan apalagi itu tomat bekas pegangan jin, amit-amit!” bahu Fian bergidik. “Langsung dibuang ke tong sampah!”
“Nggak diambil lagi sama si Gembel?”
“Hahahaha! Nggak tahu lah!”
“Eh, Fi... bagaimana kalau itu bukan ulah si Gembel?”
“Aku yakin... itu ulah jin iseng itu. Kan Bu Sri, Pak Rahman juga, mengarah ke sana dugaannya. Terus didukung pendapat para tetangga yang hobi ngerumpi di warung. Afdhal!” ucap Fian disertai acungan jempol.
“Sekarang Bu Sri masih tinggal di rumah saudara Haji Jajuli? Kan pindah dari rumah Haji Jafar?”
“Iya, Ray. Bu Sri pikir tadinya... pindah tempat akan bisa menghindari si Gembel tapi nyatanya... malah melewati pengalaman buruk lainnya.”
“Yang katamu mesin tik berhantu itu?”
Fian mengangguk. Mereka pun masih asyik bercerita mengenai Bu Sri yang diusik makhluk halus selain si Gembel. Hingga tak terasa, waktu bergerak cepat. Ray berlalu untuk solat Zuhur lalu kembali ke kampusnya. Pulang kuliah, barengan Dani dengan motor masing-masing. Ray bilang pada Dani, jika esok sepulang kuliah, ia akan langsung pulang ke rumahnya. Sekaligus untuk bersua Bu Sri. Ia merasa terpanggil jiwanya, apalagi mengetahui gurunya itu acap tinggal sendirian ditinggal suaminya yang kuliah lagi di kota. Selain itu, kondisi Bu Sri tengah hamil. Pasti jiwanya kurang stabil terusik hantu-hantu di sekitarnya yang mulai acap mengganggu ketenangannya.
“Bareng, ya... aku juga mau pulang dulu, kangen Mama, Papa, adikku, nenekku, juga kangen...” ucapan Dani terputus.
“Kangen siapa?” tanya Ray.
“Indah,” ucap Dani serius. Ray tersenyum simpul. Ia masuk kamarnya. Dani pun berlalu menuju kamarnya yang berada paling pojok selatan.
Malam itu, Ray mengajak Dani dan Fian untuk berkumpul di kamarnya sekaligus menginap. Sesekali, ia ingin tidur bertiga di kamarnya. Sembari bercerita pengalaman masa-masa ketika masih di kampung halaman mereka. Juga tak ketinggalan, membahas Bu Sri yang tengah tertekan dengan kejadian demi kejadian mistis yang telah menimpanya.
“Ray, kamu pernah melihat wujud si Gembel itu?” tanya Dani.
“Sampai sekarang, nggak. Kalau mendengar pasir yang dilempar ke atap rumah sih, pernah satu kali.”
“Atap rumah siapa?”
“Rumah Fian. Waktu aku menginap di rumah Fian.”
“Ouh...” cetus Dani. “Kirain pernah melihat penampakannya.”
“Mungkin kalau waktu malam itu aku buka jendela kamar Fian...” Ray melirik ke arah Fian yang duduk di pojok kamar. “Bisa jadi, aku pun sempat melihat wujudnya yang kata Fian...”
“Gimana?” potong Dani cepat.
Fian menghela napas sesaat. “Tinggi, besar, dan hitam. Hiiii...”
“Hiiiiiiii...” bahu Dani pun bergidik membayangkannya.
Hingga pukul sepuluh, di sela makan malam, mereka bertiga masih riuh mengobrol. Tema masih seputar si Gembel. Lalu pada mesin tik berhantu. Beberapa menit kemudian, mereka pun mulai merasakan kantuk. Lalu merebahkan tubuh masing-masing. Hanya Fian yang tidur di kasur lipat lantaran kasur busa yang di atas divan, ukurannya tak lebar, hanya cukup berdua untuk Ray dan Dani.
Mata mereka pun terpejam. Namun, hanya sesaat karena dikejutkan oleh suara dari atap genting. Seperti butiran pasir yang ditaburkan seseorang. Seseorang? Ray menggelengkan kepalanya cepat. Kalau seseorang, berarti orang alias manusia. Tak mungkin, sanggahnya. Melintas dalam benaknya, wujud si Gembel yang acap dideskripsikan oleh Fian.***