Disambut yang Berdiri Depan Pondokan

1934 Words
Disambut yang Berdiri Depan Pondokan DANI menghidupkan mesin motor. Ia masuk dulu ke dalam rumahnya. Lalu menuju kamarnya. Mengambil jaket jins biru tua yang masih baru, yang tergantung dalam kapstok di belakang pintu kamar. Dekat pakaian lainnya yang juga tergantung di situ. Kemudian jaket itu dilapiskan pada atasan kaus hitam bergambar huruf-huruf Kanji yang membungkus tubuhnya. Ditatapnya wajah dan tubuh di depan kaca lemari. Bibirnya mengulas senyum. Rasanya tak sabar ingin segera pergi. Diliriknya jam di pergelangan kirinya. Pukul enam belas, tepat. Tak kurang juga tak lebih. Setelah itu, ia kembali menuju teras rumah. Mengambil helm di meja yang berada di teras, lalu mengenakan di kepala. Tubuhnya bergerak naik di motor, lalu melajukan motornya perlahan menyusuri gang. Ia geleng-geleng kepala, sampai lupa tak menutup dulu pintu rumah. Dibiarkannya terbuka. Namun sebelumnya, ia sudah pamit terlebih dahulu pada ibunya. Hanya, ibunya sempat ke luar rumah dan tak tahu Dani sudah pergi. Di jalan besar, ia menghentikan motornya sejenak. Lalu merogoh gawai di saku jaketnya. Menelepon ibunya. Tak lama, terdengar suara ibunya yang melengking, khas-nya. Dani mengatakan, pintu rumah lupa tak ditutup dan minta ibunya segera pulang. Ibunya mengiyakan sembari menasihati anaknya agar berhati-hati di jalan. Jangan cepat-cepat membawa motor. Dani tertawa kecil, maklum pada ibunya yang masih saja memperlakukannya seperti anak kecil. Padahal Dani mau menjadi mahasiswa. Bahkan sempat bekerja meski sekarang statusnya tak jelas. Bekerja tidak, kuliah pun tidak dan ia pun tak mau disebut pengangguran. Dani menenangkan ibunya yang masih cerewet mengingatkan ini dan itu. Jika Dani akan menuruti apa nasihat ibunya itu dan melarang mengkhawatirkan yang aneh-aneh. Dani bisa menjaga diri, tegasnya. “Kamu pergi bareng Ray?” tanya ibunya. “Nggak, Ma. Kan tadi udah Dani bilang, Ray sudah di Jatinangor.” “Lho, Mama pikir, kalian bareng!” “Nggak, Ma,” Dani tak habis pikir dengan ibunya yang kurang tanggap. “Ray duluan. Kan tadinya Dani nggak mau ikut waktu Ray ajak Dani ke sana. Tapi, setelah dipikir, penasaran juga ingin main ke sana. Kan belum pernah, lagian jelas tujuan Dani ke sana,untuk mencari info seputar tempat kuliah di sana,” jelas Dani. “Banyak kampus di situ?” “Nggak banyak, tapi ada beberapa kampus yang besar.” “Menginap di sana itu... di rumah siapa?” ibunya penasaran. “Di rumah saudaranya Ray, Ma.” “Ray punya saudara di sana?” “Iyaaaa!” “Rumah saudaranya itu, mengontrak tidak?” “Lho, ko jadi nanya-nanya kayak gitu sih, kepo banget Mama ini!” “Pengin jelas. Biar tenang kalau tahu anak Mama menginap di tempat yang aman.” “Rumah kos, Mama!” “Ouh, rumah kos-kosan gitu yang buat mahasiswa?” “Iyaaaaa!” Dani jadi gemas sama ibunya. “Ya udah... Mama mau pulang ke rumah, nih...” Dani senang mendengarnya. Untung cuaca sore cerah. “Ya, Ma. Dani juga mau lanjutin jalan. Keburu sore. Eh, emang udah sore banget nih, bukan keburu sore, hehehe...” “Hati-hati ya, Dan!” ucap ibunya. Dani pun kembali melajukan motornya dengan perlahan. Menyusuri jalanan. Meninggalkan kampung halamannya. Selama di perjalanan, ia berusaha menikmatinya. Gawainya sengaja dimatikan demi menghindari ada yang meneleponnya. Ia harus konsentrasi penuh agar selamat di jalan sampai tujuan. Pukul lima, tiba di sebuah perempatan di kota yang sangat ramai. Terjebak macet. Lalu-lalang kendaraan. Kendaraan-kendaraan yang terhenti, menunggu giliran melaju. Polisi lalu lintas sibuk mengatur jalannya laju kendaraan agar teratur. Suara klakson bersahut-sahutan dari para pengendara yang tak punya cukup kesabaran. Para pengamen jalanan tak mau kalah, ikut sibuk menghampiri dari kendaraan yang satu ke kendaraan yang lainnya, mengharap sekeping logam atau lembaran rupiah yang bernilai baginya. Niat mengais rezeki. Tiada henti dan tak kenal lelah semenjak pagi hingga langit hendak dipoles gelap. Dani masih melintasi perjalanan ini. Ia teringat kedua temannya, Fian dan Dirga. Jika mereka diajak, tentu akan lebih seru. Ia membayangkannya. Serasa ada yang kurang tanpa kehadiran kedua sahabatnya itu. Jikalau ada, tentu akan lebih menyenangkan. Ia tak akan melintasi jalanan sendirian seperti sore ini. Pasti akan beriringan dengan penuh suka cita. Namun, untuk mengajak mereka, ia tak sempat lantaran tengah terburu-buru dan tak ada waktu mengabarinya. Yang terpikirkan, ingin segera menyusul Ray yang sudah tiba di sana pagi-pagi sekali, lantaran Ray pergi dari rumahnya semenjak bada Subuh. Azan Magrib berkumandang dari masjid yang dilewatinya. Dani sudah tiba di Jatinangor. Ia menghentikan motornya. Lalu berhenti depan masjid. Memarkir motornya di pelataran masjid. Melepas sepatu dan menaruhnya di rak alas kaki. Kemudian, kakinya melangkah menuju tempat berwudlu. Membasuh tangan, muka, dan bagian-bagian tubuh lainnya yang termasuk daerah yang wajib terjamah air wudlu. Terasa sejuk airnya menyentuh kulit putihnya yang beberapa waktu lalu terasa gerah lantaran di perjalanan. Keringat bercampur debu jalanan sore. Ia pun masuk ke ruangan dalam masjid. Berbaur dengan jamaah lainnya yang sudah cukup banyak. Solat magrib berjamaah. Tak sempat berdoa, ia terburu-buru meninggalkan masjid. Motornya kembali melaju dengan pelan. Langit menghitam. Lalu, motornya berhenti depan sebuah minimarket yang tak banyak pengunjung. Ia tak hendak berbelanja di sana. Juga tubuhnya tak turun. Tetap berada di atas sadel motor. Sembari menghirup udara malam yang dingin. Dirogohnya gawai. Dihidupkannya sesaat. Kemudian menelepon Ray. Namun, kontak Ray tak aktif. Bahkan, Dani mengirim pesan pendek pun, ceklis satu setelah ditunggu beberapa menit. Dani bingung karena tak sempat menanyakan pada Ray dimana letak tempat kos Cika. Dani menduga, Ray akan mudah dihubungi. Namun, nyatanya setelah ditunggu sekitar lima belas menit depan minimarket tanpa turun dari motor, kontak Ray masih sama. Tak aktif. Dani mendesah kecewa. Ia menyesal tak sempat bertanya. Akhirnya, jadi seperti ini. Bingung sendiri di daerah orang. Motornya kembali bergerak perlahan. Mencari tempat makan lantaran perutnya terasa lapar. Terakhir makan, pukul dua belas siang tadi dan ia tak makan banyak karena lagi tak berselera. Setelah itu, tak bertemu makanan apa-apa lagi. Hanya minum. Ditemukannya sebuah rumah makan khas Minang, kesukaannya, juga kesukaan Ray, Fian, dan Dirga. Banyak mahasiswa yang tengah mengantri di situ. Di dalam pun sudah penuh. Dani ikut mengantri dengan sabar. Ia tak berniat mencari tempat makan lain yang mungkin tak akan mengantri dan sepi pengunjung. Sudah kepalang tanggung berdiri menunggu dilayani. Cukup pegal tubuhnya berdiri. Sampai mendapat giliran. Memesan makan, nasi putih, rendang, perkedel kentang, telut dadar, goreng tempe, dan sambal merah plus daun singkong rebus. Ia ingin kenyang makan mumpung lagi lapar sekali dan bersua makanan penggugah selera, makanya porsinya lebih banyak dari biasa. Matanya melirik pojok ruangan. Hatinya bersorak melihat tempat duduk yang kosong. Segera menuju ke sana. Duduk sendiri. Tanpa ada teman. Ia bersyukur. Satu meja, hanya ia yang berada di situ. Sebelum memasukkan makanan ke dalam mulutnya, dirogohnya gawai dari saku jaket. Mencoba mengecek pesan pada Ray. Tetap ceklis satu alias Ray belum membuka pesannya. Ia mencoba menelepon lewat panggilan telepon biasa. Masih sama. Artinya, telepon Ray tak aktif alias dimatikan. Ah, ada sesal di hati tapi segera ditepiskan. Usai membasuh tangan, langsung menyantap nasi dan rendang. Lidahnya bergerak-gerak dahsyat lantaran merasakan nikmat bersua makanan kesukaan. Sejenak melupakan kekesalan hatinya pada Ray. Pukul 21.00 WIB, Dani masih berputar-putar dengan motornya di kawasan yang dihuni dominan mahasiswa itu. Ia dilanda bingung sekali. Kontak Ray tak juga berhasil dihubunginya. Ia hendak bertanya, bertanya pada siapa. Lantaran ia pun tak ingat dimana letak tempat kos Cika. Ia tak pernah berkunjung ke sana, bahkan tahu namanya saja tidak. Yang diingatnya, hanya nama Jatinangor. Itu saja. Ia pun menyesal tak pernah menanyakan pada Cika. Jika saja ia sempat tahu, mungkin tak akan mengalami hal seperti ini. Malam-malam, tak tentu tujuan. Hatinya jadi resah dan serba salah. Motornya kini berhenti di sebuah pondokan pinggir jalan. Sepi. Tak ada orang yang lewat. Malam bergerak. Ia menyalahkan Ray yang tak juga menyalakan gawainya. Entah apa maksud Ray, pikirnya. Ray tahu Dani akan menyusulnya sore ini. Atau Ray lupa? pikirnya lagi. Namun jikapun lupa, kenapa belum juga menyalakan gawai? Beribu tanya mengerubunginya. Ia pun sedikit putus asa. Ingin kembali pulang ke kota kecil kelahirannya. Ke rumahnya. Namun, nyalinya ciut mengingat perjalanan jauh menuju malam, itu beresiko tinggi. Kalau tidak ketemu begal atau orang yang berniat jahat, bisa saja ketemu hantu atau sejenisnya. Ia pun tak mau ketemu keduanya. Dan memilih tetap berada di kota mahasiswa ini. Sembari menunggu keajaiban, gawai Ray menyala dan balik menelepon Dani. Paling tidak, membalas pesannya dan menyebutkan posisi tempat kos Cika. Ahaiii! Tetiba ada secercah harapan di benaknya. Ia baru sadar dan kenapa tak terpikirkan dari tadi? Dirutukinya sesaat kebodohannya sendiri. Namun, yang penting, ia tak terlalu suram memikirkan keberadaan Cika dan Ray. Nama gadis itu Cika Sagita dan kuliah di fakultas, jurusan anu, semester anu, anu kampus anu. Cukup data. Ia harus segera bergerak! Ia turun dari motor. Sembari melepas helm dan dipegang dengan sebelah tangan. Mendekati dua gadis yang baru keluar dari pondokan itu. Entah penghuni pondokan atau orang luar yang berkunjung, ia tak mau tahu. Kedua gadis itu sebaya Cika. Keduanya cantik dan membuat Dani terpukau. Ternyata banyak gadis yang secantik Cika. Pikirannya sedikti ngaco. “Malam,” sapa Dani ramah pada kedua gadis itu. “Malam,” yang seorang membalas. Yang satunya berwajah judes. “Bisa saya minta bantuan?” tanya Dani penuh harap. “Bantuan apa?” kedua gadis itu langsung melangkah mundur dan mengamati Dani dari atas kepala hingga bawah kaki. Tatapannya sedikit curiga. Dani merasakannya. “Tenang, saya bukan penjahat, ko!” senyum Dani mengembang. Tubuh Dani pun sedikit mundur. “Kalau saya berbuat jahat, kalian tinggal berteriak, ya? Masih banyak orang berkeliaran ko di sekitar sini, jadi bisa kalian mintain tolong.” Kedua gadis itu pun saling melirik sembari mengangkat kedua bahu. Lalu beralih menatap Dani dengan sedikit ragu. Namun, tampak berusaha mempercayai. Dani memperkenalkan nama lengkapnya bahkan asal-usulnya. “Saya bingung mencari alamat teman di sini,” kata Dani. Lalu diceritakan mengenai kontak temannya yang tak juga aktif. Dani pun menumpahkan keresahannya tanpa ingin membebani. Hanya sekadar meminta informasi yang barangkali kedua gadis itu tahu atau kenal orang yang dimaksud. Kalau pada Ray tentu tak akan tahu, tapi pada Cika, mungkin saja tahu. “Siapa nama temanmu itu?” tanya gadis yang ramah. “Cika. Cika Sagita.” “Kuliah di mana?” Dani menyebutkan nama kampus lengkap dengan fakultas, jurusan, dan semester. Hanya nama tempat kos yang tak diketahuinya. “Emang kamu tak punya nomor Cika?” tanya gadis itu lagi. Dani menggeleng. “Seminggu lalu, Cika ganti nomor telepon juga kontak WhatsApp.” “Hemmm, kamu kalau ketemu temanmu itu, emang kamu mau menginap di kamar kos-nya? Dia kan cewek! Masa kamu mau tidur sama cewek!” ucap gadis yang berwajah judes. “Saya mau tidur sama teman saya yang cowok, dong. Namanya Ray. Kata Cika, ada kamar kosong yang boleh digunakan kalau ada saudara atau teman Cika yang datang dan mau menginap.” “Ouh...” Kedua gadis itu saling berbisik. Lalu yang seorang, yang judes, menelepon seseorang yang lain. Dani menyimak. Usai menelepon, gadis itu menatap Dani. “Cika Sagita yang kamu maksud itu... mungkin orang yang kenal sama saudara saya. Barusan saya telepon saudara saya yang kebetulan kuliah di kampus yang sama dengan Cika. Bahkan fakultas dan jurusan yang sama. Hanya beda semester. Saudara saya kakak tingkatnya. Tapi mereka kenal.” “Alhamdulillah...” Dani nyaris ingin bersorak saking girang. “Berarti, kalian berdua... bisa mengantar saya ke tempat kos Cika?” “Nggak, ini sudah malam, saya juga mau pulang ke kosan. Saya suruh saudara saya kirim nomor WA Cika, mungkin dia bisa cari tahu dulu. Tunggu, ya?” Tak sampai lima menit. Nomor Dani tersambung dengan nomor Cika. Usai berucap terima kasih pada kedua gadis tadi, Dani langsung meluncur dengan motornya ke tempat kos Cika. Baru saja tiba depan pintu gerbang, Dani melihat sosok berbaju putih dan berambut panjang, tengah berdiri dan menatapnya.***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD