NANA OH NANA - BAB 8

2031 Words
Nana masih tidak menyangka dengan apa yang terjadi tadi. Dia bisa-bisanya membela pamannya yang sudah melakukan tindakan yang tidak senonoh itu pada dirinya. Bukannya dia memberitahukan pada bibinya kalau pamannya tadi melakukan hal yang tidak semestinya dilakukan pada dirinya. Itu semua Nana lakukan karena dia tidak mau bibi dan pamannya ribut lagi karena masalah wanita simpanan pamannya. “Harusnya aku bongkar semua rahasia paman, yang akan menemui wanita itu. Tapi, aku takut, malah nantinya aku yang dipojokan oleh paman dan bibi. Aku tidak mau memiliki urusan dengan orang gila seperti candra,” gumam Nana. Nana masih merasakan apa yang pamannya lakukan tadi. Bibir Candra rasanya masih menempel pada bibirnya. Lumatan Candra masih terasa di bibirnya, dan yang Nana tidak meyadari karena hanyut merasakannya adalah ketika Candra menyentuh dadanya dengan lembut dan sedikit memberi remasan yang membuatnya melayang. Nana sebenarnya merasakan apa yang pamanya lakukan padanya tadi, Nana memang sering menonto Video panas dengan temannya di tempat kerjanya. Itu semua karena teman Nana kebanyakan sudah berumah tangga. Jadi Nana penasaran saat bagian sensitifnya di sentuh lawan jenis rasanya seperti apa. Dan, tadi dia merasakan apa yang pamannya lakukan. “Aku benar-benar bodoh! Bisa-bisanya aku malah merasakan apa yang paman lakukan. Mulai sekarang aku memang harus menjaga jarak dari paman. Aku tidak boleh tergiur oleh bujuk rayunya lagi yang baik padaku. Karena uang tadi pagi, aku jadi seperti ini,” gumam Nana. Nana mendengar pintu kamarnya diketuk olesh seseorang, dan orang tersebut memanggil Nana dari balik pintu. “Na, ini bibi, boleh bibi masuk?” ucap Bibi Ayu dari balik pintu. “Masuk, Bi, tidak dikunci,” jawab Nana. Ayu masuk ke dalam kamar Nana, dia melihat Nana yang sedang duduk di depan meja belajarnya. Dia sedang mengulang kembali materi pelajaran, karena besok pagi ada ulangan. “Kamu kok bisa sama paman kamu pulangnya?” tanya Ayu. “Kan tadi sudah dijelaskan paman, paman menemui klien di tempat kerjaku,” jawab Nana. “Bukan menemui wanita, kan?” tanya Ayu. “Bukan, menemui laki-laki yang sungguh menyebalkan, sudah buat aku hampir di kasih SP sama Mas Abi,” jawab Nana berbohong pada bibinya. “Memang paman berulah lagi, Bi?” tanya Nana. “Iya, bibi sudah mulai curiga lagi, bibi sering memergoki paman kamu jalan dengan perempuan yang sepertinya seusia kamu. Dua hari yang lalu bibi lihat paman di mall bersama perempuan itu. Paman kamu memperlakukannya dengan mesra, membelanjakan segala kebutuhannya, sedang dengan bibi, kalau bibi minta saja paman kamu sulit memberinya,” jelas Ayu. “Bibi salah lihat mungkin?” ucap Nana. “Jelas sekali itu paman kamu, kalau bibi tidak mengajak Andi dan Sekar, mungkin bibi sudah ikuti ke mana mereka pergi. Bibi sadar ada Sekar dan Andi, yang tidak boleh tahu masalah papanya, karena masih terlalu dini untuk tahu soal perselingkuhan,” ucap Ayu. “Apa paman dulu seperti itu sebelum menikah dengan bibi?” tanya Nana. “Mas Candra tidak seperti itu, dia pria baik yang dulu bibi kenal. Entah kenapa semenjak Sekar berusia lima tahun, bibi sering bertengkar hanya karena bibi minta dilebihkan uang jatah bibi, karena paman selalu saja meminta jatah lebih di atas ranjang. Paman kamu tidak mau, dan sampai sekarang jika paman kamu meminta bibi untuk melayaninya, bibi selalu minta uang terlebih dahulu baru bibi melayaninya,” keluh Ayu. “Bi, bukannya itu kewajiban suami memberi nafkah, dan kewajiban bibi memberikan kepuasan batin yang paman minta? Maaf bi, bukan Nana menggurui bibi, Nana tahu ini karena teman Nana di cafe banyak yang sudah menikah, jadi Nana pasti tahu,” ucap Nana. “Iya, bibi selalu menolak jika paman tidak mau memberi uang dulu saat akan bercinta,” ucap Ayu. “Mungkin itu yang membuat paman jadi seperti itu, Bi. Bibi sama paman harus sama-sama intropeksi diri saja sih,” ujar Nana. “Kamu tambah ke sini tambah pintar, ya?” ucap Ayu dengan mengacak-acak rambut Nana. “Kamu belum ada tujuh belas tahun pikirannya sudah matang seperti itu, pasti sudah pacaran, ya?” ujar Ayu dengan meledek keponakannya. “Mungkin karena temanku kebanyakan sudah menikah, aku sering mendengar keluh kesah mereka, jadi ya seperti ini. Nana belum memikirkan pacar, Bi,” ucap Nana. “Pacar enggak punya, tapi udah kissing dengan suami bibi. Maaf bi, Nana juga tidak tahu ini bakalan terjadi,” gumam Nana. Nana masih bercerita dengan bibinya hingga sebuah taksi yang di pesan bibinya datang. Ayu pamit pulang pada keponakannya saat Lina memanggil Ayu kalau taksi yang dipesan sudah datang. ^^^ Nana masih tercenung dengan penuturan bibinya tadi. Nana jadi ingat dengan apa yang pamannya katakan pada dirinya, kalau pamannya melakukan itu semua, selingkuh dengan wanita lain, karena masalah ranjang dengan bibinya. Dan, ternyata memang benar, karena masalah ranjang dan uang. “Pantas paman begitu. Namanya istri menurutku, mau dikasih uang seberapapun, ya terima saja, kalau memuaskan juga nantinya akan ditambah. Bibi susah sih, orangnya galak, suka ngatur. Sekar saja sampai gak betah karena bibi gampang sekali emosi. Apalagi paman yang orangnya selalu kerja di luar kota dan banyak menemui wanita yang bisa memuaskan dirinya. Gak mungkin gak ngasih uang banyak sama simpanannya kalau simpanannya enggak muasin paman. Eh, aku kok mikirin itu? Gara-gara Candra gila, pikiranku melayang ke mana-mana!” gumam Nana dengan merutuki dirinya sendiri. Nana tercenung lagi, memikirkan kata-kata bibinya tadi. Dia memang sayang dengan bibinya. Bibinya diperlakukan seperti itu juga dia sangat kasihan. Apalagi melihat anaknya yang masih kecil-kecil. Sekar mau masuk SMP, dan Nana tahu, biaya sekolah semakin ke sini semakin mahal. Nana mendengar ponselnya berdenting. Ada pesan masuk entah dari siapa. Nana melihtanya, matanya membeliak melihat pesan masuk dari pamannya yang m***m itu. “Na, sudah tidur? Bibi sudah pulang?” “Belum. Baru saja pulang pakai taksi. Pulang gih! Jangan nginep di apartemen Sisca.” “Sebentar satu kali lagi, lagian Sisca masih sanggup.” “Dasar om gila! Om m***m! Ingat anak istri di rumah!” “Enggak usah ngegas, Na. Besok paman antar kamu ke sekolah.” “Enggak usah, Yuni menjemput aku. Aku tidak mau dekat-dekat manusia seperti paman!” “Kamu masih marah soal tadi? Paman sudah minta maaf sama kamu. Na, makasih, ya? Kamu sudah menyelamatkan paman dari bibi. Supaya paman menemui Sisca. Paman mau pulang sebentar lagi. Pokoknya besok paman jemput kamu. Paman ada sesuatu buat kamu dan pita.” “Enggak usah repot-repot, Paman. Nana tidak butuh. Yang Nana butuh, kembalikan perusahaan ayah seperti semula!” “Na, jangan bahas itu. Kamu belum tahu bagaimana perusahaan ayah kamu sebelum dipegang paman dan pakde. Nanti kalau kamu sudah cukup umur, paman kasih tahu. Terserah kamu mau bilang paman seperti apa!” “Terserah! Nana benci paman! Paman sudah merusak semua impian Nana!” “Oke, kamu hanya benci paman karena kamu kira paman menghabiskan uang perusahaan ayah kamu untuk bermain wanita, kan? Semua itu salah! paman akan jelaskan semua pada kamu nanti.” “Maaf, Nana tidak butuh itu!” Nana menonaktifkan ponselnya. Dia selalu saja ingat kejadian yang membuatnya hampir tidak bisa masuk SMA favoritnya. Paman dan pakdenya memberitahukan kalau perushaan milik ayahnya bangkrut karena banyak utang. Dan, rumah Nana juga harus di jual untuk menutup semua utang perusahaan peninggalan ayahnya. “Laki-laki memang pandai bersilat lidah! Apalagi laki-laki b***t seperti paman Candra. Aku yakin, perusahaan ayah banyak utang karena uangnya disalahgunakan oleh Candra untuk main perempuan!” ucap Nana dengan lirih. ^^^ Candra masih belum bisa menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya pada perusahaan peninggalan ayahnya Nana. Belum saatnya Candra cerita, karena ibunya Nana juga melarang Candra dan Aziz cerita soal perusahaan ayahnya Nana. Candra memang suka main dengan wanita malam. Memang dia pun memakai uang dari perusahaan ayahnya Nana, tapi tidak seberapa. Candra tidak mungkin menjelaskan pada Nana soal perusahaan dan apa yang terjadi sebelum ayahnya Nana kecelakaan lalu meniggal. Candra masih tercenung menatap layar ponselnya. Dia ingin menelfon Nana, tapi sudah larut malam. Nana harus istirahat, karena besok akan sekolah dan siangnya bekerja. “Maakan paman, Na. Kalaupun paman menjelaskan semua sama kamu, juga kamu tidak akan percaya sama paman,” gumam Candra. Sisca bergelayut manja pada Candra yang sedang menatap layar ponselnya. “Mas, mikirin siapa?” tanya Sisca. “Nana,” jawab Candra. “Mas, kamu jangan naksir sama Nana. Dia keponakan kamu, jangan rusak dia. Masih banyak wanita di luar sana, jangan merusak keponakan kamu, Mas!” tegas Sisca. “Husss... kamu pikirannya kenapa sampai situ sih?!” ucap Candra dengan mencubit pipi Sica. “Kali aja, Mas. Habis kamu serius banget sih mikirin Nananya. Dia kan seksi, cantik lagi, payudaranya juga wow banget kelihatannya,” ucap Sisca dengan berkelakar. “Kamu itu kalau bilang seperti itu. Aku mikir, bagaimana caranya supaya Nana tidak menganggapku penyebab bangkrutnya perusahaan ayahnya. Dia belum cukup umur tahu soal masalah peninggalannya ayahnya itu kenapa bangkrut. Dia mengira akulah yang membuat bangkrut, karena uang perusahaan buat main wanita,” jelas Candra. “Ya jelaskan saja, Mas,” ujar Sisca. “Mas belum bisa. Masalahnya sangat pelik, dan Nana masih belum cukup umur mendengar semua itu,” ucap Candra. “Ya sudah, jangan pikirkan lagi dong. Dua kali lagi, yuk? Sebelum mas pulang,” ajak Sisca. “Kamu itu paling ngertiin aku, Sayang,” ucap Candra dengan menaruh ponselnya dan langsung menerkam tubuh Sisca. Candra mencumbu seluruh tubuh Sisca, dan kembali merusak pakaian seksi yang melekat di tubuh indahnya Sisca. Entah sudah berapa pakaian seksi milik Sisca yang Candra robek saat melakukan hubungan intim. Lenguhan dan desahan kembali menggema di kamar mereka. Sisca mampu memberikan yang Candra tidak pernah dapatkan dari istrinya. Dan, Candra sangat takut jika Sisca memang akan dijodohkan oleh orang tuanya. Candra takut karena dia tidak akan lagi bisa merasakan kepuasan bercinta seperti saat dengan Sisca. Dengan perempuan lain, Candra sama sekali tidak merasakan sepuas bercinta dengan Sisca. Itu mengapa, Candra mau memberikan lebih pada Sisca. ^^^ Candra berpamitan untuk pulang, seusai dirinya puas bermain dengan Sisca. Sisca memang selalu bisa menghilangkan kepenatan Candra saat di kantor. Candra melajukan mobilnya menuju ke rumahnya. Menurut Candra kembali ke rumah sama saja masuk ke dalam neraka. Dia harus mendengar istrinya mengeluh, istrinya mengomel, dan lain sebagainya. Belum lagi soal uang. “Ayu, Ayu, kapan kamu akan berubah. Aku mencintai kamu, Yu, sangat mencintaimu. Tapi, kamu tidak pernah mengerti aku, tidak pernah mengerti kalau aku menginginkan seperti dulu, saat pertama kali kita menikah. Tutur katamu lembut, kamu selalu menggodaku di ranjang. Sekarang, bicara saja pasti ketus,” gumam Candra. Candra sampai di rumahnya. Dia langsung masuk ke dalam rumahnya yang memang belum di kunci. Candra langsung masuk ke dalam kamarnya, dia melihat Ayu sedang duduk di depan meja riasnya. “Belum tidur, Ma,” ucap Candra dengan memeluk istrinya dan mencium pipinya. “Yang papa lihat?” jawan Ayu dengan dingin. “Ma, jangan ngambek dong.” Candra mencoba merayu istrinya dengan memeluk, dan mengusap lembut pipinya. “Pa, lepaskan! Aku capek!” ucap Ayu dengan mendorong tubuh Candra yang akan mencium bibirnya. “Mama tidak mau nih? Papa ingin melakukannya. Sudah satu minggu papa belum dapat jatah nih,” ucap Candra dengan terus menggoda istrinya, padahal dia ingi sekali marah dengan istrinya. “Papa enggak dengar mama capek?! Kalau mau tinggal buka saja, dan mama butuh uang belanja!” ucap Ayu dengan ketus. “Kemarin kurang, Ma?” tanya Candra. “Kurang banyak!” jawabnya. “Oke, tapi malam ini dua kali, ya?” pinta Candra. “Harus doble juga jatah belanjanya, atau triple,” jawabnya tanpa menatap Candra. “Oke, deh. Aku kasih empat kali lipatnya,” ucap Candra dengan mengambil ponselnya, dan langsung mentransfer uang ke rekening istrinya. “Cek, Ma, sudah masuk, kan?” ucap Candra. “Hmm... nanti mama cek,” jawabnya. Candra langsung menyentuh istrinya yang sudah satu minggu memang dia tidak menyentuhnya. Itu karena Ayu beralasa macam-macam saat Candra ingin melakukannya. Candra sama sekali tidak merasakan puas dengan istrinya. Meski melakukan dua kali dengan istrinya. Ayu terlalu kaku, tidak mau mengimbangi permainan suaminya, meski Candra sudah memberikan sesuai yang Ayu minta. “Kenapa sih, Yu? Kamu dingin sekali? Salahku apa? Kalau kamu bisa saja menghidupkan gairah di ranjang ini, mungkin aku akan meninggalkan semua wanita simpananku. Aku sebenarnya tidak ingin menyakitimu, Yu. Tapi, kamu selalus sepeti ini,” gumam Candra dengan melihat istrinya yang sudah terlelap. Candra mengecup kening Ayu dan memeluknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD