NANA OH NANA - BAB 7

2872 Words
*P.O.V Chandra* Ini sungguh gila! Kenapa aku bisa terbawa suasana seperti tadi? Aku sudah berani mencium bibir keponakanku sendiri. Aku tidak tahu, kenapa aku sampai seperti ini dengan Nana. Bibir manis dan mata yang cantiknya menghipnotis diriku hingga aku bisa melakukan hal yang tidak semestinya aku lakukan. Nana masih saja menangis karena perbutanku tadi. Aku merasa sangat bersalah sekali dengan dia. Tidak ku sangka aku berani seperti itu pada keponakanku. Nana masih terlihat menyeka air matanya berkali-kali. Aku mengusap kepalanya, tapi dia menyingkirkan tanganku dengan kasar. “Maafin paman, Na,” ucapku dengan fokus mengemudikan mobilku. Nana tidak menjawab apa-apa. Dia hanya diam dan menangis. Aku tidak tahu nanti bagaimana bicara sama ibu dan Mbak Lina kalau melihat Nana yang pulang denganku keadaannya seperti ini. Mata sembab dan wajah lusuh karena air matanya dari tadi terus berjatuhan. “Na, jangan nangis, nanti kalau ibu kamu sama eyang tanya kamu kenapa kamu mau jawab apa? Sudah, Na, jangan nangis terus. Dicium aja nangis,” ucapku dengan melirik Nana. Nana menghunuskan tatapan tajam padaku. Dia benar-benar memperlihatkan kemurkaannya padaku. “Tadi paman bilang apa? Dicium saja nangis? Paman tidak sadar, aku ini siapa? Aku keponakan paman!” ucap Nana dengan keras dan diiringi isak tangisnya. “Iya, kan? Paman hanya mencium kamu, Na. Enggak mukul, enggak nyubit, dan menyakiti fisik kamu,” jawabku dengan santai, padahal hatiku sungguh tidak karuan, apalagi melihat Nana yang terus menangis membuat aku semakin merasa bersalah padanya. “Sakitnya ini lebih dari di sakiti fisik, paman!” ucap Nana dengan wajah yang nanar dan masih menangis. “Nana, sudah jangan menangis, nanti paman bilang apa dengan ibu dan eyang!” ucapku dengan keras untuk menghentikan tangisan Nana. Tapi, Nana semakin menangis dan terus menatap sengit padaku. Aku menepikan mobilku. Aku sengaja biar aku bisa menenangkan Nana yang masih sangat marah denganku. “Nana, please... Nanti ibu dan eyang bilang apa kalau kamu seperti ini? pulang dengan mata sembab,” ucapku dengan menarik tubuh Nana agar dia mengahadap ke arahku. Aku menatapn wajahnya yang sudah basah karena air matanya terus jatuh dari sudut matanya. “Maafin paman, oke paman akui, paman khilaf. Paman tergoda bibir manismu, maafin paman, Na,” ucapku dengan mengusap air mata Nana. Plak...!!! Nana menampar wajahku dan menatapku dengan sengit. Aku tidak menyangka Nana menampar aku dengan keras. Aku salah, memang aku salah, dan aku memang tergoda oleh bibir manisnya yang ranum. Sungguh aku sangat tergoda. “Nana tidak menyangka paman bicara seperti itu! Bisa-bisanya paman  bicara seperti itu!” ucapnya dengan geram. “Buka pintunya, Nana mau pulang pakai ojek!” ucap Nana dengan memintaku membukan pintu mobil. “Na, ini sudah malam, paman antar kamu pulang. Maafkan paman,” ucapku. Nana hanya diam, dia menyandarkan kepalanya dan menatap ke arah jendela mobil. Aku masih memerhatikan dirinya yang masih juga menangis. Aku bodoh sekali, terang-terangan bicara pada Nana kalau aku tergoda dengan bibir manisnya yang membuat Nana semakin marah denganku. Mobilku sudah masuk ke halaman rumah ibu mertuaku. Nana dan ibunya sekarang tinggal di rumah ibu mertuaku, karena ibunya Nana terpaksa menjual rumah peninggalan ayahnya untuk menutup utang perusahaan milik ayahnya Nana. Aku yang salah, aku mengelola perusahaan ayahnya Nana tidak amanah. Ditambah dengan perusahaan ayahnya Nana memang sudah terjerat banyak utang. “Na, maafin paman, ya?” ucapku dengan menarik tangan Nana yang akan keluar dari mobil. Aku menarik tangan Nana hingga tubuh Nana jatuh kepelukanku. Aku memeluknya, aku meminta maaf pada Nana, meski Nana menangis dan memberontak saat aku peluk. “Maafin paman, Na. Paman janji tidak akan mengulanginya,” ucapku. Nana hannya terdiam dan semakin terisak. Dia sudah tidak berontak lagi saat ku peluk. “Paman, jangan lakukan ini lagi. Aku keponakan paman. Harusnya paman tidak melakukan itu, harusnya ciuman pertama Nana bukan untuk paman. Paman jahat!” ucapnya dengan memekik lirih karena menahan tangisnya. “Iya, maafin paman, ya? Paman janji, tidak akan melakukan ini lagi. Paman janji. Sekarang kamu hapus air matamu, jangan menangis lagi. Nanti ibu dan eyang curiga sama kamu,” ucapku dengan mengusap air matanya. Nana keluar, dan aku pun ikut keluar, mengantar dia sampai masuk ke dalam rumah. Aku juga ingin menjelaskan, kenapa sampai Nana menangis. Jika ibu mertuaku atau kakak iparku bertanya pada Nana kenapa Nana matanya sembab. “Paman, tidak usah ikut mengantar aku, sana paman langsung pulang saja,” ucap Nana. “Na, nanti kalau eyang dan ibumu tanya bagaimana? Aku akan memberikan alasan pada mereka saat mereka menanyakan kamu yang seperti ini,” ucapku. “Itu tidak perlu. Nana bisa sendiri! Silakan paman pulang, dan temui wanita simpanan paman tadi!” ucap Nana dengan menatap sengit padaku. “Aku tidak akan pulang, sebelum mengantar kamu masuk!” tegasku dengan menarik tangan Nana. “Awww.... sakit...!” pekiknya. “Maaf, makanya jangan membantah!” tegasku lagi. Aku menarik tangan Nana sampai di depan pintu rumah. Aku mengetuk pintu, dan tak lama kemudian ibu mertuaku membukakan pintu rumah. “Syukurlah kalian sudah pulang, ada Ayu di dalam, baru saja sampai,” ucap ibu mertuaku. “Nana, kamu kenapa? Kamu habis nangis?” tanya ibu mertuaku pada Nana. Aku dan Nana diam, dan saling menatap. Aku bingung harus menjawab apa, dan Nana seolah-olah memojokan aku, kalau akulah yang salah. Hingga Ayu dan Mbak Lina keluar menemui kami. “Mas Candra? Kamu pulang sama Nana?” tanya Ayu. “Iy---iya, sayang,” jawabku agak bingung. Bingung kalau nanti aku tidak bisa keluar lagi menemui Sisca di apartemennya. “Katanya kamu menemui klien malam ini? Kok malah mengantar Nana pulang kerja?” tanya Ayu. “Bukannya memang Candra bersama Nana? Dari jam sembilan kamu bersama Nana kan, Can?” tanya Mbak Lina. “Mbak, Mas Candra bilang dia mau menemui klien nanti jam sepuluh, sekarang dia malah sama Nana? Tadi memang dia mengirim pesan padaku mau menemui klien, dan sekarang sudah jam sepuluh lebih,” ucap Ayu. “Lalu ini, kenapa Nana menangis?” tanya Mbak Lina. “Kamu apakan Nana sampai nangis gini, Mas?” tanya Ayu. Aku semakin pusing harus menjawab apa. Aku memang bilang sama Ayu, kalau aku mau menemui klien jam sepuluh. Padahal aku mau menemui Sisca di Apartemennya. “Aku belum menemui klienku kedua malam ini, aku baru menemui satu klien, dan klien pertamaku ada masalah dengan Nana saat di cafe. Kebetulan, aku menemui klien di cafe di mana Nana bekerja,” jelasku dengan santai, agar Ayu semakin tidak curiga, terlebih Nana hanya diam, tidak mau menjawab dan pandangannya seperti mengintimidasi ku kalau akulah yang bersalah dan membuatnya dia menangis. “Klien kamu ada masalah dengan Nana?” tanya Ayu yang terlihat curiga padaku. “Iya, tadi Nana hampir saja mau dipecat di tempat kerjanya, karena dia melakukan kesalahan, menumpahkan air minum pada klienku. Lalu klienku tidak terima, beruntung ada aku, kalau tidak ada mungkin Nana sudah dipecat, tapi tetap saja klienku tidak terima, dan menyuruh Nana mengganti rugi jasnya yang telah kotor. Nana dibentak, dan dia nangis dari tadi tidak diam-diam, seperti anak kecil saja,” jelasku dengan meyakinkan semua yang bertanya Nana kenapa, termasuk istriku yang berada di rumah ibu. “Benar begitu, Nana?” tanya Ayu pada Nana yang kurang percaya dengan penjelasanku. “Iya, Bi. Dan, terima kasih paman, sudah menolong Nana tadi di cafe,” ucap Nana. “Percaya, kan? Itu kenapa aku masih dengan Nana, dan belum menemui klien keduaku,” ucapku pada Ayu. “Lalu, katanya kamu mengantar Nana ke toko buku juga? Terus sekalian kamu mau menemui seseorang?” tanya Mbak Lina. Sumpah, aku tidak ingat saat tadi menelfon Mbak Lina kalau aku mengantar Nana ke toko buku dan bilang mau menemui seseorang juga. Aku harus kasih jawaban apa lagi? “Tadi paman menungguku pulang setelah selesai menemui klien di cafe Yuni, Bu. Lalu aku bilang aku ingin ke toko buku, paman mengantarku, dan ternyata paman melupakan dokumen yang akan di bawa meeting nanti, lalu paman menemui rekan kerja paman yang satu kantor dengan paman,” jelas Nana pada semuanya, dan aku benar-benar speechlees dengan apa yang Nana katakan pada ibunya. Pintar juga dia menutupi kebohonganku. “Dan, paman menunda meetingnya, karena mengantarkan aku pulang terlebih dahulu. Nana memang nangis lagi, karena Nana ingat saat Mas Abi, manajer cafe memarahi Nana,” jelas Nana lagi. “Nana masuk dulu, Nana capek, mau mandi, besok juga ada ulangan, makasih paman,” ucap Nana dengan langsung masuk ke dalam rumah. “Kamu percaya kan, Sayang? Jangan curigaan mulu kenapa, sih? Suami kerja dicurigain, gak kerja katanya males-malesan! Giliran dapat jatahnya sedikit ngambek. Sudah aku mau menemui klienku yang tadi sempat tertunda, untung ada Fajar yang sedikit menghandle keterlambatanku. Sudah aku berangkat,” ucapku pada Ayu dan langusng pamit pada semuanya untuk menemui klien padahal aku akan menemui Sisca. Begitulah Ayu, selalu saja curiga, dan selalu saja pasang wajah seram seperti kuburan.  Bagaimana suami betah, dia saja seperti itu? Aku butuh menuntaskan hasrat, di suruh bayar dulu, sudah gitu pelayanannya tidak memuaskan, mending sama Sisca, keluar uang banyak bisa memuaskan sampai pagi. Aku pamit dengan Ayu, ibu, dan Mbak Lina. Aku tidak peduli dan tidak tanya Ayu ke rumah ibu pakai apa, dan perlu aku antar pulang atau tidak. Paling juga kalau aku tanya dan menawarkan mau aku antar pulang atau tidak, dia pasti menolak. Dia takut kalau aku akan meminta dia melayani di ranjang. Ayu wanita yang dingin. Dari awal pernikahan pun sudah dingin sekali. Hubungan ranjangku dengan Ayu tidak seperti orang pada umumnya. Dia sudah main itung-itungan jika aku ingin berhubungan dengannya. Ya, sejak dulu, pertama kali mau menikah denganku. Dia bilang perawan itu mahal, jadi aku pun harus memberi mahar banyak saat akan menikahinya. Begitu katanya adat yang ada di keluarga Ayu. Aku tidak peduli, karena aku memang mencintai Ayu, sangat mencintainya. Dan, memang Ayu memberikanku yang perama kalinya. Aku pun tidak pernah terpikirkan untuk mencari selingan di luar sana, itu semua karena Ayu masih melayaniku dengan baik di awal pernikahan kami. Setelah Sekar lahir, dan aku baru merintis usahaku, Ayu seperti tidak terima dengan penghasilanku yang kecil. Dia merasa tidak seperti temannya di luar sana yang selalu dijatah suaminya dengan uang banyak. Aku memang pernah memiliki usaha, namun Ayu lah yang membuat usahaku tumbang. Tidak ada usaha yang langsung instant sukses. Namanya usaha itu dari nol, dengan sabar pasti usaha itu semakin besar. Ayu akhirnya menyuruhku meninggalkan usahaku, dan menyuruh aku mencari pekerjaan yang lain, agar aku bisa layak memberikan nafkah untuknya. Beruntung aku banyak pengalaman bekerja, akhirnya aku bekerja di perusahaan Advertising, karierku semakin bagus, sekarang aku dipercaya atasanku mengelola cabang perusahaan baru. Dan, aku tidak memberitahukan pada Ayu, karena pasti dia akan semakin semena-mena dengan aku, meminta jatah lebih, tapi saat aku meminta jatah lebih di ranjang, dia menolak dan marah besar denganku. Setiap kali berhubungan intim, dia langsung meminta aku membayarnya sesuai dengan yang dia inginkan. Seperti itu istriku. Bagaimana aku tidak mencari kepuasan di luar sana? Istriku saja seperti itu. Tidak pernah memuaskan suami dalam hal ranjang. Untung saja Nana tadi berhasil meyakinkan istriku. Dia pintar sekali memberi alasan, meski tadi dia sangat marah padaku, dia masih membela aku. Aku masih memikirkan kejadian tadi seusai makan di restoran bersama Nana. Aku masih merasakan manisnya bibir Nana yang berhasil aku kecup dan sedikit aku memberikan lumatan pada bibir Nana. Aku merasa, Nana sedikit membalasnya, hingga sadar dia mendorongku. Aku yakin Nana menikmati apa yang aku lakukan tadi, hingga dia tidak menyadari, kalau aku pun sudah menyentuh lembut d**a sintalnya. Sial! Aku semakin membayangkan lekuk tubuh Nana yang indah, jika bercinta denganku. Stop, Candra! Itu keponakanmu! Baru saja kamu melakukan kesalahan besar, sekarang kamu memikirkan untuk melakukan hal lebih jauh dengan Nana. Sungguh keterlaluan sekali otak m***m kamu yang tidak bisa tahan dengan tubuh seksi Nana. Aku berhenti memikirkan Nana dan membayangkan tubuh indah Nana yang tadi terbalut celana jeans ketat dan t-shirt yang ketat juga. Sunggun sedap sekali dipandang, tubuh indah keponakanku itu. Aku membelokan mobilku ke apartemen Sisca. Aku yakin dia sudah menungguku dengan gaun seksinya. Malam ini aku akan menikmati tubuh indah Sisca lagi, meski masih kalah dengan lekuk tubuh Nana yang sangat indah dan seksi. Kenapa aku memikirkan Nana lagi? Sial! gadis itu sudah membuat otaku seperti ini. Meminta otak ini terus membayangkan dan memikirkan dia. Aku harus fokus dengan Sisca, dia sudah aku beri lebih malam ini, dan aku juga akan meminta lebih padanya. Meski aku tidak pernah meminta jatah tambahan, Sisca selalu memberikan servis tambahan untukku. Dia sadar, akulah yang mengubah hidupnya dengan menjadikannya sugar baby. Dia sungguh lihai dalam hal bercinta, dan setelah dengan aku, dia meninggalkan semua laki-laki yang ingin menyewa dirinya. Aku menemui Sisca di unit apartemennya. Benar, aku melihat dia sudah berpakaian seksi dan sedang membuatkan aku secangkir teh. Dia seperti istri keduaku, melayani di atas ranjang, dan melayaniku yang lainnya, seperti memaskan makanan, juga menyiapkan keperluanku bekerja saat aku menginap di apartemennya. Apartemen Sisca adalah rumah keduaku. Meski demikian, Sisca tidak menuntutku untuk menikahinya. Dia memang ingin hidup seperti ini, tanpa ikatan, dan aku membebaskan dia mau jalan dengan siapa saja, asal di saat aku butuh dia siap. Seperti malam ini, aku membutuhkan dia, dia dengan cepat mengabulkannya. Sisca seorang mahasiswa. Dia kuliah karena aku yang membantu membiayainya. Ya, aku membiayai kuliahnya. Aku ingin dia mendapat pendidikan yang baik. Aku bertemu saat dia benar-benar membutuhkan uang untuk membayar uang kost dan uang kuliah. Sebentar lagi dia akan lulus kuliah. Sisca gadis dari desa yang kuliah di kota dengan biaya minim dari orang tuanya. Sehingga membuat dirinya mencari tambahan untuk biaya hidup di kota. Aku yang membantunya dari dia kuliah semester tiga hingga sekarang dia sudah semester akhir dan masih mengurus skripsi. Aku melakukan seperti itu, karena aku sadar, aku sudah merusak dirinya, aku selalu butuh tubuhnya, dan dia mampu memberikan lebih dari apa yang aku dapat dari Ayu, istriku sendiri. “Sayang, kamu masak juga?” tanyaku. “Hmm... aku belum makan, tapi kamu pasti sudah makan dengan keponakanmu tadi,” jawabnya. “Aku hanya menemani dia makan saja, sambil menunggu kamu, kita makan dulu, ya? Aku lapar,” ucapku. “Kamu tidak menemui istrimu dulu, Mas?” tanyanya. “Tadi ketemu, di rumah ibu mertua, saat aku mengantar Ayu pulang, untung saja Nana pandai membuat alasan hingga aku bisa ke sini,” jelasku. Aku melihat Sisca menyiapkan makanan dan mengambilkan untukku. Kami makan malam berdua. Makan malam yang sudah kelewatan. Sisca pasti sibuk dengan skripsinya, hingga dia lupa makan malam. Masakannya selalu saja enak, dan setiap hari dialah yang menyiapkan sarapanku, karena Ayu jarang menyiapkan sarapan. Sekar pun kadang sarapan di sekolahannya, kadang bibi di rumah memasak, tapi masakannnya tidak pernah cocok dengan lidahku. “Mas, boleh aku bicara sesuatu dengan Mas?” ucap Sisca. “Boleh, Sayang, mau bicara apa?” tanyaku. “Aku mau dijodohkan bapak di desa. Sebenarnya orang tuaku tidak setuju aku kuliah, tapi aku memaksakan, dan sekarang saat aku sudah mau selesai kuliah, bapak menjodohkanku dengan laki-laki yang katanya dia anak orang kaya. Aku tidak mau, Mas. Aku ingin mencari kerja di sini, aku tidak mau menikah, memiliki ikatan sangat tidak mengenakan. Itulah kenapa aku tidak mau terikat dengan Mas, bukan karena mas sudah beristri. Memiliki suami kadang tidak seindah yang kita bayangkan. Meski suami sanggup memenuhi kebutuhan lahir dan batin,” jelasnya. “Kamu masih muda, Sisca. Kamu juga butuh pengalaman kerja. Perempuan tidak hanya di dapur saja, selain pandai di dapur, juga harus bisa bekerja. Karena wanita juga harus maju, tidak hanya laki-laki saja yang memiliki kedudukan, wanita juga harus. Apalagi kamu mahasiswa yang pandai, sayang sekali habis kuliah langsung menikah,” tuturku. “Itu yang aku pikirkan, aku belum bisa membahagiakan bapak, ibu, dua adikku, tapi bapak terus memaksaku, setelah wisuda aku harus langsung menikah. Kata bapak, seorang perempuan meski berpendidikan tinggi percuma saja, karena tetap dapur yang diurus, rumah tangga yang diurus,” ucapnya. “Kamu bicara baik-baik dengan orang tuamu lagi. Tidak usah ngegas, tidak usah kasar, kalaupun mereka memaksa, terimalah sebagai bentuk pengabdianmu pada kedua orang tuamu. Ada jalan dalam suatu masalah. Jangan khawatir, jangan seperti ini wajahnya,” ucapku dengan mengusap pipinya. Seusai makan malam, Sisca langsung bermanda dan duduk di pangkuanku. Tangannya merangkul leherku dan langsung mencium bibirku dengan lembut. “Jangan terlalu memikirkan masalah perjodohan itu. Aku yakin pasti ada jalan dalam setiap masalah, oke...,” ucapku dengan membalas ciuman Sisca. Aku suka jika dia seperti ini, membuat hasratku meninggi dan tidak menunggu lama, aku langsung melucuti pakaiannya. Kami melakukannya di sofa berkali-kali. Sisca begitu memuaskan aku malam ini. Dia benar-benar pandai sekali mengimbangi apa yang aku lakukan. Lenguhan lembutnya dan rintihan seksinya menjadi candu di telingaku yang ingin aku dengarkan setiap hari di atas ranjang. “Mas....” Sisca mendekatiku lagi setelah aku selesai membersihkan badanku. “Apa, Sayang...,” ucapku dengan melingkarkan tanganku ke pinggangnya. Baju seksinya masih melekat di tubuh seksinya. Aku kembali membukanya dengan kasar, hingga baju yang ia kenakan robek tak karuan. “Mas.... kamu kebiasaan, ini baru aku beli,” ucapnya dengan mengerucutkan bibirnya, hingga aku gemas, dan langsung melahap bibir manisnya. “Nanti aku ganti, beli lagi yang banyak. Aku suka seperti ini, Sayang...,” ucapku dengan terus menciumi leher Sisca dan bermain di dadanya yang sintal. Kami melakukannya lagi berkal-kali hingga Sisca puas, dan aku pun sangat puas. Sisca memang wanita hiperseksualitas. Mungkin sama sepertiku, hingga sebelum kita puas melakukannya, kami terus melakukannya hingga kami puas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD