*P.O.V Nana*
Aku sudah sampai di depan restoran, tempat di mana paman akan bertemu dengan perempuan bernama Sisca. Aku penasaran, seperti apa perempuan yang bernama Sisca itu. Apa dia cantik? Seksi? Atau lebih dari bibi, sehingga paman menjadikan di wanita simpanannya?
Aku duduk di depan paman. Aku memesan makanan, karena memang aku merasa sangat lapar sekali. Jatah makan malamku tidak aku makan, itu karena lauknya sungguh membosankan.
Lagi-lagi, aku melihat paman yang sedang mencuri pandang padaku. Aku menjadi semakin risih dengan paman yang seperti itu. Baruntung makananku sudah sampai, dan aku langsung menikmatinya tanpa peduli paman yang sedang bermain ponselnya, dan sedikit-sedikit mencuri pandang padaku.
“Na, makannya yang benar, makan gini saja belepotan.” Paman Candra mengusap mulutku yang belepotan dengan jarinya. Tidak menggunakan tissue.
“Paman, jangan gitu dong,” ucapku.
“Kenapa memangnya?” tanya Paman.
“Aku kan risih, nanti dikira aku wanita simpenan paman,” jawabku dengan sedikit kesal.
“Sudah habiskan makananmu, jangan banyak bicara kalau lagi makan. Makan yang benar, biar tidak belepotan,” tuturnya.
Aku menghabiskan makananku. Paman hanya memesan minuman dan makanan ringan saja. Dia paling tahu kalau aku doyan makan, sampai dibelain paman tidak makan, karena menemani aku yang lapar. Tadi aku memang bicara pada paman, kalau aku sangat lapar sekali.
Tak lama kemudian, aku melihat paman melambaikan tangan ke ara pintu masuk dan tersenyum bahagia. Aku menoleh ke arah pintu masuk. Seorang wanita cantik dan seksi berjalan menghampiri mejaku dan paman.
“Sayang, kamu lama sekali,” ucap paman Candra saat menyambut wanita itu. Paman juga mencium perempuan itu di depanku, tidak hanya mencium pipi, paman juga mencium dan sedikit melumat bibir wanita itu.
“Maaf, Sayang, tadi aku mengantar temanku dulu ke kost nya,” jawabnya.
“Nana, kenalkan ini Sisca yang tadi paman katakan. Sisca, itu Nana keponakanku.” Paman mengenalkan aku dengan Sisca, begitu pula sebalikanya, paman juga menganalkan Sisca padaku. Kami saling berjabat tangan, dia menyapaku ramah.
“Ini keponakan kamu? Aku kira simpanan kamu yang lain, Sayang,” ucapnya. “Aku hanya bercanda, Nana,” imbuhnya dengan tersenyum padaku.
“Tidak apa-apa, Kak,” ucapku. Aku memanggil dia Kak, karena umurku dengan Sisca hanya terpaut tiga atau empat tahun saja. Kata Paman sih, gak tau sebenarnya Sisca umur berapa.
Pantas saja paman sangat tertarik dengan Sisca, dia lebih dari bibi. Bibiku penampilannya sederhana, biasa saja, dan natural. Sedang Sisca? Dia sungguh canti, seksi, dan benar-benar bisa memikat hati pria seumuran paman.
“Ini sayang.” Paman memberikan amplop cokelat tebal, mungkin isinya uang, dan benar Sisca membukanya, isinya benar uang.
“Terima kasih, Sayang,” ucap Sisca dengan mencium paman.
“Cukup, kan?” tanya paman pada Sisca.
“Ini lebih dari cukup, Sayang. Aku tunggu di apartemen malam ini,” ucap Sisca.
“Hmmm... aku akan mengantar Nana pulang dulu, setelah itu aku ke apartemen kamu,” ucap paman.
Aku tahu, pasti paman akan meminta hubungan intim dengan Sisca. Aku bisa pastikan, malam ini paman tidak akan pulang ke rumah. Dan, bibi pasti menelfon ibu atau curhat denganku.
Aku sebenarnya malas, setiap hari bibi mengeluh denganku, karena perbuatan paman. Sekarang, aku tahu bagaimana perbuatan paman, dan aku harus menutupinya. Ini sungguh beban buatku.
Kami keluar dari restoran, setelah selesai makan malam. Aku kesal dengan paman, aku masuk terlebih dahulu ke dalam mobil. Aku menutup pintu mobil dengan keras.
“Nana, kamu kenapa?” tanya paman dengan mengusap kepalaku.
“Paman ngasih uang ke Sisca gampang banget, tapi ngasih bibi dan Sekar, paman itung-itungan!” jawabku dengan penuh amarah.
“Ceritanya berbeda, Sayang....” Paman mengusap kepalaku lagi dan menatap wajahku dengan sangat dekat, hingga aku merasakan embusan napasnya yang hangat menyeruak ke wajahku.
“Paman memberikan banyak dengan Sisca, karena servis Sisca memuaskan. Paman lebih memilih memberi wanita lain, daripada dengan bibi kamu yang tidak bisa memuaskan tapi selalu pasang tarif kalau habis melakukannya. Apa itu yang dinamakan istri?” ucap paman tepat di depan wajahku.
Aku melihat sorot mata paman menyiratkan sebuah kekecewaan. Aku merasa memang paman dan bibi memang tidak baik masalah ranjangnya, hingga paman seperti ini.
“Maksud paman apa? Sampai paman bicara seperti itu?” tanyaku dengan menatap wajah paman yang masih berada di depanku.
“Suatu hari kamu akan mengerti, tolong mengerti paman. Paman sayang sama bibi, Sekar, Andi, tapi paman butuh kenyamana dalam bercinta, dan selama ini, paman belum bisa mendapatkan dari siapapun. Sudah, kamu jangan pikirkan ucapan paman tadi. Kamu tidak usah bilang dengan bibi masalah paman dengan Sisca. Kamu mengerti, kan?” ucap paman dengan mengusap pipiku.
“Iya, aku mengerti. Jadi paman pun belum nyaman dengan Sisca?” tanyaku.
“Iya, paman merasa seperti itu. Paman minta tolong, jaga rahasia ini. Paman tahu, kamu anak baik, yang amanah, dan kamu pasti bisa menyembunyikan ini. Please... hanya kamu yang tahu paman seperti ini, dan malam ini paman tidak pulang,” ucap Paman.
Aku tidak sadar, ternyata paman dari tadi mengusap pipiku dengan lembut, mengusap kepalaku, dan menatapku dengan penuh kelembutan. Aku menatap mata paman yang menyiratkan suatu permohonan padaku, agar aku tidak bicara dengan siapapun soal perselingkuhan paman ini.
“Jangan bilang dengan bibimu, ya?” mohon paman lagi.
“Iya, Paman,” ucapku dengan lirih.
“Terima kasih, Na,” ucapnya dengan mencium lembut keningku.
Paman mencium keningku cukup lama, hingga aku merasakan tangan paman menyusup ke leherku dan mengusapnya lembut. Paman mengangkat daguku dan menghadapkan wajahku tepat di depannya. Paman mencium lembut bibirku, tapi aku langsung mendorongnya. Sungguh ini hal yang sangat menjijikan dan memalukan sekali. Aku di cium pamanku sendiri.
“Maaf, Na,” ucap paman.
“Seharusnya paman jangan seperti itu, antar aku pulang sekarang,” ucapku dengan mengusap air mataku.
Aku tidak menyangka, ciuman pertamaku dengan pamanku sendiri. Sungguh memalukan sekali. Harusanya ciuman pertamaku dengan seseorang yang aku cinta, bukan paman Candra.
“Na, jangan nangis, maafkan paman. Paman tidak bermaksud seperti itu sama kamu,” ucap paman dengan mengusap kepalaku.
“Jangan sentuh aku!” ucapku dengan menyingkirkan kasar tangan paman yang berada di kepalaku.
Aku masih menangis, aku malu, aku semakin takut dekat dengan paman Candra yang mungkin akan bertindak lebih daripada ini padaku.
Aku bodoh sekali! Kenapa aku mau di perlakukan seperti ini dengan pamanku sendiri? Selama ini, tidak ada satupun laki-laki yang menciumku. Dan, malam ini, malam ini paman mencium bibirku. Sungguh ini sangat menjijikan sekali.
Tangisku makin pecah. Paman meraih tubuhku dan memelukku. aku memberontak saat paman memelukku.
“Jangan menangis, nanti apa kata ibumu, saat melihat mata kamu sembab?” ucap paman dengan memberikan tissue padaku.
“Paman minta maaf,” ucapnya.
Benar kata paman, kalau aku terus menangis, ibu akan curiga aku pulang dengan mata yang sembab. Sebisa mungkin aku menghentikan tangisku. Aku tidak mau ibu curiga saat melihat aku pulang dengan mata sembab. Perasaanku masih campuur aduk, setelah mendapat perlakuan paman yang seperi itu padaku. Sungguh aku tidak menyangka paman akan melakukan hal seperti ini padaku.