9. Fitnah

1166 Words
Rhea masih gemetaran setelah membaca pesan dari Ratna. Bahkan gadis itu tak lantas membalas pesan tersebut, membiarkan temannya itu menunggu penjelasan darinya. Sungguh Rhea tak mampu berkata-kata. Bisa-bisanya para karyawan kantor membicarakan seputar dirinya dengan Rio. Bahkan mereka tanpa ada klarifikasi terlebih dulu padanya, apakah berita yang tersebar itu beneran atau hanya ulah orang tak bertanggung jawab. Ingin sekali Rhea mencari orang pertama yang telah membuatnya menjadi artis dadakan di kantor. Sayangnya Rhea tak dapat melakukan penyeledikin sendirian. Ia masih membutuhkan seseorang yang bisa dia mintai informasi. Ya, siapa tahu saja Ratna bisa membantunya. Mencari seseorang yang telah menyebar fitnah tentang dirinya memang tak semudah membalik telapak tangan. Namun, Rhea tetap harus berusaha untuk membersihkan nama baiknya. Pantas saja hampir semua orang yang ditemui di kantor menatapnya dengan raut wajah tidak suka. Ternyata ini penyebabnya. Kembali gadis itu memasukkan ponsel ke dalam tas kerjanya. Tidak sabar ingin segera sampai di kantor lalu menemui Ratna. Rhea harus menjelaskan secara langsung pada Ratna bahwa dia dengan Rio benar-benar tak ada hubungan apa-apa. Foto yang mereka lihat di mana dirinya tampak berduaan dengan Rio, itu semua dikarenakan mobil miliknya ada di kantor. Antara ingin menyesal karena telah menerima niat baik Rio yang tiba-tiba menjemputnya di rumah tadi pagi. Namun, Rhea kembali berpikir bahwa ini semua bukan salah Rio sepenuhnya. Bahkan Rhea yakin sekali jika Rio sendiri tak tahu apa-apa tentang hal ini. Detak jantung Rhea masih berdebar. Mencoba menghirup napas panjang lalu ia embuskan perlahan. Mencoba menenangkan dirinya sebelum dia kembali ke hadapan Rio dan Mister Hiro. Ekspresi wajah yang tadi keruh dan masam juga berusaha Rhea normalkan kembali. Barulah ia keluar dari dalam toilet dan kembali ke mejanya yang tadi. Rupanya urusan Rio dengan Mister Hiro telah selesai terlihat dari interaksi mereka yang saling berjabat tangan. Rhea berdiri di samping Rio. Dan ikut menyalami Mister Hiro bersama dua orang karyawan pria asal Jepang itu, sebelum mereka bertiga undur diri meninggalkan resto. “Sudah selesai Pak meetingnya?” Rhea bertanya pada Rio dengan tidak bersemangat. “Sudah. Terima kasih ya Re karena kamu mau menemaniku. Kalau tidak ada kamu aku mungkin sedikit canggung jika harus menghadapi Mister Hiro seorang diri.” “Mau balik kantor sekarang Pak?” “Iya. Saya sudah tidak ada urusan lagi. Kamu sendiri? Apakah ingin mampir dulu ke suatu tempat? Saya akan mengantarmu?” Kepala Rhea menggeleng malas. “Tidak, Pak. Kita langsung balik ke kantor saja.” “Atau mau ngopi dulu? Kulihat wajahmu masam begitu. Kenapa? Apakah pertemuan dengan Mister Hiro tadi membosankan? Maaf ya sudah membuatmu kelelahan,” ucap Rio dengan disertai senyuman juga usapan di pundak Rhea. “Tidak, Pak. Kita balik kantor saja.” “Yakin?” Kepala Rhea mengangguk. ”Iya.” “Baiklah. Ayo!” Rio mempersilahkan Rhea berjalan keluar lebih dulu barulah pria itu menyusul di belakang gadis itu. *** Di sepanjang perjalanan, Rhea hanya diam karena pikirannya sibuk berkelana ke mana-mana. Rio tentu saja menyadari itu semua. Sampai pria itu pun kebingungan dibuatnya. Tadi saja saat mereka berangkat, Rhea masih baik-baik saja. “Re!” Panggilan Rio menyentak lamunan Rhea. Gadis itu menoleh ke samping. “Ya?” “Apa ada sesuatu yang terjadi?” Rhea memaksakan senyuman. Berpikir antara memberitahu Rio atau tidak karena semua masalah ini ada kaitannya dengan sang atasan. Karena Rhea tak kunjung menjawab, Rio jadi yakin bahwa memang ada sesuatu yang terjadi dengan wanita di sampingnya ini. Sungguh Rio tidak suka jika melihat Rhea bersedih hati begini. Bukan Rio tak tahu jika di kantor, Rhea seolah dikucilkan oleh teman-temannya hanya karena kedekatan yang terjalin di antara mereka berdua. Namun, mana mungkin Rio bisa menjauhi Rhea jika kenyataannya hidup Rio akan lebih berwarna jika dia bersama Rhea. Tidak melihat wajah Rhea barang sehari saja sudah membuat Rio rindu. Salahkan hatinya yang terlalu lemah jika berhadapan dengan Rhea. Bahkan Gisela saja tidak sebesar ini pengaruh pada hidupnya. Ya, Rio akui keberadaaan Rhea lebih menonjol ketimbang sang istri. Entahlah, di usia pernikahan kelima tahun Rio dengan Gisela, pria itu merasa mulai hambar menjalani kehidupan pernikahan. Hanya karena kedua anaknya lah, Rio masih bertahan meski sering sekali dia bertengkar dengan Gisela. Rio hanya berani merasakan kenyamanan bersama Rhea dalam diam tanpa berani mengutarakannya pada Rhea. “Re! Kenapa diam. Jika ada masalah cerita saja. Mungkin aku bisa membantumu.” “Masalahnya rumit, Pak.” “Serumit apa? Tidak ada masalah yang tak ada penyelesaiannya.” “Tapi masalahnya menyangkut kita berdua,” adu Rhea lalu mengembuskan napas kasar. Kepalanya terlemopar ke samping menatap pada jalanan yang mulai macet di sana sini. Tanpa meminta persetujuan dari Rhea, Rio membelokkan mobil pada sebuah kafe yang mereka lalui. Rhea sempat terkejut karena Rio tak langsung membawanya kembali ke kantor. “Pak! Kok kita ke sini?” “Iya sengaja. Siapa tahu saja kita bisa mengobrol dengan tenang sambil ngopi, kan?” “Tapi jam istirahat kita sudah habis.” “Kamu lupa sedang pergi bersama siapa? Aku bosnya dan kamu pergi karena urusan pekerjaan bersama saya.” “Tapi, Pak. Saya tidak mau gosip di antara kita makin merebak dan tersebar luas di kalangan para karyawan.” “Apa? Maksudmu?” “Ya, begitu.” “Tunggu! kita bicara di dalam saja.” Rio memarkir mobilnya. Keduanya turun dari dalamnya begitu mobil berhenti. Rio memesan kopi sesuai permintaan Rhea dan kini mereka sedang duduk saling berhadapan. “Sekarang coba katakan ada apa sebenarnya?” Rhea menyesap kopinya. Menghela napas berat sebelum dia bercerita. “Pak Rio. Saya minta maaf sebelumnya. Apakah bisa jika kita tidak terus menerus terlihat bersama?” “Mana bisa begitu? Kita ini kan partner. Bagaimana dengan pekerjaan kita, jika tak saling bertemu dan bersama. Kamu ini aneh.” “Tapi saya tidak bisa mendengar gosip yang maikin ke sini makin berani. Bahkan menjurus pada fitnah.” “Maksudmu apa, Re?” Dengan terpaksa Rhea menunjukkan pesan yang ia dapatkan dari Ratna. Sama halnya dengan Rhea. Reaksi yang Rio tunjukkan adalah terkejut. Bahkan lelaki itu sampai meremas ponsel milik Rhea. “Ini sudah keterlaluan dan tidak bisa dibiarkan,” geram Rio, mengembalikan ponsel pada pemiliknya. “Lalu apa yang harus saya lakukan, Pak. Karena menurut saya solusi satu-satunya ntuk kita adalah tak terlalu banyak berinteraksi. Beberapa proyek mungkin bapak bisa serahkan pada yang lain.” “Tapi kan Manager Marketingnya kamu, Re. Tidak etis jika saya langsung berhubungan dengan anak buahmu karena jabatanmu sebagai Manager adalaah yang menjembatani saya dengan karyawan bagian penjualan yang ada di bawahmu.” “Bapak pindah saja saya ke divisi lain. Ke administasi atau apa, pokoknya yang tidak ada hubungan dengan bapak.” “Nggak bisa, Re! Itu bukan solusi namanya karena saya sudah terlanjur cocok dengan kinerjamu. Saya tidak bisa gonta ganti tim sembarangan jika tidak mau perusahaan akan jadi berantakan. Bagi saya gosip ini bukan harus kita hindari tapi kita basmi.” “Bagaimana caranya, Pak?” “Kamu tenang saja. Itu akan menjadi tugas saya.” Inginnya Rhea tenang dengan janji yang Rio berikan. Namun, hati kecilnya tetap saja merasa resah jika gosip ini masih tersebar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD