Chapter 34

1129 Words
Pakaian?? Sudah. Kacamata?? Sudah. Riasan wajah?? Juga sudah. Baik, tidak ada hal yang aneh darinya kini. Ia yakin ia berhasil untuk yang satu ini.  Satu satunya yang tersisa kini adalah bagaimana caranya ia menutupi rambut emasnya yang berkilau terang. Irene rasa, satu satunya keluarga di negeri Adderaveth yang memiliki rambut emas adalah keluarga keturunan kerajaan. Jika pun ada, perlu diselediki lebih lanjut apakah orang tersebut merupakan keturunan haram dari para pendahulu atau memang orang yang lahir di luar negeri namun kebetulan tumbuh di Adderaveth. Sebuah syal menjadi pilihan terbaiknya saat ini. Hm.. dimana biasanya para pelayan menyimpan aksesoris miliknya. Laci demi laci di ruang baju- sebuah ruangan di samping kamarnya yang tentu saja bisa diakses dari dalam nampak dikelilingi oleh gadis itu dalam waktu hampir lima belas menit. Laci demi laci ia buka satu persatu lalu ditutup kembali, hingga sampailah ia pada sebuah laci terakhir, dimana letaknya berada d dalam lemari gantung yang dibuat dari kaca berbahan premium. Syal besarnya ada disana- tapi bukan itu yang membuat gadis diumur ketiga puluhnya ini mematung. Kalung. Sebuah kalung berbandul oranye, yang membuat bulu kuduknya berdiri seketika. Kalung yang ia beli ketika di alam mimpi- begitu pula dengan Semi. Dan menurut si gadis pendekar itu, kalung tersebut muncul di alam nyatanya. Bahkan selalu dipakai oleh Semi setiap hari. Tapi tidak untuk Irene. Semenjak pagi itu terbangun, Irene tidak menemukan kalung yang ia curigai di sekeliling kamarnya- seperti apa yang dikatakan oleh Semi. Irene pikir, kalung tersebut tak akan muncul di alam nyatanya. Tapi nyatanya tidak. Kalung tersebut ada di alam nyatanya. Di depan mata Irene sendiri. Semua hal gila ini berkonklusi pada satu hal- alam mimpi milik Semi dan Irene berhubungan langsung dengan alam nyata mereka. Apa yang terjadi di alam mimpi bisa membuat perubahan di alam nyata mereka. Jika ini hanya terjadi pada dua orang, Semi dan Irene- maka alam mimpi mereka memang benar benar jalan masuk sekaligus jalan keluar dari segala keanehan yang mereka alami. Hal ini memperkuat Irene untuk melaksanakan agenda berbahayanya hari ini. Dengan mengepalkan tangannya bertekad, Irene memakai syal yang sedari tadi dicarinya- di laci yang baru saja ia buka, kemudian gadis itu nampak menggelung rambutnya dengan lihat. Rambut yang digelung dan dilapisi oleh selendang hitam akan membuatnya semakin terlihat bak pelayan biasa. Senyum terbentuk di bibir tipisnya. Ya, Irene kali ini tengah melakukan penyamaran sebagai salah satu dari puluhan pelayan yang ada di area istana. Baju pelayan dan atributnya ia curi dari tumpukan baju kering yang baru saja diangkat dari jemuran oleh pelayan yang ia lihat beberapa jam yang lalu. Sebelum memasuki kamarnya untuk bersiap siap- Irene berkata pada lady in linenya bahwa ia tidak merasa sehat, dan ingin tidur seharian sampai puas. Berkata pada mereka bahwa jangan ada satupun dari mereka yang mengganggunya. Bersiap siap dengan segala macam riasan dan aksesoris, Irene memuji dirinya sendiri mengenai kemampuan meriasnya yang ternyata sangat memukau. Jika ia sepandai ini, untuk apa setiap harinya Irene direpotkan dengan orang orang yang mengelilinginya untuk mendandaninya?? Pun beberapa kali mereka berbuat kesalahan karena Irene tidak menyukai style yang mereka buat. Ini tanggal lima belas. Di setiap tengah bulan, para pelayan keluar dalam artian dalam perjalanan pekerjaan –bukan untuk urusan cuti atau pulang kerumah- untuk berbelanja berbagai macam hal. Mulai dari bahan baku untuk memasak, hingga berbagai macam kain dan benang jika yang mulia ratu sedang ingin menyulam untuk mengisi waktunya. Oleh karena itu, Irene yang sudah diam diam keluar dari kamarnya ketika memastikan tak ada seorang pun yang diam di depan kamarnya. Menunduk dan menunggu rombongan pelayan untuk berjalan kearah yang ia tuju. Gerbang istana. Ketika hampir tiga puluh pelayan itu bergerombol membuat barisan, Irene diam diam menyelinap disana lengkap dengan penyamarannya yang apik. Berhasil keluar dengan baik baik saja bersama mereka semua tanpa dicurigai sedikitpun. Tapi tunggu dulu- Bagaimana cara mereka semua untuk ke pasar?? Irene tidak melihat apapun yang bisa dijadikan alat transportasi oleh mereka, dan selama ini Irene tidak penasaran dengan bagaimana mereka selalu keluar. Dengan kebingungan, irene yang kini diam agak di belakang hanya diam mengikuti sampai akhirnya dia menyadari- bahwa jalan yang ditempuh oleh para kelas atas berbeda dengan apa yang ditempuh oleh para kelas bawah. Biasanya, ketika Irene keluar untuk memiliki jadwal bersama dengan para noble lady lainnya, atau ketika Irene melihat tamu ayahnya keluar dan kembali pulang, mereka selalu menaiki kereta kencana dan berjalan lurus mengikuti jalanan mulus biasa. Sedangkan yang ia lalui kini, adalah jalan kesamping, melewati taman dengan banyak pohon rindang lebih dahulu- baru Irene menemukan bahwa mereka semua menggunakan gerobak biasa yang ditarik oleh seekor kuda biasa- pun dengan jalan yang tidak dilalui oleh kelas atas pula. Jadi ini alasan Irene tidak pernah menemukan keberadaan mereka di jalan yang selalu Irene lalui. Dengan berhati hati, Irene menaiki gerobak tersebut bersama yang lainnya. Tersenyum tipis ketika mereka bertanya mengenai identitasnya, dan dijawab bahwa dia hanyalah pelayan baru di istana. Senang bahwa ternyata penyamarannya tidak terbongkar karena kemampuan riasnya yang luar biasa. Menjadi pelayan baru di sebuah tempat dimana memiliki ratusan pelayan- tiap gedung memiliki puluhan pelayan- tidak akan membuat orang lain curiga meskipun mereka tidak mengenalinya. Amat sangat wajar. Menyamar menjadi pelayan memang benar benar sebuah pilihan yang terbaik. Ketika ia sudah sampai di pasar, ia masih mengikuti rombongan sembari mencari waktu yang tepat untuk menyelinap pergi dari sana. Ketika tahu bahwa ia memiliki kesempatan yang jarang, Irene berkelit dengan memasuki gang yang berbeda dengan semua pelayan itu. Mencari sebuah tempat yang sudah ia tuju semenjak tadi pagi. Sebuah tempat yang sudah ia observasi, dan ia temukan keberadaannya melalui peta dan obrolan para pelayan beberapa waktu lalu. Tidak disangka- dengan menguping pembicaraan pelayannya sendiri, yang sebenarnya waktu itu ia lakukan hanya karena jenuh, bisa menjadi peluang paling baik di masa yang akan datang. Hingga sampailah kaki pendeknya itu di sebuah rumah- di rumah susun tua yang bahkan dari tampilan depannya pun terlihat tidak pernah dirawat dengan baik. Percaya diri dengan apa yang dilakukannya, Irene mengetuk dan masuk ketika sebuah suara serak dari dalam memperbolehkannya untuk mengakses tempat yang belum pernah ia sambangi ini. Matanya yang tadi percaya diri agak sedikit bergetar ketika ornamen ornamen di dalamnya membuat ia sedikit menciut. Hidup di dunia- di negeri yang menjunjung tinggi kebersihan dan keamanan, melihat tempat seperti ini jujur saja membuat dia seakan mengalami keterkejutan budaya. “Untuk apa seseorang sepertimu datang kemari, yang mulia??” Eh?? Irene dengan refleks langsung melirik kearah bajunya dan menyentuh rambutnya. Apakah syalnya terbuka dan menampilkan rambut emasnya yang berharga?? Tapi nyatanya tidak. Tapi jika diingat ingat, wajar saja jika sosok di hadapannya ini mengetahui tentang identitasnya. Karena dia adalah seorang- “Tuan peramal, aku-“ belum sempat Irene mengatakan tujuannya untuk berada di sana. Satu buah kalimat yang keluar dari pria lansia itu membuatnya tertegun diam. “Sejak awal, disini hanya ada satu. Dua lagi harus pergi”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD