Chapter 32

3459 Words
Kaki jenjang berlapiskan bawahan dengan bahan yang amat sangat bagus dan mahal itu bergerak untuk masuk kedalam ruangan setelah sahutan dari dalam memperbolehkannya untuk beranjak, dimana ia bisa menemukan sesosok pria gagah yang paling disegani seantero negeri. Tahu diri untuk menunggu dan menutup mulutnya ketika tahu orang yang ia tuju masih sibuk, pemuda yang satu itu memilih untuk berdiri diam hingga sekitar sepuluh menit sebelum akhirnya satu buah deheman memperbolehkannya bicara. “Sesuai dengan apa yang engkau titahkan, aku menemukan beberapa hal mengejutkan dalam pencarian kali ini” mulanya yang kini membuat pria tua agung yang satu itu benar benar memfokuskan dirinya untuk mendengarkan. “yang pertama- knight Semi Maximillan adalah sosok yang sebenarnya dincar untuk dibunuh” Percakapan yang dimulai dari informasi mengejutkan ini berbuah menjadi obrolan sangat panjang yang memakan waktu lebih dari satu jam. Beberapa kali ia mengutarakan pendapatnya yang disambut dengan baik oleh sang raja sebagai salah satu pilihan yang akan dibuatnya. Pun, sesekali keduanya berpikir keras mengenai apa yang akan mereka lakukan untuk selanjutnya. Bukannya Aaron melangkahi para penasehat kerajaan atau bahkan yang mulia ratunya. Tapi, disaat begini, memang sepertinya Aaron yang paling cocok untuk diajak berdiskusi. Sang raja tak ingin istrinya memiliki banyak pikiran, sedangkan dewan politik lainnya tidak tahu banyak hal seperti pemuda yang satu ini. Aaron.. mengetahui terlalu banyak hal yang sejujurnya tak perlu- bahkan tidak boleh- ia ketahui. Selesai dengan diskusi yang rasanya tak kunjung rampung itu, Aaron akhirnya pamit untuk keluar ruangan dan memasuki kamarnya sendiri. Keuntungan menjadi pengawal pribadi sang putri adalah ia memiliki kasta yang jauh lebih tinggi- bahkan dibandingkan para keluarga bangsawan lainnya. Ya.. meskipun mereka para noble family tak akan berpikiran seperti itu. Namun pada nyatanya, Aaron bebas melakukan hal apapun –bahkan membunuh sekalipun- kepada para keluarga bangsawan jika mereka macam macam, atau meskipun hanya merendahkan Aaron. Apalagi, jika sesuatu menyangkut sang putri. Tanpa perlu meminta izin atau konfirmasi dari raja dan ratu, Aaron bebas melakukan penyiksaan apapun, baik fisik maupun mental tanpa takut terkena hukuman. Pun, Aaron bahkan tinggal di istana dengan kamar tidur yang eksklusif. Beberapa para noble family masih menganggapnya rendah karena meskipun ia tinggal di istana, mereka hanya akan menganggap Aaron tidak jauh berbeda dengan para pelayan. Tapi, jika melihat dari bagaimana Aaron diperlakukan, pemuda yang satu itu bahkan sudah bisa disebut sebagai ‘tuan’ di area istana ini. Aaron yang saat itu merasa sangat lelah meskipun hanya menghabiskan waktunya bicara dengan sang raja akhirnya memutuskan untuk langsung masuk ke kamarnya dan melewati acara makan siang. Pikirannya terasa amat berat dan sepertinya ia lebih memilih untuk tidur sejenak sebelum kembali berpikir lagi. Ini semua dimulai dari kejadian sepuluh hari yang lalu. Ingatan pemuda yang akrab dipanggil Aaron ini berlabuh pada hari dimana dirinya dan sang putri Irene Judasquith sampai di gerbang kerajaan Adderavteh setelah perjalanan panjang selama lima hari untuk kembali pulang. Tak mengindahkan rasa lelahnya, Aaron yang kala itu sudah memastikan bahwa putri Irene sudah masuk ke kamarnya dengan selamat dan beberapa anak buahnya berjaga di hadapan kamar si putri, langsung menggerakkan tubuh yang sudah meminta istirahat itu untuk masuk ke ruang kerja sang raja, seperti tadi pagi. Tugasnya sebagai pengawal putri raja bukan hanya masalah menjaganya dan memastikan tak ada yang menyakitinya- tapi juga melaporkan segala hal yang terjadi selama Irene berada dalam pengawasannya. Jadi, segala macam pembicaraan, baik dengan pangeran Adam hingga pembicaraan singkat pada masyarakat biasa pun dilaporkan oleh Aaron kepada ayahanda dari Irene Judasquith.Hingga berlabuhlah laporannya kala itu pada kalimat seorang nenek tidak dikenal, yang memandangi Irene dan Semi- yang kebetulan ada di samping gadis itu karena sehabis menolongnya- dengan tatapan yang tidak terbaca. “ ‘Kalian tidak seharusnya ada di sini’ Itulah yang diucapkan nenek tersebut pada tuan putri Irene dan knigt Maximillan, yang mulia” lapor Aaron kala itu, yang langsung berimbas dengan dirinya memiliki tugas tambahan lainnya. Entah harus mengumpat atau bagaimana Aaron ini. Di sisi lain, Semi yang sepuluh hari lalu baru saja terbangun dari tidurnya, dimana ia bermimpi tengah berada di rumah pohon bersama Irene nampak memijat pelipis ketika kepalnya bagian kanannya tiba tiba nyeri amat parah. Matanya terbuka, namun yang ia lihat hanyalah pandangan buram yang berkunang kunang. Gadis berusia dua puluh tujuh tahun itu nampaknya sama sekali tidak berminat untuk tidur kembali meskipun nyeri menyerang kepalanya, lebih memutuskan untuk bangkit dan jalan terseok seok untuk mengambil secangkir air mineral yang ia rasa bisa memuaskan rasa dahaganya. Pandangannya terpatri pada sebuah kamar kecil yang ternyata adalah kamar tidur adikknya. Adik yang bahkan ia tahu keberadaannya dari orang lain beberapa minggu yang lalu, yang sampai kini keduanya belum bisa berbincang secara efektif untuk mencari tahu identitas dirinya- pun Semi bingung pula dengan identitas sosok yang mengaku sebagai adikknya ini. Namanya adalah Sean, pemuda berusia dua puluh satu tahun, yang mana artinya berjarak enam tahun dari Semi. Sudah, hanya itu saja yang baru ia ketahui dari adikknya. Kesibukannya setiap hari lalu jarang pulang kerumah dan memilih untuk tidur di bangunan kecil didalam istana- dimana bangunan tersebut memang khusus untuk para pendekar menginap-, pun juga terkadang bocah itu sudah menghilang ketika Semi bangun jika ia tertidur dirumah membuatnya belum bisa berinteraksi lebih banyak. Yang ia lakukan hanyalah menyimpan beberapa lembar uang, dan terkadang memasakan sesuatu untuk bocah itu jika ada bahan makanan yang bisa dimasak di rumahnya. Dengan kepala yang masih pening, ia memilih untuk menghiraukan dahulu Sean, dan membuka tirai juga pintu untuk mendapatkan cukup sinar matahari dan udara segar pagi hari. Ini adalah jadwalnya libur. Jadi, berleha leha sebentar sebelum esok ia sudah harus kembali berlatih dan membuat skema penyerangan dan pertahanan sepertinya terdengar sangat menyenangkan. Jalan jalan pagi ke pasar untuk mencari jajanan sepertinya ide yang bagus. Namun, tahu bahwa ini masih terlalu pagi untuknya berkeliaran, gadis yang satu itu akhirnya memutuskan untuk menyirami tanaman di halaman rumahnya dahulu sembari menunggu matahari sedikit lebih tinggi. Dengan kuap yang membuat mulutnya terbuka lebar, Semi memperhatikan sekelilingnya. Rumahnya ini memanglah bukan kawasan kompleks dimana biasa kalangan menengah –seperti keluarga pedagang kain kaya raya atau doktor yang bukan berasal dari keluarga bangsawan- dimana biasanya rumah rumah dalam kategori cukup mewah itu agak berjejer dengan taman yang luas, namun rumahnya ini bukan juga masuk dalam kalangan rendah yang amat sangat pas pasan. Ia bisa dibilang kalangan menengah agak bawah. Jika dibandingkan dengan gajinya, gadis yang satu ini heran kemana semua uangnya pergi sebelum ia kehilangan ingatannya. Dengan mata yang juga tak kunjung selesai menatap kawasan penuh tanaman ini, sepertinya ini hari yang baik untuk Semi melukis sesuatu yang ada di dalam mimpinya. Mimpi dengan latar yang indah meskipun dengan misteri yang tak kunjung terpecahkan. Ah.. si gadis bersurai ikal ini ingat bahwa beberapa warna yang ia gunakan sudah habis. Juga, ia hanya memiliki satu kanvas sisa. Tidak akan cukup untuknya melukis banyak tempat di mimpinya hanya dengan menggunakan kanvas berukuran sedang. Jadi, dengan semangat, gadis itu mencoba mendatangi bocah tempat dimana ia membeli kanvas dan cat lukis sekitar satu bulan yang lalu. Melambai penuh semangat, bocah berpakaian agak kumal itu melebarkan senyumnya ketika menyadari kakak cantik pendekar kala itu akan membeli barang jualannya lagi. “Halo adik kecil” sapa Semi sumringah. Yang disapa balik tersenyum sumringah menampakkan sudut bibir yang penuh dengan remahan roti yang bisa Semi pastikan pasti roti keras yang sebenarnya tidak layak konsumsi. “Aku ingin membeli beberapa kanvas dan beberapa cat” “Silahkan dipilih kakakk” selesai dengan kanvas yang tentu saja lebih mudah dipilih, Semi akhirnya melabuhkan pandangannya pada banyaknya warna yang terjajar disana. “mm.. bisakah aku memiliki warna biru yang lebih tua dari ini, tapi tidak setua yang satu ini??” tanya Semi sembari menunjuk dua warna berbeda. “Mm.. yang ditengah tengah kedua warna itu??” “Er.. i..ya?? Tapi lebih tua sedikit” “Hah??” Ya. Maafkan Semi yang banyak mau, tapi ia tipikal orang yang perfectionis. Maka dari itu, ia berlari menuju rumahnya –yang untung saja tidak jauh- untuk mengambil satu buah kanvas yang sudah jadi dengan warna yang ada di sana. Tahu mengenai apa yang diinginkan pelanggannya, bocah tadi mengiyakan dengan mencampur beberapa jenis warna untuk membuat warna yang diinginkan tersebut. Ah, aku lupa memberi tahu, tapi bocah yang satu itu sepertinya pandai dengan warna. Ia bukan hanya menjual warna warna dasar, tapi juga bisa membuatkan dan menjual warna yang diinginkan calon pembelinya. Dengan biaya jasa, tentu saja. “Indah sekali. Itu Kaladome, kan??” ujar bocah tadi yang malah dipandang tidak mengerti oleh Semi. “Bagaimana??” “Yang kau lukis itu desa Kaladome, kan??” “Kau tahu tempat ini??” pekik Semi yang membuat bocah tadi mengangguk ragu. “Kakak tidak tahu?? Aku pikir kakak melukisnya karena kakak pernah kesana” “Ah, aku hanya melukis asal. Aku tak tahu jika ini ada di tempat aslinya” alibi Semi menyembunyikan kegirangannya. AKHIRNYA- satu persatu misteri di hidupnya mulai terkuak. Tinggal menunggu ikan besar untuk tertangkap oleh kailnya. “Ah begitu...” ujar bocah tadi mengangguk pelan. “jika kakak memiliki waktu luang, kakak bisa kesana. Kudengar dari beberapa orang dewasa di kalangan bangsawan, Kaladome adalah tempat yang sangat indah, namun sepertinya sudah jarang atau tidak pernah lagi dikunjungi” “Kenapa??” “Setahuku, beberapa ratus tahun yang lalu, Kaladome adalah sebuah negeri besar juga seperti disini. Namun kalah dari perang hingga membuat mereka tersungkur parah. Kudengar sekarang mereka mengusung konsep barter saking miskinnya kawasan tersebut” Ah... amat sangat sesuai dengan apa yang selalu ia mimpikan. “dimana letak pastinya Kaladome ini??” “Aku tidak tahu, aku tidak pernah keluar dari kota ini” kekehnya polos. “tapi yang kudengar, dahulu Kaladome adalah negara tetangga kita. Jadi aku rasa, tidak akan terlalu jauh” Karena hal itulah, Semi empat hari kemudian langsung mengajukan cuti tanpa mengatakan alasannya untuk apa. Enggan menjawab banyak pertanyaan yang bahkan kemungkinan tak akan bisa ia jawab. Well.. sepertinya, jika pun tidak diperbolehkan, ia akan kabur saja dan kembali esok hari. Toh dia tak akan mungkin di pecat karena hal sesepele itu. Perks of being a wonderful royal knight. Perjalanannya dimulai dengan menggunakan kuda putih kesayangannya. Hari itu ditutupi awan, tapi masih dibilang cukup cerah. Ya.. setidaknya tidak akan sampai hujan deras yang akan mengganggu perjalanannya nanti. Dari kediamannya yang berada tepat di tengah tengah kota, cukup memakan waktu yang agak panjang untuknya sampai di ujung perbatasan yang merupakan gerbang sebagai lambang bahwa satu langkah melewati gerbang tersebut, maka orang yang sudah melewatinya sudah tidak berada di wilayah Velvetenus. Tepat beberapa puluh meter sebelum dirinya melihat dengan jelas keberadaan gerbang yang dimaksud, gadis yang nampak menggelung surainya hanya dengan menggunakan satu buah kuas berukuran kecil –ya, jangan salahkan Semi tapi rambutnya terlalu panjang untuk diurai begitu saja, sedangkan ia tidak melihat kemana perginya ikat rambut yang selalu ia gunakan- itu melihat hamparan padang rumput yang amat sangat luas dengan pertigaan tidak jauh dari sana. Ah.. ternyata ia sudah cukup jauh beranjak. Matanya yang tidak sengaja menangkap sebuah penginapan besar, yang mana merupakan penginapan yang biasa digunakan oleh bangsawan di luar negeri untuk menginap ketika memiliki keperluan di negeri Velvetenus. Bangunan besar yang menjadi ciri khas bahwa seseorang sudah sampai di negeri kaya raya ini. Sukses melewati gerbang, Semi akhirnya seratus persen keluar dari negerinya ini untuk mencari negeri yang sudah terjatuh dan bahkan sepertinya dilupakan oleh banyak orang itu. Daerah dimana ia sendiri tak tahu tepatnya dimana, karena tak ada seorang pun yang bisa membuatkannya peta menuju kesana meskipun Semi bersedia membayar mahal.  Anggap saja gadis yang satu itu tengah membiarkan dirinya sendiri tersesat di tanah yang tidak ada yang mengetahui siapa tuannya. Suara khas dari langkah kaki kuda tidak menjadi satu satunya teman perjalanan kali ini. Suara angin yang kencang, burung yang bernyanyi hingga ranting dan daun yang bertubrukan satu sama lain ikut serta dalam memastikan bahwa gadis itu tidak merasa kesepian. Ya.. kesepian sih tidak, tapi sejujurnya cukup menyeramkan jika dikombinasikan dengan langit yang tidak begitu cerah. Semoga saja badai tidak datang ketika Semi belum sampai disana, atau belum sampai kembali kerumah. Terjebak badai tanpa perlengkapan apapun bukanlah hal yang menyenangkan. Satu satunya hal yang ia bawa hanyalah satu botol air minum beserta beberapa buah kacang kacangan dan buah kering yang kantungnya ia gantungkan di kuda putih miliknya itu. Sebagai bahan perlindungan, Semi tentu saja membawa dua pedang miliknya, beserta satu buah pisau baru yang ia beli sekitar satu minggu yang lalu. Ya, gadis yang satu itu masih juga tidak menemukan dimana keberadaan pisaunya yang lama. Jika kalung oranye yang menggantung di lehernya ini menjadi nyata, maka kemungkinan pisaunya itupun masuk kedalam mimpi atau apapun itu. Yang pasti, tidak ada bersamanya. Tapak kaki kuda nampak terbentuk di sepanjang perjalanan, membuat siapapun yang melihat pasti akan tahu bahwa seekor kuda baru saja melintas dari sana. Pepohonan tinggi nampak berjajaran rapih di tempat yang tidak menjadi lintasan, seakan memberi tahu bahwa mereka melindungi orang orang untuk tidak masuk ke tempat yang lebih tidak terjamah. Beberapa medan tanah sangat terjal, yang membuat gadis satu itu sesekali harus turun dari kudanya untuk berjalan sekaligus menuntun agar si putih tidak jatuh terjerembab. Yang jelas, semakin ia menjauhi Velvetenus dan semakin ia masuk melewati hutan hutan dengan pohon yang lebat, semakin pendek pula jarak pandangnya karena kabut yang semakin menebal. Memang sudah jelas disana ada kabut, juga ditambah cuaca membuat gadis yang satu ini sedikit bersyukur karena ia membawa mantel panjangnya untuk pergi bersamanya. Semakin dalam ia menyusuri hutan, mencoba mencari jalan dimana kemungkinan orang dari negeri yang sudah jatuh itu biasa ia lewati, semakin banyak pula hewan hewan buas yang menatapannya dalam diam. Otak gadis itu memang tak mengingat apapun selain ingatan semenjak satu bulan yang lalu, tapi tubuhnya seakan sudah terbiasa mengenai situasi berbahaya semacam ini. Tanpa perlu bergerak banyak, gadis itu sudah menyadari ada beberapa hewan yang tidak jauh darinya sedang mengambil ancang ancang untuk menjadikannya sebagai makan malam. Hanya dengan beberapa gerakan, gadis itu sudah berhasil membunuh beberapa hewan- hanya sebagai penanda bahwa jika para buas itu berani berpikir untuk menyakitinya, maka mereka akan menjadi tak lebih dari bangkai hasil bunuhan. Tapi Semi lupa, bahwa bukan hewan buas saja yang menginginkannya untuk mati, melainkan manusia juga. Jadi, ketika gadis itu tengah turun dari kudanya ketika ia melihat sebuah sungai besar, dimana terdapat perahu sampan yang sudah dapat dipastikan sering digunakan orang karena masih bersih, terawat juga dalam keadaan baik, gadis itu meyakini bahwa desa yang ia cari ia bisa lewati menggunakan sampan ini. Terdengar gila, tapi bagaimana pun caranya ia harus membawa kudanya ini untuk terus bersamanya, karena tak mungkin juga jika nanti ia sudah disebrang, tahunya jarak masih lumayan jauh. Semi tak ingin dirinya mati kedinginan dan kelelahan karena berjalan. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk bersempit sempitan agar kudanya bisa naik pula keatas sampan. Untungnya, perahu kayu itu dibuat dengan sangat kokoh juga berukuran cukup lebar, jadi kemungkinan untuk dirinya tenggelam amatlah kecil. Riak air untungnya cukup tenang, membuat si gadis berusia dua puluh tujuh tahun itu dapat menggerakkan sampannya dengan mudah. Matahari sudah berada di bawah ketika ia berusaha melewati sungai ini, cahaya yang turun nampak terefleksikan oleh air sungai yang jernih dan berakhir membentuk bayangan dari cahaya yang amat sangat cantik. Ah.. jika Semi disini dengan tujuan bersantai, pun dengan kanvas juga alat lukis yang ia bawa, rasanya gadis itu pasti sudah akan melukis pemandangan indah yang tertangkap oleh matanya kini. Sampai ke sebrang dengan selamat, harusnya hal yang ia lakukan lebih dahulu setelah menurunkan kudanya adalah kembali menaiki hewan bersurai putih itu untuk kembali melanjutkan perjalanan. Tapi nyatanya, ia harus berguling beberapa kali di tanah ketika sebuah pedang melayang kearahnya dengan kecepatan menakjubkan dan hampir saja membunuh gadis tersebut lengkap dengan kudanya. Tahu bahwa ia tak akan selamat dengan mudah jika kudanya ikut tewas, Semi memutuskan untuk membawa kuda tersebut menjauh lebih dahulu sebelum matanya dengan awas mencari siapa sosok yang tiba tiba menyerangkan ini. Sedikit lucu, jika dipikir pikir. Jika memang seniat itu membuatnya tewas, mengapa tidak menyerangnya ketika diatas sampan saja agar dirinya terluka dan mati tenggelam. Sepertinya akan lebih mudah begitu. Dibandingkan sekarang, yang Semi tengah mengeluarkan sisi pendekarnya untuk melindungi nyawanya sendiri. Ah.. ternyata dalangnya adalah si pria tua sialan itu, rupanya. Pria yang ia temui ketika ia menghampiri seorang doktor. Pria paruh baya yang merupakan penasihat kerajaan. “Jauh sekali mainmu jika hanya ingin menyakitiku, tuan??” ujar Semi dengan nada suara yang rendah. Senyum remeh terpatri di bibirnya, yang malah semakin membuat pria itu naik pitam. “pun, berani sekali kau seorang diri menyerang kepala royal knight, yang bisa membunuh puluhan orang di medan perang dengan mudah” kikikannya semakin keras, yang entah kenapa intensi tegang atmosfer disana membuat burung burung yang tadinya bertengger di pohon menjadi terbang secara serentak. “Memangnya siapa yang bilang bahwa aku sendirian, jalang??” satu persatu orang lain mulai muncul di hadapannya. Menatapnya dengan datar lengkap dengan pendang mereka yang sudah bertengger di tangan. Tanpa banyak basa basi lagi, belasan orang itu menyerang Semi secara sekaligus, membuat si gadis harus memutar otaknya agar dia tidak terluka terlalu parah. Mengeluarkan kedua pedangnya dari sarung untuk di genggam di masing masing tangan, pertarungan satu gadis dengan belasan pria itu dimulai. Semi dengan sedikit berlari setelah mengambil ancang ancang langsung menebas tubuh lawannya dengan mudah. Tak perlu di titik vital, namun cukup sampai membuat mereka memuncratkan darah berliter liter saja. Membuat mereka mati dengan proses yang tidak langsung dan menyakitkan, juga tanpa mengeluarkan effort lebih akan menjadi tindakan yang efektif dan efisien menurutnya. Menangkis beberapa kali, beberapa buah luka nampak mulai terlihat di tubuh gadis yang satu itu. Di lengan- nampak lengan mantel panjangnya sudah terkoyak dan sedikit terlihat rembesan darah, pun di leher, di wajah di bahu dan lain lainnya. Ada, tapi hanya sekedar luka gores karena kemampuan menghindar dan refleksnya sangat luar biasa. Lawannya, hampir sebagiannya sudah bertebaran di tanah, dengan darah yang mulai menyatu dengan tanah yang menyerapnya. Sesekali, pedang miliknya itu nampak menahan beberapa pedang yang berusaha menyerangnya secara bersamaan. Beruntung gadis itu membawa kedua pedangnya. Jadi, sebelah ia gunakan untuk menahan, sedangkan sebelah lagi ia gunakan untuk menyabet secara horizontal perut lawan lawannya itu. Hingga kini, hanya tersisa satu orang. Satu orang yang sengaja ia tinggalkan untuk bermain main di akhir pertandingan kala ini. “Menurutku, kau membawa orang yang salah” ujar Semi yang kini sekujur tubuhnya –pakaiannya- sudah penuh bersimbahan dengan darah. “jika kau ingin membunuhku, seharusnya kau membawa anak buahku, atau wakilku saja. Kemampuan mereka tidak jauh denganku, karena aku sendiri yang melatih mereka” ujar Semi datar sembari mengambil langkah maju semakin mendekati pria yang kini panik ketakutan itu. Hujan tiba tiba mulai turun setelah tadi selama sesi baku hantam, hanya gerimis malu malu saja yang menemaninya. Kini, rombongan tetesan air menyapa keduanya, membantu Semi menghapuskan darah di seluruh wajahnya. “sepertinya kau memilih waktu yang tepat untuk mati, tuan” seringai gadis itu muncul semakin lebar. “jika kau bertemu Tuhan nanti, sampaikan ucapan terima kasihku kepada beliau, yang sudah membantuku untuk membersihkan darah bau ini dengan mudah” Itu ucapan terakhir yang didengar pria tua tadi, sebelum akhirnya kepala miliknya menggelinding menjauh, terpisah dari tubuhnya yang tergeletak langsung di tempatnya berdiri tadi. Dan kebetulan, sepasang mata tengah menatap adegan tersebut dalam diam. Jika kalian berpikir bahwa itu Aaron, maka jawabannya adalah ya. Itu memang benar Aaron. Tugas tambahan yang diberikan oleh sang raja kala itu adalah pergi kembali menuju Velvetenus untuk mencari nenek yang sempat dibicarakan. Namun, bukannya menemukan nenek tersebut, ia malah melihat Semi keluar dari kawasan Velvetenus dimana Aaron yakin dengan jelas bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk seorang pendekar seperti mereka keluar dari negeri mereka sendiri. Berbekal rasa ingin tahu yang tinggi dan kecurigaan yang kuat, akhirnya Aaron memutuskan untuk mengikuti setiap pergerakan dan arah dari si pemilik nama belakang Maximillan itu. Dan.. sampailah ia pada adegan dimana ia melihat dengan jelas bahwa Semi tengah mengalami percobaan pembunuhan. Semi yang tentu saja memiliki keahlian yang baik dalam bela diri lolos dari maut dengan mudah. Namun, jika melihat arah, sepertinya gadis itu akan kembali ke Velvetenus tanpa meneruskan perjalanannya. Maka dari itu, Aaron pun bergegas pergi lebih dahulu dan mengorek informasi lebih dalam mengenai nenek misterius yang tidak ditemukan keberadaannya itu dari orang orang sekitar. Penyihir, katanya. Itu yang disebut orang orang disekitar sana mengenai sosok tua yang tengah Aaron cari. Sosok manusia yang dikutuk karena memiliki ilmu hitam. Karena itu pula ia dikucilkan. Tapi, sejauh ini, Aaron tidak menemukan orang yang tahu keberadaan beliau. Jadi, ia memilih untuk kembali pulang ke Addervateh, dan melaporkan dua hal penting tadi. Hingga sampailah semua ini pada Aaron yang sampai saat ini tak dapat memejamkan matanya untuk tidur siang. Kepalanya yang sudah penuh seakan semakin penuh dengan ingatan super panjang yang terbesit sangat cepat barusan. Jika diingat ingat, obrolannya tadi dengan yang mulia raja amatlah panjang. Namun inti dari diskusi mereka berujung pada satu hal- “Bunuh Semi Maximillan”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD