Bab 4. Terpaksa Berkompromi

1798 Words
Sebelumnya ... Jasmine merasa kacau saat sadar. Tubuh lemasnya tak mampu meredam keinginan untuk bangkit, dia mengangkat diri perlahan, dan dengan langkah berat keluar kamar. Jasmine memelankan langkah saat mendengar suara dari lantai bawah. Masih di antara realitas dan mimpi, dia mencoba meyakinkan diri bahwa apa yang didengarnya saat ini merupakan dialog dua orang pria. “Dia tak akan berani melakukannya.” Pergelangan tangan Jasmine menopang pada pagar kaca, memungkinkannya mengintip perbincangan di lantai bawah antara Tuan Hawthorne dan seorang pria yang tak dikenalnya. Jasmine merenung sejenak, bukankah ini kesempatan bagiku untuk lepas dari genggaman Tuan Hawthorne? Jasmine berusaha meraih keberanian untuk turun ke lantai bawah. Dia menapaki sentuhan dingin marmer dengan gemetar, meraba-raba setiap pijakan tangga, hingga berhasil mencapai bagian akhir. “Seperti kataku tadi, seseorang yang berada dalam posisi tanpa harapan bisa melakukan apa saja untuk keluar dari masalahnya. Kau harus memperhatikan hal itu, Kins.” Ucapan itu membuat Jasmine berpikir, apakah orang tanpa harapan yang sedang mereka bicarakan adalah aku? Jasmine tak menyadari bahwa tatapan Tuan Hawthorne sudah menangkap keberadaannya. Pergerakan pria itulah yang mematahkan lamunan, membuatnya refleks mengeratkan pegangan pada pagar kaca. Tatapan mereka bertemu. Kilatan mata Tuan Hawthorne mencoba mendominasinya lagi, seolah-olah dia adalah makhluk kecil yang tak berdaya. Pada saat itulah, pria yang menyertai Tuan Hawthorne menyerobot. “Hello, Nona Everhart. Seharusnya kau beristirahat saat kesehatanmu belum pulih sepenuhnya.” “Ah, maaf, aku lupa memperkenalkan diri. Calum Lawson, aku adalah dokter yang memeriksamu. Kau terkena demam, dan aku dengar ada cerita di balik itu. Aku mengetahuinya dari Kins.” “Lalu, kau akan membantuku?” Ada makna lain di balik ucapan Jasmine dan Tuan Hawthorne dengan mudah membacanya. Meski begitu, pria itu bijak tak menginterupsi, membiarkan percakapan mengalir. “Membantumu? Tentu, aku memang datang kemari untuk membantumu,” kata Dr. Lawson dengan ramah. Senyuman merekah di wajah Jasmine, lalu tangannya meraih tangan Dr. Lawson penuh harap. “Terima kasih, Dr. Lawson! Kau adalah penyelamatku, aku berutang budi padamu.” Dr. Lawson merasa kikuk. Dia hanya membantu pasien yang terkena demam, tapi Jasmine membuatnya seolah-olah sudah menyelamatkannya dari kematian. Melihat kebingungan di wajah Dr. Lawson, Tuan Hawthorne berkata dengan nada yang tenang, “Dia meminta bantuanmu untuk keluar dari penthouse ini.” Dr. Lawson dengan cepat menarik tangannya dari genggaman Jasmine. “Maaf, Nona Everhart. Untuk itu ... aku tak bisa melakukannya, karena hidupku juga bergantung pada Tuan Hawthorne.” Raut putus asa di wajah Jasmine membuat Dr. Lawson merasa tak tega. Lalu, dengan penuh kehati-hatian, dia berkata, “Tapi aku bisa memberikan tips agar kondisimu menjadi lebih baik.” Dr. Lawson menoleh pada Tuan Hawthorne yang bersedekap di sampingnya, memberikan isyarat tak langsung bahwa berbagi tips seharusnya tak dilakukan di depan orangnya secara langsung. Tuan Hawthorne mengangkat alis dengan kebingungan. “Apa?” tanyanya, seolah-olah kurang peka terhadap keadaan. Dr. Lawson menatap tajam. “Kau tak memiliki sopan santun.” Dahi Tuan Hawthorne berkerut. “Hah?” Ekspresinya berubah menjadi jengkel. “Ini penghinaan bagiku,” lanjut Dr. Lawson dengan suara tegas. “Aku bergegas datang kemari untuk memeriksa kondisi Nona Everhart di jam padatku, tapi aku tak disuguhkan minuman sejak tadi. Kau keterlaluan, Kins.” “Kau pikir aku siapa, Dr. Lawson?” tanya Tuan Hawthorne dengan nada merendahkan. “T—tentu saja, orang yang harus diwaspadai.” Nyali Dr. Lawson ciut. Dr. Lawson memutar otak, merencanakan cara agar Tuan Hawthorne bisa pergi dari hadapan mereka. Setelah menemukan strategi yang tepat, dokter itu berdeham. “Baiklah, aku akan mengambilnya bersama Nona Everhart.” Dr. Lawson bersiap untuk menuntun Jasmine pergi, tapi tangan Tuan Hawthorne menghalangi jalan mereka. “Aku akan mengambilnya. Kalian tunggu di sini,” putus Tuan Hawthorne. Dr. Lawson berhasil membujuk Tuan Hawthorne pergi, lalu dengan cepat dia menarik Jasmine mendekati pintu keluar. “K—kau benar-benar akan membantuku?” tanya Jasmine dengan nada tak sabar, keraguan dan harapan bercampur menjadi satu. “Ssttt!” Dr. Lawson meletakkan telunjuk di bibirnya sendiri. “Aku akan memberitahumu sebuah rahasia.” Dengan gerakan gesit, Dr. Lawson mengeluarkan sebuah kartu dari saku dan memberikannya kepada Jasmine. “Ini nomor teleponku, kau bisa menghubungiku.” Jasmine melihat kartu nama tersebut dengan pupus harapan. “I—ini bukanlah apa yang kumaksud ....” Dr. Lawson mengangguk. “Aku tahu kalau kau sangat ingin pergi dari sini, tapi Tuan Hawthorne bukan pria yang mudah untuk dikalahkan. Jika berhasil keluar dari sini pun, bukan berarti kau benar-benar bebas. Tuan Hawthorne memiliki banyak pengikut, mereka bisa melakukan hal lebih buruk padamu jika kau terus melawan.” “Jadi, apa yang harus kulakukan?” Suara Jasmine bergetar, menahan tangis. Dr. Lawson semakin iba. “Untuk saat ini, ikutilah keinginannya.” Jasmine menggeleng cepat. “Aku tak bisa mengikuti keinginannya. D—dia ...!” Ucapan Jasmine terhenti, memikirkan reaksi Dr. Lawson nanti jika dia membahas tentang dirinya yang diminta menjadi gundik bagi Tuan Hawthorne, yang artinya mereka harus melakukan sesuatu seperti percintaan. “Kenapa?” tanya Dr. Lawson dengan raut wajah penasaran. Jasmine menunduk sedih. “Aku ... tak bisa melakukannya ....” Di tengah-tengah perbincangan mengambang itu, sosok Tuan Hawthorne muncul. Kehadirannya sudah menjadi pusat bagi dua orang yang saling berbicara dengan penuh rahasia tadi. “Kembalilah, Dr. Lawson,” ucap Tuan Hawthorne dengan ekspresi tak senang. Dr. Lawson berjalan ke dalam untuk mengambil tasnya, sambil mencuri kesempatan meminum air yang ada di meja kopi. Sementara itu, Jasmine baru sadar bahwa dirinya masih memegang kartu nama sang dokter, dengan cepat dia menyembunyikannya ke belakang. Sayangnya, sebelum kartu nama disembunyikan, Tuan Hawthorne sudah memperhatikan setiap gerakan itu. “Jangan lupa tentang apa yang aku katakan, Kins. Hubungi aku jika terjadi apa-apa. Aku pergi sekarang.” Sebelum Dr. Lawson meninggalkan penthouse, dia bertukar tatap dengan Jasmine. Pria itu hanya tersenyum pada wanita yang tampak begitu sedih, memunculkan simpati baginya yang tak bisa melakukan banyak hal untuk membantu Jasmine. “Sampai bertemu lagi, Nona Everhart.” Tuan Hawthorne mengantarkan kepergian Dr. Lawson, meninggalkan Jasmine seorang diri di penthouse. Saat semua orang pergi, Jasmine langsung ambruk duduk di lantai. Dia kehilangan banyak tenaga untuk menghadapi kekuasaan pria itu. *** Tuan Hawthorne kembali tanpa bertanya banyak setelah mengantarkan Dr. Lawson. Kartu nama sang dokter sudah memberikan jawaban, tanpa perlu lagi menggali perbincangan rahasia sang dokter dengan Jasmine. Meskipun dekat secara pertemanan, Tuan Hawthorne tetap harus waspada. Dr. Lawson, sebagai dokter yang memprioritaskan pasiennya, mungkin akan mencari solusi untuk membantu Jasmine dalam keadaannya kini. Dahi Tuan Hawthorne berkerut saat menyadari pintu menuju halaman terbuka. Kekhawatiran mendorongnya keluar dengan cepat, mencari Jasmine, takut bahwa wanita itu mungkin berpikir untuk melompat dari penthouse-nya lagi. “Nona Everhart!” panggilnya dengan suara keras sambil menatap ke bawah gedung. Tak ada tanda-tanda seseorang melompat dari gedung, Tuan Hawthorne lega akan hal itu. Namun, ketidakpuasan masih membayangi pikirannya karena keberadaan Jasmine tetap belum ditemukan. Dengan langkah tergesa-gesa, Tuan Hawthorne kembali ke dalam ruangan. Matanya terpaku pada sosok Jasmine yang berdiri di dekat kitchen island, memegang sendok. Ekspresi keduanya mencerminkan kebingungan dan keterkejutan yang sama. “K—kau ...!” Tuan Hawthorne menahan kata-katanya, merasakan kegelisahan yang menguasai sebelumnya. Tuan Hawthorne enggan membahas sikap anehnya tadi, lalu dia memutuskan untuk mendekati Jasmine. Alis yang tadinya tegang mulai mengendur, tapi melihat Jasmine menyembunyikan sesuatu di belakang tubuhnya saat dia mendekat, membuat ekspresinya kembali dipenuhi kemarahan. “Apa yang kau sembunyikan?” sergah Tuan Hawthorne. Jasmine menggeleng. “Biarkan aku sendirian!” Tuan Hawthorne berusaha menjangkau tangan Jasmine di belakang, tiba-tiba merasakan sesuatu yang dingin di sana. Dia semakin mengerutkan dahi, kemudian menatap Jasmine yang tertutupi oleh dadanya. Tuan Hawthorne mengambilnya, dengan jelas melihat sekotak es krim. Kemarahannya sirna sekejap mata, berubah menjadi kebingungan. “Kau ... makan es krim?” Di saat aku khawatir bahwa dia akan meloncat dari gedung, ucap Tuan Hawthorne dalam hati. Jasmine tak menjawab, hanya memalingkan wajah karena merasa malu. Rasa lapar yang begitu besar membuat dia menghilangkan harga diri untuk mengintip dapur musuhnya. Jasmine tak menyadari bahwa Tuan Hawthorne sudah kembali, sampai suara yang memanggil namanya membuat dia yang berjongkok di samping kitchen island perlahan bangkit. Tuan Hawthorne mengangguk paham setelah menganalisis keadaan. “Begitu rupanya, kau merasa lapar dan ingin mengenyangkan dirimu. Tapi,“—matanya menatap kotak es krim—“mengapa lebih memilih es krim saat sedang sakit? Tidakkah ada opsi lain yang lebih baik?” Suaranya meningkat. “Hanya itu satu-satunya yang ada,” jawab Jasmine perlahan. Tuan Hawthorne beralih ke kulkas, yakin bahwa Jasmine berbohong dan perlu membuktikannya. Namun, sesuai ucapan Jasmine, dapurnya hanya berisi sekotak es krim. Dengan napas kesal, Tuan Hawthorne menatap Jasmine. “Aku melakukan perjalanan ke luar kota sebelum bertemu denganmu, jadi dapurku sengaja dikosongkan.” Tuan Hawthorne menghampiri Jasmine, menutup kotak es krim tersebut, lalu mengambil sendok dari tangan Jasmine. “Aku memang bukan pria baik, tapi tak seburuk itu sampai membiarkan orang yang tengah sakit mengenyangkan perut dengan es krim. Kembalilah ke kamar dan istirahat, aku akan pesan makanan untukmu.” Jasmine tetap diam, merasa ada sesuatu yang salah akan keadaannya. Meminta makanan dari musuh terasa seperti merendahkan dirinya. Tiba-tiba, Tuan Hawthorne memegang leher Jasmine, membuat wanita itu tersentak. Awalnya ingin marah, tapi sentuhan lembut di dahi membuatnya menahan diri. “Suhu tubuhmu masih tinggi. Aku tak tahu bagaimana kau bertahan, tapi kau jelas memaksakan dirimu,” ucap Tuan Hawthorne sambil mengangkat tubuh Jasmine, membuat wanita itu terpekik. “Turunkan aku!” Tuan Hawthorne menyeringai, tak memedulikan protes Jasmine. Dia terus melangkah dan menaiki tangga, sementara Jasmine terus meronta-ronta. “Kau bisa membuat kita jatuh kalau terus bergerak,” kata Tuan Hawthorne dengan santai. Rontaan keras dari Jasmine perlahan melambat, sadar bahwa dia tak bisa membiarkan mereka jatuh dari tangga. Tuan Hawthorne membaringkan Jasmine, duduk di tepi ranjang, dan meraih ponselnya dari nakas. Dengan cermat, dia mencari nomor kontak seseorang dan menelepon. “Ted, bisakah kau mengirimkan dua paket makan siang untukku? Aku ingin makanan yang mudah dikunyah.” “Tentu, Tuan Hawthorne. Ke mana saya harus mengirimkannya?” “Kirim saja ke penthouse. Ah, sebentar—“ Tuan Hawthorne menjauhkan ponselnya, menatap Jasmine yang memalingkan wajah. “Apa kau memiliki alergi?” Jasmine sebenarnya enggan memberikan jawaban, tapi sekali lagi, dia harus berkompromi dengan keadaan. Dia pun mengangguk dan berkata, “Seafood.” Tuan Hawthorne kembali fokus pada ponselnya. “Aku dan Nona Everhart alergi seafood.” Jasmine merasa jengkel dengan persamaan yang kebetulan itu. “Aku juga membutuhkan beberapa helai pakaian wanita untuk Nona Everhart,” tambah Tuan Hawthorne. Tuan Hawthorne menatap Jasmine, mengamati tubuh wanita yang terselimuti. Tatapan mereka bertemu dalam momen itu, ekspresi wajah Jasmine tampak marah. “Karena kita belum bercinta, jadi aku tak tahu ukuran pakaian dalammu. Bisa kau beri tahu agar Ted bisa membelinya? Tapi jika kau keberatan, aku tak masalah melihatmu berkeliaran dengan kemejaku.” Tuan Hawthorne tersenyum penuh arti. “Bagaimana?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD