Tuan Hawthorne membuka pintu dengan cekatan sesaat mendengar bel berbunyi. Seorang kurir makanan datang dengan membawa pesanan yang sudah diinstruksikan oleh sekretarisnya, kemudian dengan sopan mengundurkan diri. Dia pun merapikan hidangan itu di atas piring, lalu mengantarkannya ke kamar.
Dia sengaja membiarkan Jasmine sendirian agar bisa beristirahat dengan tenang, sementara dirinya berkegiatan di lantai bawah. Saat kembali ke kamar, tak diduga Jasmine tidur dalam keadaan gelisah dan wajahnya berkeringat dengan intensitas yang mengkhawatirkan.
Tuan Hawthorne segera meletakkan makanan di atas meja. Dia duduk di tepi ranjang seraya memeriksa keadaan Jasmine. Saat meraba suhu tubuh yang panas, wajahnya tampak terkejut.
“Nona Everhart, kau bisa mendengarku?”
Jasmine tak memberi tanggapan.
“Nona Everhart,” panggilnya lagi dengan khawatir. “Kau harus bangun dan minum obatmu.”
Tuan Hawthorne menyandarkan Jasmine ke kepala ranjang, menggunakan guling sebagai penopang. Meski tersadar sejenak, Jasmine kembali menutup mata.
“Kau hanya perlu membuka mulut dan mengunyah makanan yang akan aku suapi padamu. Ok?”
Tuan Hawthorne menyendok kuah sup ayam, mendekatkannya pada bibir Jasmine yang perlahan membuka. Dalam beberapa suapan, Jasmine yang tak mampu duduk berlama-lama pun diberikan obat dan dibiarkan beristirahat.
Segera bergegas ke lantai bawah, Tuan Hawthorne mengambil air untuk mengompres Jasmine. Namun, di tengah itu semua dia mendadak menyadari sesuatu yang mengusik pikirannya.
“Kenapa aku harus melakukan ini!”
Merasa sudah melanggar karakternya, Tuan Hawthorne meninggalkan air yang diambilnya dan meninggalkan area dapur dengan langkah berat.
***
Jasmine membuka mata dalam suasana yang berbeda. Sinar matahari perlahan menyusup ke dalam kamar, menerangi ruangan dengan kehangatan. Terlihat dari wajahnya yang tenang, keadaannya sudah membaik dari malam sebelumnya.
Satu hal yang meredupkan harapannya pagi itu, dia masih berada di tempat yang sama. Berulang kali matanya mengerjap untuk sekadar meyakinkan diri bahwa semua yang terjadi padanya beberapa waktu belakangan ini hanyalah mimpi, tapi kenyataannya semua benar adanya.
Di tengah lamunannya, seorang wanita paruh baya asing tiba-tiba muncul. Mereka saling menatap penuh keterkejutan, tanpa saling mengenal. Jasmine bertanya-tanya, apakah Tuan Hawthorne memiliki anggota keluarga yang tinggal bersamanya?
“Oh-ah, Anda sudah bangun? Bagaimana keadaan Anda?” ucap wanita paruh baya itu seraya menghampiri Jasmine.
“Keadaan saya ... sudah membaik,” ucap Jasmine dengan suara hampir menghilang.
“Syukurlah. Tak sia-sia Tuan Hawthorne terjaga semalaman untuk mengompres Anda.”
“T—tuan Hawthorne ...”
... melakukannya? ucap Jasmine, yang hanya melanjutkan pemikirannya dalam hati.
“Saya Beatrice Ramsey, pekerja mingguan yang Tuan Hawthorne sewa untuk mengurus segala kebutuhannya di penthouse.”
“S—saya ... Jasmine Everhart,” ucap Jasmine dengan suara pelan dan ragu.
Mrs. Ramsey tersenyum ramah. “Tuan Hawthorne pergi bekerja, beliau meminta saya tinggal lebih lama untuk menunggui Anda. Kemungkinan besar, siang nanti beliau akan kembali untuk melihat keadaan Anda.”
Mrs. Ramsey mengambil wadah air di atas nakas, lalu melanjutkan, “Saya akan membawakan sarapan ke kamar. Obat Anda masih harus dihabiskan.”
Jasmine hanya memperhatikan tanpa berkata-kata, mengingat kembali ucapan Mrs. Ramsey yang menyebut bahwa Tuan Hawthorne sudah berjaga semalaman untuk mengompresnya.
Bagaimana bisa keadaannya jadi begini? Aku merasa seolah-olah berutang budi pada seseorang yang seharusnya kucap sebagai musuh, ucap Jasmine di dalam hati.
***
Jasmine menyantap sarapan hingga tandas, tampaknya benar-benar kehabisan energi. Satu mangkuk bubur tak cukup baginya. Mrs. Ramsey pun dengan senang hati menawarkan tambahan porsi.
“Saya memasak bubur satu panci penuh, masih tersedia jika Anda ingin menambah porsi lagi,” ucap Mrs. Ramsey ramah.
“Tidak, Mrs. Ramsey. Terima kasih atas tawarannya, tapi tiga porsi besar sudah cukup membuat saya kenyang. Bubur buatan Anda benar-benar enak!”
Mrs. Ramsey tersenyum. “Sangat menggembirakan mendengar pujian Anda. Segera saya bersihkan mangkuk ini,” ucapnya sambil meletakkan mangkuk di atas nampan.
“Mrs. Ramsey,” panggil Jasmine, membuat gerakan wanita paruh baya itu terhenti.
“Ya? Ada yang ingin Anda sampaikan pada saya?”
Jasmine ragu-ragu berkata, “A—apa saya boleh mandi?”
“Oh, tentu saja, Nona Everhart. Anda bisa menggunakan kamar mandi di dalam kamar ini. Tuan Hawthorne juga sudah menyiapkan pakaian ganti Anda di dalam lemari yang ada di walk-in closet. Anda hanya perlu melewati kusen pembatas ukir untuk menemukan sebuah pintu, itu adalah pintu kamar mandi. Di samping kiri, akan ada kusen pembatas lain yang lebih kecil ukurannya, di sana walk-in closet berada.” Setelah berkata demikian, Mrs. Ramsey keluar dari kamar.
Jasmine memperhatikan arah yang dikatakan, tempat di mana dia pernah menjejak dengan kesal saat mencari pakaian kering untuk menutupi tubuhnya. Beberapa hari belakangan ini dia tak bisa berpikir jernih, barulah sekarang dia menyadari kalau dirinya masih mengenakan kemeja hitam Tuan Hawthorne.
Jasmine menyentuh dadanya yang berdegup kencang, memikirkan pengalaman baru mengenakan pakaian seorang pria. Dia pernah mengharapkan hal ini dari Mr. Harper, pria yang takkan pernah bisa dicapainya.
Jasmine menggeleng cepat, berusaha mengusir kesedihan. Dia bangkit, lalu menuju ruang ganti untuk melihat pakaian yang dimaksud oleh Mrs. Ramsey.
Di walk-in closet, Jasmine membuka lemari satu per satu, mencari pakaian wanita di antara barisan pakaian pria. Hingga akhirnya, dia menemukan mereka terselip di suatu sudut, menggantung bersama pakaian Tuan Hawthorne. Ada lima helai pakaian wanita terpajang, semuanya berupa dress selutut dengan model yang cukup sopan.
Dress itu begitu anggun dan terlihat mahal. Sekali lagi, Jasmine merasa keadaan ini tak semestinya. Tuan Hawthorne adalah musuh, dan seharusnya dia tak sudi menerima bantuan apa pun dari pria itu.
Jasmine beranjak dari ruang penyimpanan khusus tersebut. Dia berencana mengenakan pakaiannya yang digantung di kamar mandi.
Dengan tubuh yang dipenuhi peluh karena sakit, Jasmine menyalakan shower sambil mengotak-atik suhu yang pas. Air hangat mengalir, menyapu semua lelah dan ketidaknyamanan yang melekat padanya.
“Verve Elite Cleanse,” bisik Jasmine sambil meraih botol kaca eksklusif hitam dengan sentuhan abu-abu yang mewah.
“Apa ini sabun?” gumamnya, mencoba mencari tahu melalui penciuman dan mata yang membaca setiap tulisan di botol itu. “Aromanya begitu maskulin, membuatku mabuk,” ringisnya dengan ekspresi wajah yang jelas menyatakan ketidaksetujuan.
Sabun cair itu diposisikan kembali di tempatnya semula. Jasmine kemudian meraih botol lain yang sudah diketahui apa isinya. Sampo dengan merek Glacial Precision, aromanya lebih lembut.
Setelah beberapa saat, Jasmine memutuskan aliran air. Dengan masih dibalut oleh uap yang mengambang, dia menggapai handuk dari lemari sudut.
Pandangannya beralih ke sisi lain ruangan, tempat di mana seharusnya pakaiannya menggantung. Matanya menyipit dalam kebingungan, dan detik berikutnya, dia terkejut. Tak ada jejak pakaian yang seharusnya menjadi akhir dari acara ritual mandinya.
Dipenuhi kebimbangan, Jasmine segera meninggalkan kamar mandi. Pikirannya berputar cepat, mencoba mencari jejak pakaiannya atau berdamai dengan pemikiran untuk memakai dress yang disediakan oleh Tuan Hawthorne.
Namun, hal tak terduga terjadi, di mana Jasmine merasakan aura d******i mengintainya dan memunculkan sosok Tuan Hawthorne berjalan melewati kusen pembatas. Jasmine terkejut, membuat dia meluncurkan sebuah teriakan yang langsung membelah keheningan.
“Keluar, b******n!”