Bab 3. Tanpa Harapan

1178 Words
Jasmine memperhatikan sekeliling dan terkejut melihat Tuan Hawthorne berbaring di sampingnya. Keinginannya untuk tak membiarkan rasa kantuk menguasai kini berubah menjadi penyesalan. Rasa kesal menyelinap, kelengahannya sudah membawa mereka berdua ke ranjang yang sama. Saat Jasmine hendak turun dari ranjang, tiba-tiba tangannya dicekal oleh Tuan Hawthorne yang terbangun oleh gerakannya. Meskipun Jasmine berusaha melepaskan diri, pemberontakannya tak berarti apa-apa bagi Tuan Hawthorne yang memegang erat tangannya. Tuan Hawthorne melempar pandangan singkat pada jam digital di nakas sampingnya, lalu berkata, “Jam tujuh pagi, dan masih terlalu dini untukmu melanjutkan permainan kekuasaan.” “Apa yang kau bicarakan? Lepaskan tanganku!” geram Jasmine. Tuan Hawthorne menyeringai, mengejek, “Kau kira bisa lari ke mana? Apa ingin melompat dari gedung ini lagi? Kematianmu tak akan berpengaruh pada hidupku.” Dengan mata berapi-api, Jasmine menantang, “Aku tahu bahwa kau memiliki kekuasaan dan bisa melakukan apa saja, tapi ada satu hal yang tak akan pernah kau kuasai, yaitu diriku. Lebih baik mati ketimbang berurusan dengan orang licik sepertimu!” Melalui kata-kata tajam itu, Jasmine sudah membawa suasana ketegangan yang mendalam di antara mereka. Tuan Hawthorne tak pernah menikmati waktu bangun di pagi hari dengan cara menjengkelkan begini. “Air kolam tak mampu menjernihkan pikiranmu rupanya,” sergah Tuan Hawthorne dengan dingin. Suasana ketegangan semakin kental, sorot mata yang saling bertentangan itu kembali menyapa. Tuan Hawthorne bangkit, lalu menarik Jasmine hingga tubuh mereka saling bertubrukan. Cengkeraman kekuasaan semakin dirasakan oleh Jasmine saat Tuan Hawthorne tak membiarkannya lepas dari kedekatan yang memaksa itu. Tuan Hawthorne membawa jemarinya menyentuh kancing kemeja Jasmine, mencoba melepaskannya. Sebelum peristiwa tersebut berlangsung, Jasmine lebih dulu melayangkan tangannya, hendak menampar pria kurang ajar yang berniat menyentuh tubuhnya. Namun, tamparan itu tak berhasil karena Tuan Hawthorne dengan sigap menahan tangan Jasmine. Matanya melirik sejenak ke tangan yang berada dekat di pipinya, lalu dia mengulas senyuman jail. Tuan Hawthorne mengendus telapak tangan itu dan menciumnya dengan tiba-tiba, aksi yang memicu rasa jijik dalam diri Jasmine. Sentuhan Tuan Hawthorne melebihi batasan fisik, psikologinya seperti dipermainkan. Jasmine bisa merasakan ikatan yang mengancam jika dia tak segera melarikan diri dari impitan keintiman. “Hmm, kau terpancing hanya dengan ciuman kecil di tanganmu, tubuhmu terasa hangat.” Tuan Hawthorne tersenyum dengan pandangan merayu, kemudian membawa ciumannya dengan lembut meluncur ke lengan dalam Jasmine. Tuan Hawthorne menikmati perannya sebagai seorang predator, merasakan kepuasan saat memperkuat dominasinya. Di sisi lain, Jasmine tak memunculkan reaksi karena pandangannya perlahan meredup. Tuan Hawthorne merasakan tubuh Jasmine memberat, seketika menghentikan langkah merayunya. Dahi Tuan Hawthorne mengerut saat pandangannya mengamati Jasmine yang terkulai di pelukannya. “Nona Everhart,” panggil Tuan Hawthorne, tapi Jasmine tak memberi respons, cukup untuk membuat keraguan merayap di pikirannya. “Kau tak pura-pura pingsan untuk menghindari takdirmu, bukan?” Tuan Hawthorne menghela napas panjang dan berkata kembali, “Thomas, putrimu selain keras kepala, ternyata juga sangat merepotkan.” Tuan Hawthorne membaringkan Jasmine, lalu langkah yang menyiratkan kekhawatiran serta suara berbincang di telepon memenuhi kamar tersebut. Dr. Calum Lawson akan segera datang ke penthouse dan memeriksa kondisi Jasmine. *** Dengan helaan napas terakhir yang masih bergema di ruangan, Dr. Lawson mengakhiri pemeriksaannya. Dia menyimpan stetoskop, lalu berjalan keluar ruangan tanpa mengucapkan sepatah kata. Tuan Hawthorne yang mengawasi jalannya pemeriksaan pun menyusul kepergian sang dokter. Dr. Lawson tak ingin mengganggu pasiennya, memilih untuk bicara di luar. Dia menunggu Tuan Hawthorne dengan penuh kesabaran, saat teman baiknya itu sudah berdiri di depannya baru dia mau buka suara. “Kau membuatku bergegas kemari hanya untuk kondisi pasien yang terkena demam. Aku akan meresepkan obat untuknya agar suhu tubuhnya turun. Pastikan wanitamu tak dehidrasi dan biarkan dia istirahat yang cukup,” ucap Dr. Lawson dengan penuh dedikasi. Tuan Hawthorne mengangguk. “Aku memahaminya,” jawabnya, suaranya masih terdengar tak tenang. Di tengah keheningan yang mengisi ruangan, Dr. Lawson memilih untuk membuka percakapan lain, “Apa Nona Everhart pingsan di tengah-tengah percintaan sampai kau merasa gelisah begitu?” “Tak sepenuhnya benar dan juga tak sepenuhnya salah. Aku memang berniat bercinta dengannya, sebelum dia akhirnya pingsan,” ungkap Tuan Hawthorne, campuran antara pengakuan dan ironi. Dr. Lawson berusaha menahan tawa, tapi dia kesulitan sehingga akhirnya meledak. “Apanya yang lucu?” Tuan Hawthorne tampak tak setuju dengan reaksi itu. Dr. Lawson masih mencoba menahan tawa, mengusap ekor mata yang basah. Dengan senyum kocak, dia berkomentar ringan, “Tak kusangka ada wanita yang terserang demam saat berhadapan denganmu.” Tuan Hawthorne berdecak, kedua tangannya berpegang pada pinggang dengan ekspresi berat. “Ini karena kejadian semalam, dia berpikir untuk meloncat dari gedung ini karena tak ingin menjadi gundikku. Aku berusaha menjernihkan pikirannya dengan melemparkannya ke kolam renang.” Dr. Lawson menyimak dengan serius, merenung sejenak sebelum berkata, “Melempar seorang wanita ke kolam renang bukan sikap yang baik, Kins. Tapi aku menyetujuinya jika kau melakukan itu untuk menghentikan percobaan bunuh diri. Kau tahu, di rumah sakit pun disediakan obat penenang seperti antipsikotik untuk mengurangi gejala perlawanan atau kegelisahan.” Ekspresi wajah Dr. Lawson berubah menjadi keheranan saat menambahkan, “Tapi ... kau ingin menjadikannya gundikmu?” Tuan Hawthorne beralih duduk di sofa, menyulut sebatang rokok dengan gerakan terampil. Dia memangku kaki dan bersandar, matanya memandangi meja kopi seperti mencari jawaban di permukaan kayu itu. “Ayahnya mencuri dariku, tak tahu sampai saat ini bersembunyi di mana. Aku membawanya untuk membayar utang ayahnya.” Dr. Lawson merasa pembicaraan mereka akan panjang dan serius, jadi dia ikut pula duduk. “Kekejamanmu sungguh mendarah daging,” ucapnya, sangat memahami karakter temannya. Tuan Hawthorne mengembuskan asap rokoknya ke atas. “Aku memiliki alasan.” “Tetap saja kejam,” desis Dr. Lawson. “Ngomong-ngomong, kau tak memikirkan tingkat frustrasi seseorang saat berada dalam posisi tanpa harapan? Wanita itu bisa saja menjadi dampak bagimu, aku rasa menawannya di penthouse-mu bukanlah langkah yang bagus.” “Kau mengkhawatirkanku?” “Ada tiga poin kenapa aku berkata begitu padamu,” ucap Dr. Lawson, ada kekhawatiran terpendam di balik kata-katanya. “Pertama, karena kau adalah pasienku yang selalu datang di saat tak terduga. Kedua, karena uangmu adalah fondasi bagi rumah sakit tempat di mana aku bekerja. Dan yang ketiga, karena aku tak ingin kehilangan pekerjaanku jika rumah sakit berhenti beroperasi. Aku mengkhawatirkan diriku sendiri.” “Kedengarannya tak seperti itu.” Dr. Lawson menghela napas, merasakan beban moral di kedua bahunya. Dengan terpaksa, dia berkata, “Baiklah, aku mengkhawatirkanmu. Apa kau puas?” ucapnya enggan. Tuan Hawthorne menyeringai akan kejujuran Dr. Lawson. Dia mematikan api rokoknya dan dengan tenang meletakkan kedua tangan di paha. “Dia tak akan berani melakukannya.” Ekspresi Tuan Hawthorne mengandung keyakinan. “Seperti kataku tadi, seseorang yang berada dalam posisi tanpa harapan bisa melakukan apa saja untuk keluar dari masalahnya. Kau harus memperhatikan hal itu, Kins,” kata Dr. Lawson memberikan nasihat. “Aku tak ingin kehilangan teman sepertimu.” Pandangan mata Tuan Hawthorne tak sengaja menemukan Jasmine yang berdiri dalam keraguan di anak tangga. Dr. Lawson menyadari pertukaran tatapan itu, kemudian dia menoleh ke arah yang dituju Tuan Hawthorne. “Aku harap wanitamu tak mendengar percakapan kita,” gumamnya. Tuan Hawthorne bangkit, dengan langkah mantap melintasi ruangan menuju posisi Jasmine. Dr. Lawson pun mengikuti pergerakan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD