Dengan refleks, Tuan Hawthorne membalikkan badan dan pergi menjauh. Suasana terbungkus keheningan sejenak, diiringi ingatan kejadian yang menimpanya barusan. Umpatan yang dilontarkan padanya bukan hal asing, pertanyaan krusialnya adalah mengapa dia memilih untuk meninggalkan teritorialnya?
Tuan Hawthorne merasa tak senang, langkahnya kembali melewati kusen pembatas. Tanpa sosok Jasmine yang terlihat, dia yakin bahwa wanita itu kini berada di walk-in closet karena sebelumnya melihat Jasmine baru saja keluar kamar mandi dengan handuk melilit tubuhnya.
Dia segera menuju walk-in closet, menemukan Jasmine sebelum benar-benar mencapai tempat itu. Yang dilihatnya adalah wanita itu berdiri di depannya dengan napas tersengal seakan-akan baru saja berpacu dengan waktu.
"Aku sudah memberi peringatan, perhatikan tingkahmu jika masih ingin ayahmu selamat."
"M—memangnya apa yang sudah kulakukan?"
"Kau mengataiku," geram Tuan Hawthorne, nada suaranya menusuk.
"Ah, itu ... aku hanya terkejut karena tiba-tiba seseorang muncul saat aku baru saja selesai mandi," jawab Jasmine, mencoba menjelaskan dalam kebingungan.
Tuan Hawthorne menatap rambut Jasmine, tetesan air yang mengalir membuat pakaian keringnya menjadi basah.
"Sebelum berpakaian—"
"Di mana pakaianku?" Jasmine menyela ucapan Tuan Hawthorne.
"Pakaianmu?"
Tuan Hawthorne merasa bingung sejenak, seiring dengan pemikiran lebih lanjut, barulah dia menyadari pakaian yang dimaksud oleh Jasmine.
"Pagi ini, aku mencium aroma tak sedap di kamar mandi. Saat mencari penyebabnya, aku menemukan pakaian basah seorang wanita tergantung. Kuputuskan untuk membuangnya, tapi kau tak perlu risau karena aku tak membuangnya secara konvensional agar tak ada yang mengambilnya. Aku sudah membakar semuanya," ucap Tuan Hawthorne dengan nada ringan.
Ekspresi Jasmine berubah drastis, kedua alisnya hampir menyatu dalam kemarahan. "Tidakkah kau diajari etika untuk tak menyentuh barang orang tanpa izin?"
Tuan Hawthorne merasa lucu mendengar perkataan itu, teringat bahwa Jasmine sudah lebih dulu mengambil kemejanya dari dalam lemari tanpa izin.
"Aku menggantinya dengan yang lebih berkualitas." Tuan Hawthorne menunjuk tubuh Jasmine. "Pakaian yang kau kenakan sekarang jauh lebih bernilai."
Tuan Hawthorne meraih handuk dari tangan Jasmine, melemparkannya dengan santai ke kepala wanita itu. "Sebelum berpakaian, sebaiknya mengeringkan tubuhmu terlebih dahulu. Nanti kulitmu akan berisiko iritasi dan infeksi."
Jasmine menarik handuk dari kepalanya, hanya untuk menemukan bahwa Tuan Hawthorne tak berada di hadapannya. Keluar dari walk-in closet, dia mendapati bayangan pria itu lagi.
"Keluarkan aku dari sini!"
Tuan Hawthorne hanya tersenyum sinis tanpa berniat membalikkan badan. Langkahnya berhenti saat mereka sampai di area duduk, lalu dia memandang Jasmine yang berusaha untuk terlihat berani itu.
"Aku akan mencari ayahku."
"Dengan tubuh lemahmu?" Tuan Hawthorne tersenyum meremehkan. "Sebaiknya kau menyadari keterbatasanmu sebelum mengucapkan sesuatu seperti itu."
Tuan Hawthorne menghela napas, kemudian dia duduk dengan tangan bersandar di kepala sofa. "Bahkan orang terlatihku belum bisa melacaknya hingga saat ini."
Jasmine merasa terjebak. Niatnya untuk tawar-menawar menemui jalan buntu. Hanya satu pilihan yang tersisa, pilihan yang sangat dihindarinya yaitu mengikuti saran Dr. Lawson.
Jasmine menatap Tuan Hawthorne yang tengah menengadah, matanya terpejam. Bayangan tentang peran sebagai gundik selalu memenuhi pikirannya dan membuatnya terombang-ambing.
"Kau benar ...." Jasmine mengatupkan bibirnya.
Tuan Hawthorne membuka mata perlahan, memandang Jasmine yang menunduk.
"Ayahku takkan membiarkanku sendirian dalam keadaan ini. Seharusnya dia sudah menjemputku, tapi hingga sekarang belum juga." Jasmine mengepalkan tangan, berusaha mengusir pemikiran buruk tentang ayahnya. "Mungkin saja ayahku memang—"
"Thomas mungkin sedang menghabiskan lima puluh dolar di suatu tempat," sela Tuan Hawthorne.
Jasmine menatap Tuan Hawthorne, entah mengapa ketenangan menyelinap di hatinya melalui kata-kata itu.
Tuan Hawthorne berdiri, langkahnya mantap mendekati Jasmine. "Mari kita meyakininya begitu, karena aku takkan membiarkannya mati tanpa mendapatkan pelajaran yang pantas."
Ketenangan Jasmine lenyap seketika, digantikan dorongan kuat untuk melindungi sang ayah. Dengan nada ragu, dia bertanya, "Jika kami berhasil mengembalikan uang itu sepenuhnya, apa ayahku akan ... dibebaskan?"
Tuan Hawthorne terdiam sejenak, matanya menelusuri raut wajah Jasmine yang penuh harap. "Tidak. Saat uangku dibawa kabur, maka ayahmu sudah mengkhianati kepercayaanku. Dia membawa rahasia besar dan aku tak bisa membiarkannya hidup."
Perkataan itu mampu merenggut harapan Jasmine, menjebaknya dalam kegelapan. Dia tahu kalau dirinya harus berbuat sesuatu untuk menyelamatkan ayahnya, tapi dengan cara apa?
"Beristirahatlah," ucap Tuan Hawthorne, lalu melangkah menuju pintu.
Jasmine memandangi punggung lebar Tuan Hawthorne yang perlahan menjauh. Langkah beratnya menyusul, tangannya segera menangkap tangan Tuan Hawthorne.
Tuan Hawthorne terkejut dan agak bingung, kemudian dia menoleh pada Jasmine yang berdiri di sampingnya. Sebelum sempat bertanya, Jasmine berbicara lebih dulu.
"Tuan Hawthorne, aku mohon ...."
Tuan Hawthorne menyingkirkan tangannya dari genggaman Jasmine, melipatnya di d**a. "Aku tahu apa yang akan kau katakan. Jawabanku tetap sama, aku tak akan melepaskan kalian."
"Kali ini, aku tak memohon untuk dilepaskan."
Tatapan Tuan Hawthorne menajam.
"Aku akan melakukannya, menjadi gundikmu."
Tuan Hawthorne berusaha menyelami ekspresi Jasmine, menggali lebih dalam makna dari perkataan wanita itu. Meskipun tujuannya membuat Jasmine menjadi gundiknya supaya Thomas kehilangan kebahagiaan sang putri, tapi dia merasa agak janggal mendengar penerimaan dari Jasmine.
"Kau berusaha keras menolaknya sampai ingin meloncat dari gedung tinggi ini, memohon padaku untuk melepaskanmu. Hanya dalam hitungan hari, kau menerima takdirmu." Tuan Hawthorne berekspresi ragu.
Apa rencana Jasmine akan terungkap begitu cepat? Dia ingin menyelamatkan ayahnya dengan cara mengambil hati Tuan Hawthorne, tanpa memedulikan perasaannya, bahkan jika harus menjadi santapan predator.
Keinginan diri sendiri menjadi hal terakhir yang terlintas dalam pikirannya, di saat orang tua yang sudah berkorban untuknya selama ini sedang berada dalam bahaya.
"Aku anggap ..."
Genggaman Jasmine pada handuk di tangannya mengencang, harapannya besar agar Tuan Hawthorne tak mengetahui rencananya begitu cepat.
"... bahwa kesadaranmu akan utang ayahmu sudah pulih total dan kau bersedia membayarnya dengan tubuhmu."
Jasmine menelan ludah, setiap kata-kata yang didengarnya terasa seperti neraka. Penerimaannya bertolak belakang dari keinginan sebenarnya. Namun, dia merasa lega karena rencananya tak terungkap.
"Sebelum itu, apakah kau benar-benar memahami arti dari perkataanmu tadi?"
"Aku hanya perlu melayanimu di kamar ini, bukan?" tegas Jasmine, menyembunyikan kegelisahannya.
Tuan Hawthorne menatap tekad yang terpancar dari kedua mata Jasmine, tanpa gentar meski pandangan itu sudah berlangsung lama. "Bagus," ucapnya, lalu melanjutkan, "Aku ingin kau membuktikan tekadmu nanti malam, karena emosiku terhadap ayahmu sudah kutahan dalam waktu lama dan aku membutuhkan pelampiasan segera."
Nanti malam? Itu begitu cepat, aku bahkan belum sembuh total! teriak Jasmine dalam hati.
"Sampai bertemu nanti malam, Nona Everhart."
Kepergian Tuan Hawthorne kali ini tak dicegah, karena Jasmine sedang berjuang mempertahankan kewarasannya. Tubuhnya gemetar, napasnya tercekat, membayangkan kengerian yang akan menyelimuti hidupnya dalam waktu dekat.
"Kau bisa melakukannya. Ini hanya untuk sementara waktu," gumam Jasmine, mencoba memberikan semangat pada dirinya sendiri.