Dalam kegelapan kamar, tubuh Jasmine terhempas di ranjang bagaikan terlempar ke dunia mimpi yang menakutkan. Dia segera duduk dan bergeser mundur sambil menatap waspada ke satu arah—Tuan Hawthorne, pria yang sedang membawa ancaman untuknya.
“T—tolong ... jangan ...!” seru Jasmine, sementara air mata membasahi pipinya tanpa henti.
Tuan Hawthorne melepaskan dasi yang tergantung longgar, lalu melangkah naik ke ranjang. “Thomas harus menyadari dampak dari perbuatannya. Dia akan kehilangan kebahagiaan putri yang begitu gigih diperjuangkannya.”
“Ayahku pasti akan datang! Dia pasti akan datang dan membawakan uangmu, kita hanya perlu menunggunya sebentar—“
Kata-kata Jasmine terhenti saat Tuan Hawthorne mencengkeramnya di kedua bahu, membuat dia tak bisa lagi merasakan ranjang yang baru saja diduduki. Tubuh pria itu menguasai bayangannya, tatapan sadis pun kian dekat dan berhasil mengguncang hidupnya.
“Berhenti mengatakan hal yang tak mungkin terjadi, ayahmu tak akan lolos dari tanganku setelah kembali!”
“Aku akan melakukan apa pun, kecuali menjadi gundikmu. Pekerjaan rumah atau apa pun yang kau inginkan, Tuan Hawthorne. Aku mohon ....”
Tuan Hawthorne menyeringai dengan kecerdasan yang tajam. “Kenapa? Apa karena tak ingin keperawananmu dirampas?”
Jasmine menggeleng cepat. “Tidak, Tuan! Aku bahkan tak memilikinya lagi, jadi tak ada hal bernilai yang bisa didapatkan dari menyentuhku.”
Wajah Tuan Hawthorne menunjukkan keraguan, kemudian kemarahannya meletup. “Percobaan yang bagus, Nona Everhart. Kau berbohong hanya untuk membuatku ingin melepaskanmu. Sayangnya, kau tak berhasil mengelabuiku.”
“Aku tak berbohong!”
“Oh, ya? Kalau begitu, mari kita buktikan saja.”
Merasa gagal melakukan tawar-menawar, Jasmine menggigit kuat tangan yang mencengkeramnya. Dia tak ragu untuk langsung meninggalkan kamar dan melangkah menuju pintu keluar.
Dengan hati yang berdegup kencang, Jasmine menggedor pintu berulang kali. Saat itu dia baru menyadari bahwa akses ke penthouse membutuhkan Tuan Hawthorne.
Jasmine memandang sekelilingnya dengan harapan menemukan jalan keluar alternatif. Dia melihat sebuah pintu di dekat dapur, lalu dengan langkah tergesa mendekatinya.
Dari pintu itu dia menemukan sebuah halaman asri disuguhi pemandangan lampu-lampu kota yang bersinar. Pagar setinggi pinggang melingkupi halaman tersebut, sedangkan cahaya bulan yang lembut menyentuh air kolam renang yang tenang. Jasmine terdiam sejenak, terpesona oleh keindahan yang tiba-tiba muncul di tengah pelariannya.
Namun, keindahan itu terputus oleh suara tegas Tuan Hawthorne, “Jangan berpikir untuk meloncat dari gedung ini.”
Jasmine segera menoleh ke sumber suara, sosok Tuan Hawthorne ada di kedua matanya. Dengan perlahan, dia mundur hingga pinggangnya menyentuh pagar.
Tuan Hawthorne tetap maju, tatapannya tak berkedip saat dia memeriksa bekas gigitan di tangannya. “Rasanya seperti diserang oleh hewan liar.”
Pandangan Jasmine terarah pada pagar besi yang dia pegang. Gedung ini terlalu tinggi, tak bisa dibayangkan seberapa parah luka yang akan didapat jika dia melompat bebas.
Jujur, dia masih ingin hidup, ingin bertemu dengan ayahnya meski tak tahu bagaimana kabarnya. Tapi dia juga tak bisa mengabaikan kenyataan bahwa Tuan Hawthorne berkeinginan menjadikannya seorang gundik.
“Tolong, lepaskan aku ....”
“Kau hanya membuang energi, Nona Everhart,” desis Tuan Hawthorne dengan suara dingin.
Tanpa mengenal kata menyerah, Jasmine menggeleng keras. Langkah nekat membawanya memanjat pagar, tapi tak lama kemudian tubuhnya terjatuh dalam genggaman kuat Tuan Hawthorne.
Tuan Hawthorne mendorong Jasmine agar menjauh dari pagar, lalu berucap tegas, “Tak ada tempat untuk pelarianmu.”
Jasmine menolak penyelamatan itu, pikirannya bercampur aduk dan hasrat untuk kabur memandu langkahnya. Dengan penuh tekad, dia mencoba memanjat lagi demi sebuah pembebasan, tanpa menyadari bahwa Tuan Hawthorne sudah siap mengambil langkah drastis.
Dengan gerakan tiba-tiba, tubuh Jasmine diangkat dan dilemparkan ke kolam renang. Suara air memecah keheningan malam, menandai akhir dari niat putus asa Jasmine untuk melompat dari gedung tinggi.
Napas Jasmine terengah-engah saat berhasil mencapai permukaan, lalu dengan sekuat tenaga dia meraih ke tepi kolam sambil memulihkan pandangan yang buram.
Tuan Hawthorne hanya menyaksikan tanpa ekspresi; perjuangan Jasmine naik ke daratan, berakhir mematung di suatu sudut, dan memeluk tubuh yang gemetar.
Angin kencang melanda ketinggian pada malam hari, menambah ketidaknyamanan pada tubuh Jasmine yang baru saja keluar dari kolam dengan pakaian basah.
Tuan Hawthorne menghampiri Jasmine, mengulurkan tangan dan berkata, “Masihkah kau ingin mati?”
Tatapan dendam melintas di mata Jasmine. Dia tak habis pikir dengan kata-kata yang diucapkan Tuan Hawthorne.
“Ternyata Thomas memiliki seorang putri yang keras kepala,” ucap Tuan Hawthorne sambil menarik paksa Jasmine ke dalam ruangan.
“Lepaskan aku!”
Tuan Hawthorne membalikkan tubuhnya, menggenggam erat tubuh Jasmine, dan dengan tegas mengatakan, “Aku tak punya banyak waktu untuk mengurus hal tak penting seperti ini, Nona Everhart. Jika kau masih ingin ayahmu hidup, sebaiknya perhatikan tingkahmu.”
Meskipun penuh kebencian, Jasmine tak bisa membantah jika itu tentang keselamatan ayahnya. Dia hanya bisa diam, tanpa mengubah ekspresi kebencian.
Tuan Hawthorne melepaskan genggamannya, memandang Jasmine dengan penuh evaluasi. “Kau membuat keadaannya menjadi rumit dan merepotkan.”
Tuan Hawthorne bersedekap. “Kau bisa mengeringkan tubuhmu di kamarku.”
Jasmine memang kedinginan, tapi dia tak berniat menerima kebaikan dari pria yang memperlakukannya dengan kasar.
Memahami sifat keras kepala Jasmine, Tuan Hawthorne menyuarakan tawaran lain, “Ingin aku mengeringkannya untukmu? Tapi aku tak bisa menjamin kendali diriku jika melihatmu tanpa pakaian.”
Jasmine bergeser mundur, kesadarannya disadari oleh Tuan Hawthorne, yang menerbitkan senyuman licik di wajah pria itu.
Tuan Hawthorne menyentuh leher Jasmine, pandangan intensnya menelusuri tubuh wanita itu. “Air kolam sudah membuat pakaianmu basah, sehingga aku bisa melihat jelas lekuk tubuhmu yang indah.”
Jasmine melebarkan mata, segera menjauh sambil menutupi tubuhnya dengan tangan. Namun, mata Tuan Hawthorne terus memandanginya.
Tak punya opsi lain, Jasmine terpaksa mengikuti perkataan Tuan Hawthorne untuk mengeringkan tubuhnya di kamar pria itu.
Tuan Hawthorne menatap kepergian Jasmine, lalu dia menyulut sebatang rokok dengan gerakan tenang. Dia menikmati waktu menunggu sambil menatap pemandangan kota New York yang terbentang di luar jendela penthouse.
***
Tuan Hawthorne merasa sudah menunggu begitu lama. Dia menuju kamarnya, masuk tanpa mengetuk pintu, hanya untuk menemui sesuatu yang melampaui prediksinya.
Jasmine tak berusaha kabur kali ini. Sebaliknya, wanita itu ditemukan tertidur di lantai, memeluk lutut dengan kepala bersandar pada meja nakas.
Tuan Hawthorne membaringkan Jasmine di ranjang. Saat hendak menarik selimut, dia baru menyadari bahwa pakaian yang dikenakan oleh wanita itu adalah kemejanya sendiri.
Senyum tipis muncul di bibir Tuan Hawthorne, menertawakan keadaan di mana dia lupa perkara pakaian ganti dan Jasmine dengan berani mengambil kemejanya dari dalam lemari.
Setelah menyelimuti, Tuan Hawthorne tak segera pergi, dia memandangi betapa pulasnya tidur Jasmine.
“Hanya perlawanan kecil sudah membuat seorang putri keras kepala kelelahan. Mari kita lihat hal apa lagi yang akan kau lakukan besok untuk menolak takdirmu.”