Bab 1. Harga Mutlak

1652 Words
Prang! Jasmine merenung sejenak pada hamparan beling yang berserakan di lantai, hasil dari kecerobohan tangannya yang tak sengaja menyenggol gelas. Dia mengangkat pandangan perlahan, menemukan salah seorang pria sudah berdiri tepat di hadapan. Keberadaan pria itu menegaskan otoritas, sementara sosok bertubuh kekar lainnya tetap di tempat seolah-olah ingin menunjukkan siapa pemimpin mereka. “Ma—mau apa kau?!” seru Jasmine dengan tangan mengepal kuat, berusaha untuk tak gentar menghadapi para pria sendirian. “Katakan padaku siapa namamu,” ucap pria yang diyakini sebagai pemimpin oleh Jasmine. Sorot matanya tampak tajam dan nada suaranya penuh ancaman. Jasmine tak ingin mengatakan soal dirinya pada pria asing yang menerobos rumahnya, jadi dia tak menjawab. Sikap tanpa kompromi Jasmine hanya membuat pria itu menyeringai, lalu dia mengeluarkan sekotak rokok dari saku dan menyulutnya sebatang. Sementara waktu berjalan, dia merokok dengan tenang di hadapan wanita yang memandangnya dengan ekspresi tak setuju. “Sesimpel itu, tak ingin mengatakannya?” Seorang pria berkacamata tiba-tiba melangkah tegas ke hadapan mereka, menyodorkan sebuah dokumen misterius. “Ini data yang Anda minta, Tuan Hawthorne.” Pria dengan aura kekuasaan yang pekat itu dipanggil Tuan Hawthorne, kini sedang membaca dokumen di tangannya. “Menyembunyikannya tak akan menguntungkan apa-apa bagimu. Aku bisa meminta orangku mencari tahu tentang dirimu, Jasmine Everhart.” Pria berkacamata dengan sigap mengambil alih dokumen saat akan diberikan padanya, lalu dia mundur perlahan. Asap rokok mengepul di udara, Tuan Hawthorne menjatuhkan rokok yang baru beberapa kali isap dan menginjaknya. “Di mana ayahmu?” Pertanyaan tajam itu membuat Jasmine terkejut bercampur bingung. “Kenapa ... a—yahku?” “Mari kita persingkat saja,” ucap Tuan Hawthorne, suaranya tegas. “Ayahmu membawa kabur uangku dan aku tak tahu di mana dia bersembunyi sekarang. Apa kau tahu di mana ayahmu?” “Tak mungkin ...,” lirih Jasmine tak percaya. Tuan Hawthorne menaikkan sebelah alisnya. “Apanya yang tak mungkin?” Jasmine menelan ludah. “Ayahku tak mungkin membawa kabur uang orang lain. D—dia ...!” Pandangan Jasmine berputar, agak linglung dengan keadaan yang membuatnya harus menghadapi para pria dalam jumlah banyak. Jantungnya berdegup kencang dan keringat sudah membanjiri tubuhnya. Jasmine berusaha memfokuskan diri, kembali memperjuangkan nama baik ayahnya. “Ayahku bukanlah orang seperti itu!” ucapnya dengan lantang. Tuan Hawthorne bergerak maju, bersamaan dengan langkah mundur Jasmine. Pada saat itu, Jasmine merintih akibat telapak kaki yang menginjak beling sehingga tubuhnya langsung kaku di tempat. Tuan Hawthorne mencengkeram dagu Jasmine. “Jadi, maksudmu aku sedang berhalusinasi?” Jasmine menggunakan kedua tangannya untuk melepaskan cengkeraman. Itu tak mudah karena semakin dia berusaha melepaskan diri, semakin kuat pula cengkeraman yang didapat. “Aku paling tak suka dengan orang yang mencuri milikku. Sekarang yang perlu kau lakukan adalah membayar utang ayahmu sebelum kesabaranku habis.” Jasmine merintih, bahkan mata yang memanas sudah menjatuhkan air mata. Bersamaan dengan tetesan yang mengenai sela jari Tuan Hawthorne, cengkeraman itu pun dilepaskan secara kasar. Jasmine memegang pipinya dengan gemetar, di sisi lain dia juga tahu kalau dirinya perlu menyudahi pertemuan mereka dengan cara apa pun. “S—sekarang aku tak punya uang, tapi jika aku diberi waktu untuk melunasinya—“ Tuan Hawthorne tersenyum remeh. “Kau bisa mencari lima puluh ribu dolar dalam waktu semalam?” “Li—lima puluh ribu dolar?!” Kedua mata Jasmine hampir melompat dari sarangnya hanya karena mendengar jumlah uang yang dibawa kabur oleh sang ayah. Jangankan dalam waktu semalam, bahkan sampai dirinya tua jumlah itu akan sulit untuk dibayar. Lagi pula, untuk apa ayahnya membawa kabur uang sebanyak itu? Entah mengapa Jasmine merasa bersalah atas kejadian ini, mengingat ayahnya yang banting tulang seorang diri agar kehidupan sehari-hari mereka tercukupi. Dia tahu kalau ayahnya juga bekerja keras menguliahkannya, mungkin saja ayahnya mencuri karena ingin hidup mereka jadi lebih baik. Jasmine menghela napas, tetap tak mengira jika ayahnya akan melakukan cara buruk itu. “Tolong beri aku waktu satu minggu. Aku pasti akan melunasi semua utang ayahku padamu,” ucapnya dengan nada memohon. “Jangan coba-coba membodohiku. Sampai mati pun mustahil bagimu melunasinya. Apa kau pikir aku tak mencari tahu tentang para pekerjaku? Ayahmu adalah pria tanpa harapan yang memohon-mohon padaku agar bisa menghidupi putri semata wayangnya. Sekarang dia lupa kacang pada kulitnya dan kau memintaku memercayai putri dari seorang pengkhianat?” Jasmine segera bersimpuh di kaki Tuan Hawthorne, tak gentar dalam keadaan telapak kaki mengeluarkan darah. “T—tuan Hawthorne, mohon beri kesempatan ...,” lirihnya. Tuan Hawthorne menatap ke bawah sana, tempat di mana Jasmine memohon dengan berurai air mata. Mungkin jika itu dirinya yang dulu akan merasakan iba, tapi sekarang keadaannya sudah jauh berbeda. “Kau harus membayarnya detik ini juga.” “D—dengan apa? Tak ada benda bernilai yang kami punya.” Ekspresi Tuan Hawthorne berubah bengis. “Dengan hidupmu, karena hanya itulah nilai yang sepadan untuk membayarnya. Kau akan berada di sisiku dan hanya melakukan apa yang kuperintahkan.” Keheningan terasa berat, seakan-akan meresapi setiap kata yang keluar dari bibir Tuan Hawthorne. Perkataan itu pula yang berhasil membuat Jasmine seperti sedang tersambar petir. Bagaimana bisa aku berada di sisi pria mengerikan ini dalam jangka waktu yang tak bisa ditentukan? ucap Jasmine dalam hati. “Nona Everhart, perlu kuperingatkan padamu bahwa membantah perkataanku sama saja meminta kematian.” “Aku—“ “Biarkan aku memberi tahu satu-satunya jalan keluar untuk lepas dariku.” Tuan Hawthorne perlahan berjongkok, satu lututnya bertumpu ke lantai. Dia menaikkan dagu Jasmine dengan susunan sentuhan telunjuk dan ibu jarinya. “Ayahmu adalah jalan keluar terakhirmu, jika dia masih hidup tentunya.” Kedua ujung bibir Tuan Hawthorne terangkat sampai bisa membentuk seringai. Jasmine bergidik, hampir tak bisa bernapas. Tatapan mengerikan dan kata-kata tajam itu sudah berhasil menghunus tepat ke jantungnya. Sekarang dia paham apa arti dari penyiksaan yang sesungguhnya. “Bawa gadis ini, tanpa beling dan darah di kakinya,” ucap Tuan Hawthorne. Tuan Hawthorne bangkit, lalu keluar dari rumah sempit itu. Kemunculan Tuan Hawthorne mengundang rasa hormat bagi para pengikutnya yang tak bisa masuk dan hanya bisa berjaga di luar. *** Tuan Hawthorne menunggu di dalam mobil selama beberapa waktu, sedangkan Jasmine masuk setelah kakinya diobati dan diberi perban oleh pria berkacamata yang mengaku sebagai sekretaris Tuan Hawthorne. Dengan gemuruh pelan mesin yang menyala, pintu kabin ditutup. Di bangku penumpang bersama Tuan Hawthorne, Jasmine mencoba menciptakan jarak yang luas. Mobil melaju setelah menerima perintah dari Tuan Hawthorne dan membawa mereka pada kebisuan yang menegangkan. Jasmine mencoba melirik pria di sampingnya meski keraguan di dalam diri masih membayangi. Setelah menimbang-nimbang begitu lama, dia pun mengeluarkan suara, “Kita ... akan ke mana?” “Pinnacle Heights Suites.” “A—apa ... P—pi ....” Tuan Hawthorne mengembuskan napas panjang. “Pinnacle, Heights, Suites.” Jasmine berusaha memahami gerak bibir Tuan Hawthorne, mencoba menangkap arah tujuan mereka. Tuan Hawthorne melihat ketidakpahaman di wajah Jasmine. Dia berpaling pada jalan yang mereka lalui sambil mengucapkan, “Aku tak tahu mengapa harus melafalkannya untuk orang sepertimu.” “Apa yang kau ingin aku lakukan di tempat itu?” “Kau akan tahu nanti.” Jasmine menunduk, menahan ketakutan yang terus menyelimuti. Dalam kebingungan yang merayapi pikiran, dia bertanya-tanya tentang kejadian apa lagi yang menantinya di depan sana. “Apa aku akan bekerja untuk melunasi utang ayahku?” Hanya itulah yang mengemuka di benak Jasmine sekarang. Tuan Hawthorne menatap Jasmine dengan tajam, ekspresinya mencerminkan ketidaksetujuan. “Jangan membuatku mengulang perkataan yang sama karena aku tak suka.” Suaranya memenuhi ruang kabin dengan aura gelap yang semakin tebal. Jasmine kehilangan keberanian untuk membuka suara lebih lanjut, sehingga dia hanya bisa menunduk dan membiarkan pandangannya teralih ke luar jendela. Beberapa saat berlalu, roda mobil itu melewati sebuah gerbang dan berhenti di halaman depan gedung. Seseorang membukakan pintu untuk mereka, yang pertama adalah Tuan Hawthorne dan disusul oleh Jasmine sebagai pendatang baru. “Ikut aku,” ucap Tuan Hawthorne, langkahnya mantap menuju pintu depan gedung. Jasmine berjalan di belakang dan ikut memasuki bagian dalam gedung yang memancarkan aura eksklusif. Resepsionis menunduk saat menyadari kedatangan Tuan Hawthorne. Di sana Jasmine melihat rangkaian huruf Pinnacle Heights Suites menempeli dinding, mengingatkannya pada pembicaraan di mobil tadi. “Kenapa termenung?” Suara berat Tuan Hawthorne membuyarkan lamunan. Jasmine menggeleng dan mengikuti arah langkah yang membawanya menaiki lift. Ting! Tuan Hawthorne mengayunkan kaki keluar dari lift, Jasmine tetap mengikuti dalam keraguan. Cahaya redup koridor menyambut, aksen elegan di dinding seolah-olah ikut meresapi keheningan. Karpet mewah yang menghasilkan suara halus pun mengiringi setiap langkah, semakin membuat Jasmine diliputi kegelisahan. Tuan Hawthorne membuka pintu penthouse dengan menggunakan sensor pintar yang mendeteksi kehadirannya secara otomatis. Pintu terbuka dengan mulus. Kecanggihan yang disaksikan oleh Jasmine itu membuatnya menganga. Saat langkah kaki melewati ambang, suasana kemewahan langsung meliputi. Cahaya lembut memeluk ruangan, menerangi furnitur mewah dan seni yang terpajang dengan anggun di penthouse itu. Jasmine terpukau begitu lama sampai-sampai tak menyadari bahwa Tuan Hawthorne kini sudah berdiri di depannya sambil memperhatikan gerak bola matanya. Dengan kata-kata tegas, Tuan Hawthorne menyatakan, “Untuk seterusnya, sampai ayahmu berhasil ditemukan, kau akan tinggal di penthouse ini.” Jasmine menoleh pada Tuan Hawthorne, kebingungan menyergapnya. “Hah?” “Jangan kira keberadaanmu di sini untuk bersantai-santai.” “Baik!” “Baik? Kau bahkan belum diberi tahu pekerjaan apa yang akan kau lakukan.” Jasmine menggaruk pelipis. “Itu ... karena aku tak diizinkan untuk bertanya.” Tuan Hawthorne menunjuk wajah Jasmine dengan serius. “Kau akan menjadi seorang gundik yang akan melayaniku, untuk itulah keberadaanmu di sini.” “Gun—dik?” Seakan belum bisa mencerna sepenuhnya, Jasmine terlambat untuk terkejut. Pupilnya bergetar saat dia perlahan mundur. “Tidak, Tuan ... aku—“ Tuan Hawthorne tertawa lebar, menumbuhkan ketakutan di mata Jasmine. “Jangan begitu terkejut, Nona Everhart. Aku baru saja akan memulainya.” Jasmine paham arti dari seorang gundik, konotasi yang merujuk pada hubungan di luar pernikahan dan dianggap tak etis. Saat ini dia sedang direndahkan, sedangkan pria yang berdiri di hadapannya tampak sangat puas dengan tawa mengerikan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD